JATIMTIMES - Pada tanggal 14 Januari 1960, sebuah hari yang bersejarah bagi bangsa Indonesia, Presiden Soekarno dengan khidmat menyematkan tanda kepangkatan Jenderal kepada Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, di Istana Merdeka.
Momen yang sarat makna ini tidak sekadar merupakan tindakan formalitas, melainkan juga sebuah simbol dari penghargaan, hormat, dan terima kasih yang mendalam dari seluruh rakyat Indonesia kepada sosok yang telah memberikan jasa besar dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan negara.
Baca Juga : Polres Malang Rawat Ingatan dengan Membahas Tragedi Kanjuruhan
Dalam sambutannya, Presiden Soekarno dengan penuh khidmat menyatakan bahwa penganugerahan pangkat jenderal kehormatan kepada Sri Sultan Hamengkubuwono IX bukanlah sekadar formalitas militer, melainkan sebuah simbol yang mendalam.
Pangkat ini merupakan wujud hormat dan terima kasih yang tulus dari seluruh bangsa Indonesia atas jasa-jasa luar biasa dan kontribusi yang tak ternilai dari Sultan dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan negara. Penghargaan ini mencerminkan pengakuan yang mendalam dari hati nurani setiap rakyat Indonesia yang sangat menghargai dedikasi dan pengorbanan Sultan Hamengkubuwono IX.
“Pangkat Jenderal kehormatan atau barang tanda pangkat yang tadi saya cantumkan di atas pundak saudara Hamengkubuwono sebenarnya dicantumkan oleh hati bangsa Indonesia yang merasakan hormat dan berterima kasih sedalam-dalamnya kepada saudara Hamengkubuwono. Jenderal Hamengkubuwono, saya mengucapkan selamat bahagia kepada saudara,” ucap Soekarno dalam pidatonya.
Penganugerahan ini tidak datang begitu saja, penganugerahan adalah penghargaan yang merupakan hasil dari serangkaian peristiwa bersejarah yang penuh dengan perjuangan dan pengorbanan. Sejarah mencatat peran penting yang dimainkan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dalam perjalanan panjang bangsa Indonesia menuju kemerdekaan serta upaya-upayanya yang berkelanjutan setelah kemerdekaan tersebut diraih. Sebelum berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Keraton Yogyakarta sudah dikenal sebagai sebuah negara berdikari yang berdiri kokoh di bawah kepemimpinan visioner Sultan Hamengkubuwono IX.
Di bawah pemerintahannya, Yogyakarta mengalami revolusi besar-besaran yang tidak hanya membawa perubahan signifikan di dalam negeri, tetapi juga memberikan dampak besar dalam konteks perjuangan kemerdekaan Indonesia secara keseluruhan. Sultan Hamengkubuwono IX dikenal karena keberaniannya menentang penjajahan dan kebijaksanaannya dalam memimpin, yang akhirnya membantu mewujudkan impian bangsa Indonesia untuk merdeka dan berdaulat.
Dukungan Yogyakarta Terhadap Proklamasi Kemerdekaan
Sultan Hamengkubuwono IX, yang memiliki nama kecil Gusti Raden Mas Dorodjatun, adalah penguasa kesembilan Kesultanan Yogyakarta. Ia dinobatkan sebagai Sultan Yogyakarta pada 18 Maret 1940 setelah melalui proses perjanjian yang cukup panjang dengan Gubernur Hindia Belanda di Yogyakarta, Dr. Lucien Adam. Cerita menarik terkait penobatan Dorodjatun ini dimulai dari masa pendidikannya di Belanda, di mana ia menyelesaikan studi di Rijkuniversitet di Leiden dan bahkan menjalin persahabatan dekat dengan Putri Juliana, yang kemudian menjadi Ratu Belanda.
Pada tahun 1939, Dorodjatun dipanggil pulang ke Yogyakarta oleh ayahnya, Sultan Hamengkubuwono VIII, karena tanda-tanda Perang Dunia II semakin jelas. Saat ayahnya wafat, Dorodjatun masih muda, berusia 28 tahun, dan siap mengambil alih tahta. Namun, perjalanannya tidaklah mudah. Belanda memiliki campur tangan yang kuat dalam urusan internal Kesultanan Yogyakarta, dan Dorodjatun harus menandatangani kontrak politik dengan pemerintah Hindia Belanda sebelum naik tahta. Meskipun awalnya menolak, Dorodjatun akhirnya menerima usulan Lucien Adam setelah beberapa bulan berdebat.
