free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Serba Serbi

Alun-Alun Kerajaan Majapahit: Bubat dan Waguntur, Simbol Kehidupan Sosial dan Spiritual

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Dede Nana

28 - May - 2024, 23:59

Placeholder
Sketsa alun-alun di zaman Kerajaan Majapahit.(Foto: Instagram @sejarahjogya)

JATIMTIMES - Apakah kota kamu memiliki alun-alun? Jika iya, bagaimana kondisi alun-alun tersebut saat ini? Apakah alun-alun tersebut telah berubah menjadi tempat orang berjualan, atau mungkin telah menjadi taman bermain? Ataukah alun-alun itu tetap terjaga seperti pada awalnya, tanpa banyak perubahan yang signifikan?

Ternyata, sejarah alun-alun cukup panjang dengan fungsi yang beragam dan menarik untuk ditelusuri. Alun-alun telah ada sejak masa kerajaan Jawa kuno, dan tradisi ini diteruskan secara turun-temurun hingga periode Mataram Islam. 

Baca Juga : Seleksi Administrasi PPG Prajabatan 2024 Diumumkan, Begini Langkah Selanjutnya

Diperkirakan bahwa konsep alun-alun merupakan tradisi pertanian khas Austronesia yang sudah ada sejak lama. Pada masa itu, ketika akan memulai musim bercocok tanam, masyarakat melakukan upacara untuk meminta izin kepada "dewi tanah" dengan cara membuat sebuah lapangan "tanah sakral" yang berbentuk persegi empat. 

Tradisi pembuatan tanah sakral ini, setelah berkembangnya kerajaan-kerajaan di Jawa, diresmikan fungsinya oleh raja dan kemudian dikenal secara luas sebagai alun-alun. Fungsinya pun beragam, mulai dari tempat upacara, pusat kegiatan masyarakat, hingga lokasi pertemuan penting yang menunjukkan betapa pentingnya alun-alun dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat Jawa dari masa ke masa.

Catatan mengenai alun-alun pada masa Jawa Kuno dapat ditemukan dalam naskah kuno yang terkenal, yaitu Negara Kertagama. Dalam naskah ini, Empu Prapanca menuliskan bahwa ibu kota Majapahit, yaitu Trowulan, memiliki dua buah alun-alun yang sangat penting, yaitu Alun-Alun Bubat dan Alun-Alun Waguntur. 

Kedua alun-alun ini berfungsi sebagai pusat kegiatan sosial, budaya, dan politik di ibu kota Majapahit pada masa itu, menunjukkan betapa signifikan peran alun-alun dalam kehidupan masyarakat kerajaan.

Alun-Alun Bubat: Pusat Keramaian Rakyat

Lapangan Bubat memiliki karakter yang lebih informal dan merakyat dibandingkan alun-alun lainnya. Pesta rakyat yang diadakan setiap tahun sekali pada bulan Caitra (Maret/April) selalu diselenggarakan di lapangan Bubat ini. 

Pada 3-4 hari terakhir dari perayaan tersebut, berbagai pertunjukan seni, permainan tradisional, dan kegiatan hiburan lainnya diselenggarakan dengan kehadiran langsung dari raja. Lapangan ini menjadi tempat berkumpulnya masyarakat dari berbagai kalangan untuk menikmati hiburan, berinteraksi, dan mempererat rasa kebersamaan di antara mereka.

Fungsi sosial dari alun-alun Bubat ini sangat penting, menunjukkan betapa krusialnya ruang publik dalam kehidupan masyarakat Majapahit. Lapangan ini menjadi tempat di mana raja bisa langsung berinteraksi dengan rakyatnya, memperlihatkan sisi humanis dari seorang penguasa besar. 

Melalui kegiatan-kegiatan yang diadakan di alun-alun ini, tercipta hubungan yang lebih erat antara raja dan rakyatnya, serta memperkuat ikatan sosial dan budaya di antara mereka. Alun-alun Bubat tidak hanya berfungsi sebagai tempat hiburan, tetapi juga sebagai simbol persatuan dan kebersamaan dalam masyarakat Majapahit.

Alun-Alun Waguntur: Pusat Upacara Kenegaraan

Berbeda dengan alun-alun Bubat yang bersifat informal dan merakyat, alun-alun Waguntur memiliki karakter yang lebih sakral. Terletak di dalam kompleks pura raja Majapahit, lapangan ini digunakan untuk upacara penobatan atau resepsi kenegaraan yang penting. 

Di lapangan Waguntur, terdapat Siti Inggil, yaitu area yang lebih tinggi dan dianggap suci, serta kompleks pemujaan berupa kuil Siwa yang terletak di sebelah Timur dari lapangan ini.

Keberadaan alun-alun Waguntur menunjukkan betapa pentingnya fungsi ritual dan spiritual dari ruang ini dalam kehidupan masyarakat Majapahit. Seperti halnya alun-alun Lor di Kraton Yogyakarta atau Surakarta yang menjadi pusat kegiatan keagamaan dan kenegaraan, alun-alun Waguntur juga memiliki peran yang serupa. Namun, terdapat perbedaan signifikan antara keduanya: sementara alun-alun Lor memiliki masjid di sebelah Barat sebagai pusat kegiatan religius, Waguntur memiliki kuil sebagai pusat pemujaan. 

