JATIMTIMES - Februari 2024, dalam sebuah perjalanan ke Surakarta, petualangan tak terduga menanti penulis. Bertemu dengan Mas Roni Setyawan, seorang kolektor motor antik dan warga asli Kota Solo, membuka pintu bagi saya untuk menjelajahi kampung Belanda yang legendaris.
Terletak di timur Benteng Vastenburg, kawasan ini dipenuhi dengan aura sejarah yang masih menyimpan berbagai misteri menarik. Dengan penuh semangat, saya bersiap untuk mengeksplorasi keindahan dan keunikan yang tersembunyi di balik dinding-dinding kampung Belanda ini bersama Mas Roni.
Baca Juga : Daftar Tarif Tol Trans Jawa Selama Mudik Lebaran 2024
Di kampung Belanda ini, masih tersisa banyak bangunan kolonial dan rumah-rumah joglo bergaya Surakarta yang menjelma menjadi saksi bisu masa lalu yang gemilang. Namun, sayangnya, banyak di antara bangunan itu yang telah dihancurkan oleh pemilik baru untuk kemudian dibangun kembali dengan gaya arsitektur yang lebih modern. Menariknya, Mas Roni memberikan informasi menarik bahwa rumah-rumah tersebut kini dimiliki oleh orang-orang Tionghoa.
Dengan penuh semangat, penulis dan Mas Roni memulai petualangan kami. Beriringan dengan motor klasik yang menjadi andalan kami berdua. Kami berkeliling kampung Belanda untuk menyaksikan sendiri keindahan dan keunikan bangunan-bangunan tersebut.
Di tengah perjalanan kami, kami berhenti sejenak di depan Gereja Pantekosta yang terletak di kawasan itu. Di situlah, kami duduk bersama sambil berdiskusi tentang sejarah dan kehidupan masa lalu yang pernah ada di kampung Belanda ini.
Dari cerita Mas Roni dan pemahaman saya sendiri, saya mulai memetakan gambaran tentang bagaimana kehidupan di kampung Belanda ini pada masa lampau. Saya membayangkan bahwa kawasan ini dulunya adalah pemukiman bangsawan Eropa yang hidup dalam kemewahan dan keberkelasannya. Bangunan-bangunan megah yang masih berdiri kokoh hingga kini menjadi saksi bisu dari masa kejayaan yang pernah ada di kampung Belanda ini.
Mas Roni tersenyum lebar dan mulai bercerita tentang sejarah dan kehidupan masa lalu di kawasan tersebut. "Dulu, kawasan ini memang menjadi tempat tinggal para pegawai pemerintah Hindia Belanda. Benteng Vastenburg menjadi pusat administrasi. Sedangkan di belakangnya terhampar perumahan untuk para bangsawan Eropa," terang Mas Roni.
Dia melanjutkan ceritanya sambil menyesap secangkir kopi hangat di kedai pinggir jalan. "Setelah masa kolonial berakhir, banyak rumah yang ditinggalkan oleh pemiliknya. Dan kemudian, banyak bangunan yang diambil alih oleh warga keturunan Tionghoa. Mereka membawa nuansa baru dalam kampung ini," imbuhnya.
Selama beberapa jam kami berada di sana, penulis merasa seperti terlempar ke masa lalu. Setiap sudut kampung Belanda menyimpan cerita dan misteri yang menarik untuk dijelajahi. Bersama Mas Roni, penulis tidak hanya menjelajahi fisik bangunan-bangunan tersebut, tetapi juga merasakan bagaimana nuansa dan kehidupan yang pernah ada di sana. Petualangan ini tidak hanya meninggalkan kesan mendalam, tetapi juga membuka mata akan kekayaan sejarah dan budaya yang dimiliki oleh Kota Solo, terutama di kawasan kampung Belanda ini.
Sejarah Kampung Belanda Surakarta
Ya, di Surakarta, atau yang lebih dikenal sebagai Kota Solo, terdapat sebuah kisah menarik dari masa lampau yang masih menghiasi sebagian kota ini. Di timur Benteng Vastenburg, dulunya berdiri megah sebuah kampung yang disebut Kampung Belanda. Meskipun zaman telah berubah, sisa-sisa kejayaan kampung itu masih menyisakan beberapa rumah joglo dan bangunan kolonial yang masih dapat kita lihat dengan mata kepala sendiri.
Kampung Belanda, yang kini dikenal sebagai Kampung Loji Wetan, memiliki sejarah yang panjang dan menarik. Pada masa lalu, kawasan ini merupakan pusat pemerintahan Hindia Belanda di Kota Solo. Benteng Vastenburg menjadi saksi bisu dari gemerlapnya kegiatan administratif yang berpusat di sana. Di balik benteng itu, tepatnya di belakangnya, terhampar perumahan untuk para pegawai pemerintah kolonial tersebut.
