JATIMTIMES - Jepang mencatat lebih dari 17.000 “lonely death” di kalangan warga lanjut usia dalam tiga bulan pertama tahun 2024 ini. Survei baru tersebut menunjukkan masalah serius yang dihadapi pemerintah Jepang dalam mengatasi isolasi sosial dalam demografi.
Sebagai informasi, Lonely Death dapat didefinisikan sebagai kematian seseorang yang tidak dirawat oleh siapa pun, dan jenazahnya ditemukan setelah jangka waktu yang cukup lama. Penemuan jenazah yang meninggal sendirian tersebut biasanya terjadi setelah mayatnya membusuk. Di Jepang, Lonely Death biasanya dikenal dengan Kodokushi.
Baca Juga : Program Bayi Tabung: Pria Lebih Dominan Bermasalah Dibanding Perempuan
Melansir South China Morning Post, Sabtu (18/5), Masataka Nakagawa, peneliti senior di Institut Nasional Penelitian Kependudukan dan Jaminan Sosial yang dikelola pemerintah Jepang, mengatakan ada tiga alasan utama tingginya jumlah kodokushi, atau kematian karena kesepian, di Jepang.
“Pertama, ada perubahan besar dalam tatanan kehidupan di keluarga Jepang. Dulu kami memiliki beberapa generasi keluarga yang tinggal bersama, namun hal ini tidak lagi terjadi karena anak-anak cenderung menjauh dari orang tuanya karena alasan pekerjaan," kata Masataka kepada This Week in Asia.
“Kedua, angka pernikahan telah menurun selama beberapa tahun terakhir. Yang berarti saat ini terdapat banyak orang lajang, bahkan di kalangan lansia,” tambahnya.
Faktor ketiga, karena rata-rata harapan hidup di Jepang yang lebih panjang. Sehingga menyebabkan setengah dari pasangan lanjut usia- biasanya perempuan, hidup sendirian.
Statistik mengenai “Lonely Death” dirilis oleh Badan Kepolisian Nasional. Dalam survei tersebut menunjukkan bahwa di seluruh Jepang terdapat 21.716 orang meninggal dalam tiga bulan pertama 2024, dengan hampir 80 persen, atau 17.034 orang berusia 65 tahun atau lebih.
Statistik tersebut menunjukkan bahwa kelompok kematian terbesar, termasuk karena bunuh diri, terjadi pada mereka yang berusia 85 tahun ke atas, dengan 4.922 kasus. Laporan ini merupakan tinjauan komprehensif pertama kali yang dilakukan oleh lembaga tersebut.
Laporan tersebut dikeluarkan setelah pemerintah Jepang mengeluarkan undang-undang pada Mei 2023 untuk mengatasi masalah 'Lonely Death' yang diperburuk oleh pandemi virus corona.
Undang-undang tersebut mulai berlaku pada tanggal 1 April, dimana pemerintah daerah diminta untuk mengidentifikasi kelompok rentan Lonely Death dan mengatasi penyebab permasalahannya. Bahkan pemda menyiapkan layanan telepon dan situs web yang menawarkan konsultasi kepada orang-orang rentan.
Nakagawa mengatakan bahwa lingkungan sekitar dan komunitas lokal biasanya saling melengkapi dengan keluarga untuk memberikan dukungan bagi para lansia. namun banyaknya Lonely Death menunjukkan bahwa jaringan dukungan dan sistem jaminan sosial tidak memadai.
“Kita tahu bahwa perempuan cenderung memiliki hubungan yang lebih baik dengan anggota keluarga, tetangga, dan komunitas lokal dibandingkan laki-laki, jadi saya yakin fokus yang lebih besar perlu diberikan pada laki-laki lanjut usia yang tinggal sendirian dan cenderung lebih terisolasi,” katanya.
Para ahli mengatakan laporan ini adalah studi nasional pertama mengenai Lonely Death dan survei ini juga sulit untuk menentukan angka-angka di tahun-tahun sebelumnya. Namun pada tahun 2009, lembaga penyiaran nasional NHK melaporkan 32.000 “Lonely Death" setiap tahunnya, naik dari 1.049 kasus yang dikonfirmasi pada tahun 1994.
Masalah Lonely Death tak Hanya di Jepang
Baca Juga : 2024, Jumlah Petani di Jatim Turun hingga 230,73 ribu orang
Sebuah laporan yang dikeluarkan oleh pemerintah Korea Selatan pada bulan Desember 2022 menunjukkan bahwa terdapat 3.378 Lonely Death di negara itu pada tahun 2021. Angka tersebut naik dari 2.412 pada tahun 2017, yang mayoritasnya berusia 50-an dan 60-an.
Tomoko Owan, seorang profesor gerontologi di Universitas Ryukyus, mengatakan Lonely Death lebih jarang terjadi di Okinawa dan wilayah lain di Jepang, jika dapat mengambil pelajaran dari rasa kebersamaan di prefektur paling selatan Jepang tersebut.
“Ini pulau kecil dan masyarakat di sini masih menghargai rasa kekeluargaan, bisa bertatap muka dan berkomunikasi,” ujarnya.
“Kami menyebutnya moai, dan ini adalah sesuatu yang tampaknya sudah dilupakan oleh orang-orang di seluruh Jepang karena semakin banyak orang yang kehilangan kontak satu sama lain," imbuh Owan.
Lebih lanjut, Owan mengatakan di kota-kota besar seperti Tokyo dan Osaka, semangat bermasyarakat sudah tidak ada lagi, sebab semakin banyak masyarakat yang tinggal sendiri. Berbeda dengan di Okinawa yang sering mengadakan festival, tari, dan acara olahraga.
Owan juga mengimbau agar masyarakat tetap sehat secara mental dan fisik berapa pun usianya.
“Saya berusia 65 tahun, tetapi saya mengajar karate di Universitas Ryukyu dan baru-baru ini mulai mengajar kelas anak muda yang tidak tahu banyak tentang karate. Karate juga bagian dari budaya Okinawa. Penting bagi saya untuk tetap aktif dan tetap berhubungan dengan teman dan keluarga," pungkas Owan.