JATIMTIMES - Dewan Pers dengan tegas menolak sejumlah pasal kontroversial di dalam draf proses Rancangan Undang-Undang (RUU) yang sedang bergulir di badan legislasi DPR RI. Beberapa pasal yang dianggap kontroversial, di antaranya pasal soal larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi dan penyelesaian sengketa terkait kegiatan penyiaran dilakukan oleh KPI.
"Penolakan ini didasarkan didasarkan juga, bahwa ketika menyusun peraturan perundang-undangan perlu dilakukan proses harmonisasi, agar antara satu undang-undang dengan yang lain tidak tumpang tindih," jelas Ketua Umum Dewan Pers Ninik Rahayu, dikutip YouTube KompasTV live.
Baca Juga : Modus Maling Teriak Maling, 5 Pelaku Diringkus Polresta Malang Kota
Menurut Ninik, RUU Penyiaran ini juga menjadi salah satu penyebab pers di Indonesia tidak merdeka. "Tidak independen, dan tidak akan melahirkan karya jurnalistik yang berkualitas," tambah Ninik.
Ada tiga hal yang dijelaskan Ninik menjadi penyebab RUU bisa menghambat kebebasan pers, khususnya dalam dunia penyiaran. Pertama, RUU justru menghambat insan pers untuk melahirkan karya jurnalistik terbaik, karena ada larangan membuat liputan investigatif.
"Ada pasal yang memberikan larangan pada media investigatif, ini sangat bertentangan dengan mandat yang ada dalam UU nomor 40 tahun 199 pasal 4. Karena kita sebetulnya dengan UU 40 tidak lagi mengenal penyensoran," tutur Ninik.
Alasan kedua yang menghambat kebebasan pers penyusunan RUU tidak melalui prosedur yang layak. Pasalnya, menurut Ninik, masyarakat bahkan Dewan Pers tidak dilibatkan dalam pembentukan RUU tersebut.
Sedangkan alasan ketiga, dijelaskan Ninik, lembaga Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sejatinya tidak memiliki mandat untuk penyelesaian etik terhadap karya jurnalistik. Hal ini membuat kesan tumpang tindih kewenangan.
"Mandat penyelesaian jurnalistik itu ada di Dewan Pers dan itu dituangkan dalam Undang-Undang," ungkapnya.
Lebih lanjut Ninik menegaskan bahwa RUU tersebut berseberangan dengan "roh" dari Perpres nomor 32 tahun 2024 yang baru saja diteken Presiden Joko Widodo. Perpres tersebut mengatur soal tanggung jawab perusahaan platform digital dalam penyediaan berita jurnalisme yang berkualitas di Indonesia.
Ninik juga menjelaskan bahwa jika seandainya RUU terus saja bergulir dan akhirnya disahkan legislatif, maka akan ada potensi media di Indonesia yang tidak independen dalam mengawal isu. Oleh karenanya, Ninik dan seluruh jajaran persatuan wartawan yang mewakili setiap platform dengan tegas menolak bergulirnya RUU penyiaran tersebut.
Sebagai informasi, beberapa pasal yang dinilai kontroversial berada dalam draf revisi UU No.32 tahun 2022 Tentang Penyiaran yakni sebagai berikut:
● Pasal 50B ayat 2 huruf C, yang berbunyi:
Baca Juga : Pj Wali Kota Malang Siapkan Sejumlah Program untuk Wujudkan Kota Layak Anak
(2) selain memuat panduan kelayakan isi siaran dan konten siaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), standar isi siaran memuat larangan mengenai
(C) penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.
● Pasal 42 yang berbunyi:
Penyelesaian sengketa terkait kegiatan jurnalistik penyiaran dilakukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
(Poin dalam revisi UU penyiaran tumpang tindih dan bertentangan UU No.40 tahun 1999 tentang Pers).