JATIMTIMES - Desa Plumbangan, sebuah permata tersembunyi di tengah pegunungan wilayah Blitar barat, menawarkan lebih dari sekadar pemandangan yang memukau. Di antara kehijauan hutan dan gemuruh suara air sungai, desa ini memancarkan keindahan alam yang memesona.
Namun, keistimewaannya tidak hanya terletak pada panorama alamnya yang memukau, tetapi juga pada keasrian, ketenangan, dan keberlanjutan tradisi-tradisi budaya yang masih dijaga dengan kokoh.
Baca Juga : Pakai Primer tapi Makeup Masih Luntur, Ini Solusinya
Desa Plumbangan terletak di Kecamatan Doko, dekat Wlingi, Kabupaten Blitar. Bukan hanya sebuah kumpulan rumah tradisional. Desa ini adalah perwakilan nyata dari keelokan alam yang masih alami dan lestari. Dikelilingi oleh pegunungan yang hijau dan sungai yang mengalir deras, desa ini menawarkan udara yang sejuk dan segar, menyegarkan jiwa dan pikiran setiap pengunjung yang datang.
Tidak hanya itu. Keasrian alam Desa Plumbangan juga turut disokong oleh keberadaan berbagai tanaman yang tumbuh subur di sekitar desa. Pepohonan rindang, ladang-ladang hijau yang terhampar luas, serta aroma khas alam yang menyegarkan, semuanya menciptakan atmosfer yang mendamaikan dan menenangkan.
Desa ini benar-benar menjadi tempat yang cocok untuk melarikan diri dari hiruk-pikuk kehidupan perkotaan, dan menyatu dengan alam dalam keheningan mendalam.
Di antara kehijauan hutan dan gemuruh sungai, Desa Plumbangan menjadi saksi bisu dari perjalanan waktu, termasuk kisah kelam Mpu Gandring dan berdirinya Kerajaan Singasari.
Sebelum memasuki kisah tentang Mpu Gandring, kita perlu melihat latar belakang sejarah Kerajaan Singasari. Kerajaan Singasari juga dikenal sebagai Kerajaan Tumapel, merupakan sebuah kerajaan Hindu-Buddha yang berdiri megah di Jawa Timur pada rentang waktu antara tahun 1222 hingga 1292 Masehi.
Kerajaan ini merupakan buah karya dari Sri Ranggah Rajasa, yang lebih dikenal sebagai Ken Arok. Kisah perjalanan kerajaan ini tidak hanya memperlihatkan keagungan arsitektur dan kebudayaan, tetapi juga menampilkan intrik-intrik politik yang melibatkan tokoh-tokoh penting pada zamannya.
Menurut catatan Kitab Pararaton, awal mula Kerajaan Tumapel terkait erat dengan peran penting Ken Angrok (Ken Arok) (1222–1227), pendiri Wangsa Rajasa sekaligus Kerajaan Tumapel. Lokasi pusat kerajaan ini diperkirakan berada di daerah Kecamatan Singasari, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur.
Tumapel pada awalnya adalah bagian dari wilayah bawahan Kerajaan Kadiri. Pada masa itu, jabatan "akuwu" atau setara camat di Tumapel dipegang oleh Tunggul Ametung. Namun, nasib tragis menimpa Tunggul Ametung ketika ia dibunuh dengan tipu muslihat oleh salah seorang pengawalnya sendiri, yaitu Ken Arok.
Ken Arok kemudian mengangkat dirinya sendiri sebagai akuwu Tumapel. Melalui serangkaian peristiwa yang menegangkan, Ken Arok akhirnya memperoleh gelar Sri Ranggah Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi, sebagai raja pertama Tumapel.
Kembali kita membahas Mpu Gandring. Mpu Gandring dikenal sebagai seorang ahli pembuat senjata yang legendaris. Kisahnya tercatat dalam Pararaton, sebuah naskah kuno yang menjadi sumber utama sejarah Jawa.
Konon, Mpu Gandring menciptakan sebilah keris yang mampu membunuh hanya dengan sekali tusuk. Dan keris inilah yang akhirnya menjadi akhir bagi Ken Arok, pendiri Kerajaan Singasari.
Mpu Gandring berasal dari Desa Lulumbang atau Palumbangan, yang kini dikenal sebagai Desa Plumbangan yang masuk wilayah Kecamatan Doko, Kabupaten Blitar. Mpu Gandring adalah sahabat Bango Samparan, ayah angkat Ken Arok.
Kisah dimulai ketika Ken Arok meminta Mpu Gandring untuk membuatkan keris sakti. Namun, karena ketergesa-gesaan Ken Arok, keris tersebut belum sempurna saat dia datang kembali setelah lima bulan.
Sedangkan Ken Arok lahir pada tahun 1182, sebagai anak Gajah Para dari Campara (sekarang Desa Bacem, Kecamatan Sutojayan, Kabupaten Blitar) dan seorang wanita dari Desa Pangkur (sekarang Desa Jiwut, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar) yang bernama Ken Ndok. Gajah Para, jabatan setara "wedana" pada era Kerajaan Kediri, telah meninggal dunia saat Ken Arok masih dalam kandungan. Saat ibunya dibawa ke Kediri, bayi Ken Arok dibuang di sebuah pemakaman dan kemudian ditemukan serta diasuh oleh seorang pencuri bernama Lembong.