Baca Juga : Profil Praz Teguh, Komika yang Kena Hujatan Netizen Usai Ungkap Tipe Wanita dari Mata Kakinya
Kehidupan di Loji Wetan pada masa itu begitu berwarna. Selain sebagai tempat tinggal para pegawai Belanda, kawasan ini juga dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas modern seperti poliklinik, gudang senjata, dan bahkan sekolah yang khusus diperuntukkan bagi anak-anak bangsawan Belanda. Tak hanya itu, legenda pun berbicara bahwa beberapa warga Belanda juga menjalin ikatan perkawinan dengan penduduk asli, menambah warna dalam keberagaman kultural di kampung itu.
Dalam sebuah penelitian skripsi yang ditulis oleh Riesky Maharani dari Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) pada tahun 2007, terungkap bahwa pada masa lalu, kawasan Loji Wetan menjadi pusat pemerintahan Hindia Belanda, dengan kantor pemerintah yang berlokasi di Benteng Vastenburg. Di belakang benteng tersebut, terhampar perumahan untuk pegawai pemerintah kolonial, dilengkapi dengan segala fasilitas seperti poliklinik, gudang senjata, dan sekolah yang khusus diperuntukkan bagi anak-anak bangsawan.
Melalui unggahan akun Instagram yang sering membagikan cerita sejarah, seperti @mlampahsolo dan @benu_fossil, diketahui bahwa Loji Wetan dahulu disebut sebagai Cota Blunda, sebuah sebutan untuk Kampung Belanda di Solo. "Cota Blunda merupakan sebutan 'Kampung Belanda' untuk Lodji Wetan Surakarta, pada masa Hindia Belanda, sebelum menjadi Europesche Kamp," ungkap pengelola akun tersebut.
Menariknya, dalam cerita yang sama, terungkap bahwa warga Belanda yang tinggal di Loji Wetan juga menjalin ikatan perkawinan dengan perempuan Jawa. Namun, setelah masa kejayaan kolonial berakhir dan warga Belanda kembali ke negara asalnya, rumah-rumah di kawasan Loji Wetan yang dikenal sebagai Kampung Belanda ini banyak beralih kepemilikan, dan kini dihuni oleh warga keturunan Tionghoa.
Meski demikian, tidak semua bangunan megah itu bertahan dengan megahnya. Dari 150 bangunan kolonial yang dulu berdiri tegak, hanya tersisa separuhnya, yaitu 75 bangunan. Sisa-sisa tersebut pun tidak luput dari perubahan zaman. Ada yang dibiarkan terbengkalai oleh pemiliknya, ada pula yang mengalami perubahan fungsi namun masih mempertahankan keaslian arsitekturnya, dan beberapa lainnya bahkan telah mengalami perubahan secara menyeluruh.
Yang menarik, kawasan yang dulunya menjadi tempat hiburan dan kuliner, kini telah berubah wajah menjadi kawasan pertokoan. Bangunan-bangunan yang menghadap ke barat, yang semula menjadi saksi bisu permainan dan kegembiraan, kini menjadi saksi bisu transaksi dan aktivitas perdagangan modern.
Dengan segala perubahannya, sisa-sisa Kampung Belanda di Solo tetap menjadi potret hidup dari masa lalu kolonial yang kini dihuni oleh beragam cerita dan keberagaman budaya. Meskipun telah berubah, tetapi keberadaannya tetap memberikan warna tersendiri dalam panorama sejarah kota Solo yang kaya akan warisan budaya dan sejarahnya.
Dengan segala cerita dan sejarah yang telah terkuak, kampung Belanda di Solo tidak hanya menjadi sekadar rangkaian bangunan bersejarah, tetapi juga simbol keberagaman dan perpaduan budaya yang kaya. Meskipun telah mengalami berbagai perubahan kepemilikan dan transformasi, jejak-jejak masa lalu yang terpatri dalam setiap sudutnya tetap menjadi saksi bisu dari kejayaan kolonial yang pernah ada. Setiap jengkal kampung Belanda menyimpan kisah yang tak terhitung jumlahnya, mengajak kita untuk mengulik lebih dalam tentang lalu lintas sejarah dan interaksi antarbudaya yang pernah terjadi di Kota Solo. Dengan demikian, kampung Belanda tidak hanya menjadi destinasi wisata sejarah, tetapi juga sebuah persembahan yang menginspirasi untuk terus menjaga dan merawat warisan budaya kita bersama.