Hal ini mencerminkan perbedaan tradisi keagamaan dan fungsi spiritual di masing-masing kerajaan, serta memperlihatkan bagaimana ruang publik dapat menjadi simbol kekuatan dan legitimasi raja dalam konteks yang lebih sakral.

Fungsi Ganda dan Keberlanjutan Tradisi

Baca Juga : Masih Banyak Investor Nakal, Pemkot Batu Ajak Investasi Ramah Lingkungan dan Berdampak ke Masyarakat

Keberadaan dua alun-alun dengan fungsi yang berbeda ini menunjukkan betapa kompleks dan terorganisirnya kehidupan di ibu kota Majapahit. Alun-alun tidak hanya berfungsi sebagai ruang publik bagi rakyat untuk berkumpul dan berinteraksi, tetapi juga memiliki fungsi sakral yang mendukung legitimasi kekuasaan raja. Alun-alun Waguntur dan Bubat, dengan peran masing-masing, menjadi saksi bisu dari kehidupan sosial, budaya, dan politik yang berlangsung di Trowulan.

Alun-alun Waguntur, yang lebih sakral, digunakan untuk upacara penobatan dan resepsi kenegaraan, serta dilengkapi dengan Siti Inggil dan kuil Siwa sebagai pusat pemujaan. Sebaliknya, alun-alun Bubat menjadi tempat bagi pesta rakyat tahunan, dengan berbagai pertunjukan dan permainan yang dihadiri oleh raja, menciptakan hubungan yang lebih dekat antara raja dan rakyatnya.

Meskipun Negara Kertagama tidak menjelaskan secara detail apakah alun-alun tersebut ditanami rumput atau tidak, yang jelas adalah bahwa ruang-ruang ini dirancang untuk mendukung berbagai aktivitas yang mencerminkan kehidupan masyarakat dan pemerintahan saat itu. 

Alun-alun ini tidak hanya mencerminkan keragaman fungsi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Majapahit tetapi juga menunjukkan bagaimana ruang publik dapat diorganisir sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan sosial, budaya, dan politik yang beragam. Hal ini memperlihatkan betapa teratur dan terstruktur kehidupan di ibu kota Majapahit, serta bagaimana ruang-ruang publik tersebut berperan penting dalam mendukung otoritas dan legitimasi penguasa.

Menghidupkan Kembali Spirit Alun-Alun

Seiring berjalannya waktu, fungsi dan kondisi alun-alun mengalami perubahan. Banyak alun-alun di kota-kota Indonesia yang kini menjadi pusat keramaian, tempat orang berjualan, atau taman bermain. Namun, semangat awal dari alun-alun sebagai pusat kehidupan sosial dan budaya seharusnya tetap dipertahankan.

Kembali ke pertanyaan awal: bagaimana kondisi alun-alun di kota kamu sekarang? Setiap alun-alun memiliki cerita dan peran yang berbeda-beda, tergantung pada bagaimana masyarakat dan pemerintah setempat memeliharanya. Di beberapa tempat, alun-alun masih menjadi jantung kota yang aktif, sementara di tempat lain mungkin telah berubah fungsi.

Namun, mengingat sejarah panjang dan fungsi alun-alun yang beragam sejak zaman Majapahit, penting untuk terus menjaga dan merawat alun-alun sebagai bagian dari warisan budaya yang berharga. Alun-alun bukan hanya sekadar ruang terbuka, tetapi juga simbol dari keberagaman fungsi sosial, budaya, dan spiritual dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Dari kisah tentang alun-alun Bubat dan Waguntur di Trowulan, kita belajar bahwa alun-alun memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Majapahit. Kedua alun-alun ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat berkumpulnya rakyat untuk berinteraksi dan menikmati hiburan, tetapi juga memegang peran sakral yang mendukung legitimasi kekuasaan raja. 

Fungsi sosial dan sakral yang diemban oleh kedua alun-alun tersebut menunjukkan betapa ruang publik ini menjadi pusat dari berbagai aktivitas yang menghidupkan kota, baik dalam aspek sosial, budaya, maupun politik.

Oleh karena itu, penting bagi kita untuk tetap menjaga dan merawat alun-alun di kota kita masing-masing sebagai bagian dari warisan budaya yang harus dilestarikan. Alun-alun bukan hanya sekadar ruang terbuka, tetapi juga merupakan cerminan dari identitas dan sejarah kita sebagai bangsa. Memelihara alun-alun berarti menjaga kenangan kolektif dan nilai-nilai yang diwariskan oleh nenek moyang kita. 

Selain itu, alun-alun yang terawat dengan baik dapat terus berfungsi sebagai pusat kegiatan masyarakat, tempat berkumpulnya berbagai generasi, dan simbol kebanggaan lokal. Bagaimanapun, alun-alun adalah cerminan dari identitas kita sebagai bangsa yang menghargai sejarah dan warisan budaya yang kaya.


Topik

Serba Serbi alun alun sejarah alun alun alun alun kerajaan majapahit



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Dede Nana