Pada tanggal 12 Maret 1940, Dorodjatun menandatangani kontrak politik dengan Belanda, dan pada tanggal 18 Maret 1940, ia dinobatkan sebagai Sultan Yogyakarta. Di hari yang istimewa itu, ia mengeluarkan kalimat yang menjadi kenangan bagi semua orang, "Saya memang berpendidikan barat tapi pertama-tama saya tetap orang Jawa."
Pada saat yang krusial ketika masa pendudukan Jepang, Sultan Hamengkubuwono IX dan Paku Alam VIII menunjukkan sikap tegas dan kokoh terhadap penjajahan dengan tidak hanya sekadar mendukung, tetapi juga secara aktif memperjuangkan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Lebih dari sekadar kata-kata, mereka segera mengambil langkah konkret dengan mengeluarkan maklumat yang secara resmi menyatakan pengakuan terhadap kemerdekaan Republik Indonesia serta penggabungan Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat ke dalam NKRI dengan status daerah istimewa. Keputusan ini menegaskan komitmen dan loyalitas mereka terhadap perjuangan kemerdekaan bangsa, serta menunjukkan kepemimpinan yang kuat dan visioner dalam menghadapi tantangan-tantangan zaman.
Berikut adalah isi dari Amanat 5 September 1945 :
AMANAT
SRI PADUKA INGKENG SINUWUN KANGDJENG SULTAN
Kami Hamengku Buwono IX, Sultan Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat menjatakan:
Bahwa Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia.
Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mulai saat ini berada ditangan kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnja kami pegang seluruhnya.
Bahwa perhubungan antara Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia, bersifat langsung dan Kami bertanggung djawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
Kami memerintahkan supaja segenap penduduk dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mengindahkan Amanat Kami ini.
Ngajogjakarta Hadiningrat, 28 Puasa Ehe 1876 atau 5-9-1945
HAMENGKU BUWONO IX
AMANAT
SRI PADUKA KANGDJENG GUSTI PANGERAN ADIPATI ARIO PAKU ALAM
Kami Paku Alam VIII Kepala Negeri Paku Alaman, Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat menjatakan:
Bahwa Negeri Paku Alaman jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia.
Baca Juga : Polres Malang Rawat Ingatan dengan Membahas Tragedi Kanjuruhan
Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Paku Alaman, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Paku Alaman mulai saat ini berada ditangan Kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnja Kami pegang seluruhnja.
Bahwa perhubungan antara Negeri Paku Alaman dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia, bersifat langsung dan Kami bertanggung djawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
Kami memerintahkan supaja segenap penduduk dalam Negeri Paku Alaman mengindahkan Amanat Kami ini.
Paku Alaman, 28 Puasa Ehe 1876 atau 5-9-1945
PAKU ALAM VIII
Presiden Soekarno menyambut baik dukungan Keraton Yogyakarta kepada pemerintah RI dengan memberikan penghargaan. Sehari berselang, tepatnya 6 September 1945, Pemerintah RI memberikan Piagam Kedudukan yang ditandatangani Presiden Soekarno pada 19 Agustus 1945. Piagam tersebut diperuntukkan secara khusus kepada Sultan Hamengkubuwono IX dan Paku Alam VIII.
Piagam kedudukan itu sejatinya sudah disiapkan Soekarno sejak lama sejak satu hari pasca Sulan Jogja mengucapkan selamat atas Kemerdekaan dan lahirnya RI, namun baru diserahkan apda 6 September 1945. Piagam tersebut diserahkan oleh dua utusan pemerintah, yaitu Menteri Negara Mr. Sartono dan Mr. Alexander Andries Maramis.
Berikut isi Piagam Kedudukan 19 Agustus 1945 :
“Kami Presiden Republik Indonesia menetapkan: Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalaga Abdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah ingkang kaping IX ing Ngayogyakarta Hadiningrat, pada kedudukannya, dengan kepercayaan bahwa Sri Paduka Kanjeng Sultan akan mencurahkan segala pikiran, tenaga, jiwa dan raga untuk keselamatan daerah Yogyakarta sebagai bagian Republik Indonesia. Jakarta, 19 Agustus 1945, Presiden Republik Indonesia. Soekarno”.
Komitmen Tak Terbatas untuk Indonesia
Pasca penggabungan Keraton Yogyakarta dengan Pemerintah Republik Indonesia, Sri Sultan Hamengkubuwono IX terus menunjukkan komitmen yang luar biasa terhadap kedaulatan dan kemajuan negara. Sultan Hamengkubuwono IX tidak hanya berhenti pada deklarasi integrasi Yogyakarta ke dalam NKRI, tetapi juga aktif mengambil peran penting dalam situasi-situasi krisis. Ketika meletus Agresi Militer Belanda II, Sultan dengan keberanian yang luar biasa menawarkan Yogyakarta sebagai tempat pemerintahan darurat Republik Indonesia. Langkah strategis ini diikuti dengan pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Yogyakarta pada tahun 1946, sebuah keputusan yang penuh risiko namun sangat penting untuk kelangsungan pemerintahan RI di masa itu.
Dalam masa-masa sulit tersebut, Keraton Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman menunjukkan dedikasi dan patriotisme yang luar biasa dengan menanggung seluruh biaya operasional pemerintah pusat. Bahkan, setelah ibu kota dikembalikan dari Yogyakarta ke Jakarta, Sultan Hamengkubuwono IX masih memberikan dukungan finansial yang signifikan kepada pemerintah Indonesia dengan menyumbangkan bantuan sebesar 6 juta gulden, jumlah yang sangat besar pada masa itu.
Karier politik Sultan Hamengkubuwono IX terus bersinar setelah pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda pada 27 Desember 1949. Dengan kharisma, kecerdasan, dan kepemimpinan yang luar biasa, Sultan dipercaya untuk memegang berbagai jabatan penting dalam pemerintahan Republik Indonesia. Ia pernah menjabat sebagai Menteri Pertahanan, di mana ia menunjukkan kebijaksanaan dan kepemimpinan yang solid dalam mengelola pertahanan negara. Sebagai Menteri Koordinator Ekonomi Keuangan dan Industri, Sultan memegang peran kunci dalam pembangunan ekonomi nasional. Tidak berhenti di situ, ia juga menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri, dan puncaknya sebagai Wakil Presiden mendampingi Presiden Soeharto.
Selain kiprahnya di pemerintahan, Sultan Hamengkubuwono IX juga dikenal sebagai Bapak Pramuka Indonesia. Kontribusinya dalam mengembangkan gerakan Pramuka di Indonesia menjadikannya figur sentral yang dihormati dalam pendidikan kepanduan. Atas segala jasanya, Sultan telah diakui sebagai Pahlawan Nasional, sebuah gelar yang mencerminkan penghargaan tertinggi bangsa Indonesia atas dedikasi dan pengabdiannya yang tanpa batas.
Melalui segala upaya dan pengorbanannya, Sultan Hamengkubuwono IX tidak hanya membuktikan dirinya sebagai pemimpin yang visioner dan berani, tetapi juga sebagai tokoh yang sangat berkomitmen terhadap kemajuan dan kedaulatan Indonesia. Namanya akan selalu dikenang dalam sejarah sebagai salah satu pilar utama yang mendukung tegaknya Republik Indonesia.
Warisan Abadi Jenderal Hamengkubuwono IX
Penghargaan pangkat Jenderal yang diterima Sultan Hamengkubuwono IX pada 14 Januari 1960 tidaklah sekadar sebuah tanda kehormatan militer yang diberikan secara formalitas. Lebih dari itu, penghargaan tersebut merupakan sebuah pengakuan yang sangat dalam terhadap jasa-jasa yang telah tertanam kuat dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Sosok Sultan Hamengkubuwono IX, yang tidak hanya visioner tetapi juga penuh dengan dedikasi, tetap menjadi sumber inspirasi bagi generasi penerus. Dukungan tak tergoyahkan dari Sultan terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia, keberaniannya dalam menghadapi berbagai tantangan, serta komitmennya yang tak kenal lelah dalam memajukan negara, menjadikan namanya selalu dikenang dengan penuh kehormatan oleh seluruh rakyat Indonesia.
Di tengah segala keterbatasan dan tantangan yang dihadapi, Sultan Hamengkubuwono IX berhasil membuktikan bahwa kepemimpinan yang tulus dan berintegritas dapat memberikan dampak besar bagi kemajuan bangsa. Panggilan "Jenderal Hamengkubuwono" yang disematkan oleh Bung Karno bukan sekadar sebuah gelar, melainkan sebuah penghormatan yang mendalam dari seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Hal ini mencerminkan bukan hanya rasa penghargaan, tetapi juga cinta dan hormat yang tulus kepada sosok yang telah berjuang keras demi kepentingan dan kemajuan bersama bangsa.