Ken Arok tumbuh menjadi berandalan yang lihai mencuri dan gemar berjudi, membebani Lembong dengan banyak utang sehingga Lembong mengusirnya. Kemudian, ia diasuh oleh Bango Samparan, seorang penjudi dari Desa Karuman (sekarang Kecamatan Garum, Kabupaten Blitar), yang menganggapnya sebagai pembawa keberuntungan.
Setelah itu, Ken Arok bersahabat dengan Tita, anak kepala desa Siganggeng (sekarang Senggreng, Kecamatan Sumberpucung, Kabupaten Malang). keduanya menjadi pasangan perampok yang ditakuti di seluruh kawasan Kerajaan Kadiri.
Pada suatu hari, Ken Arok bertemu dengan seorang brahmana dari India bernama Lohgawe, yang datang ke tanah Jawa mencari titisan Wisnu. Dari ciri-ciri yang ditemukan, Lohgawe yakin bahwa Ken Arok adalah orang yang dicarinya.
Baca Juga : Kisah di Balik Turunnya Surat Al Hujurat Ayat 12
Menurut Serat Pararaton, Ken Arok juga digambarkan sebagai keturunan Dewa Brahma, yang secara simbolis menggambarkan perbedaan status sosial kognitif Ken Arok di kemudian hari dengan anak-anak seusianya pada saat itu.
Lohgawe membawa Ken Arok ke Kadipaten Tumapel, kawasan bawahan Kerajaan Kadiri yang dipimpin oleh seorang akuwu bernama Tunggul Ametung. Berkat bantuan Lohgawe, Ken Arok diterima sebagai pengawal Tunggul Ametung.
Ketertarikan Ken Arok kepada Ken Dedes, istri Tunggul Ametung, yang cantik semakin bertambah setelah Lohgawe meramalkan bahwa Ken Dedes akan melahirkan raja-raja Jawa. Meskipun Lohgawe tidak merestui rencananya, Ken Arok tetap bertekad untuk merebut Ken Dedes dan menggulingkan Tunggul Ametung.
Untuk menjalankan ambisinya, Ken Arok membutuhkan senjata ampuh. Ayah angkatnya, Bango Samparan, memperkenalkannya pada sahabatnya, Mpu Gandring, seorang ahli pembuat pusaka dari Desa Lulumbang (sekarang Desa Plumbangan, Kecamatan Doko, Kabupaten Blitar).
Ken Arok meminta Mpu Gandring untuk membuatkan sebuah keris pusaka. Namun, karena ketergesa-gesaan Ken Arok, Mpu Gandring hanya berhasil membuat keris itu setengah jadi dalam lima bulan. Ketika Ken Arok datang mengambil pesanan, Mpu Gandring menolak memberikan keris yang belum sempurna tersebut.
Meskipun belum sempurna, keris itu mampu membelah lumpang batu milik Mpu Gandring. Dan akhirnya, keris itu direbut oleh Ken Arok dan digunakan untuk menyerang Mpu Gandring hingga tewas. Di ambang kematian, Mpu Gandring mengucapkan kutukan bahwa keris itu akan membunuh tujuh orang penguasa, termasuk Ken Arok dan keturunannya.
Setelah kembali ke Tumapel, Ken Arok menjalankan rencananya untuk membunuh dan merebut kekuasaan Tunggul Ametung. Ia memberikan keris pusaka itu kepada Kebo Hijo, rekan sesama pengawal, yang dengan bangga memamerkannya kepada semua orang.
Malam berikutnya, Ken Arok mencuri keris pusaka itu dari tangan Kebo Hijo yang sedang mabuk. Kemudian, ia membunuh Tunggul Ametung di atas ranjang dan mengangkat dirinya sebagai akuwu baru Tumapel.
Kebo Hijo dihukum mati karena keris Mpu Gandring yang dianggap miliknya ditemukan menancap pada mayat Tunggul Ametung. Ken Dedes, meskipun sedang mengandung anak Tunggul Ametung, mendukung rencana pembunuhan suaminya dan menikahi Ken Arok.
Dengan demikian, Ken Arok berhasil merebut kekuasaan Tumapel dan mengawali langkah-langkah penting dalam perjalanan hidupnya menuju kejayaan sebagai pendiri Kerajaan Singasari. Ken Arok, setelah mengambil alih kekuasaan, menikahi janda Tunggul Ametung yang tengah mengandung, yang dikenal sebagai Ken Dedes.
Anak Ken Dedes dari pernikahannya sebelumnya dengan Tunggul Ametung adalah Anusapati. Selain menikahi Ken Dedes, Ken Arok juga memiliki istri lain yang bernama Ken Umang, yang kemudian melahirkan seorang putra bernama Tohjaya.
Dan dalam perjalanannya, kutukan Mpu Gandring terbukti menjadi kenyataan. Ken Arok, setelah merebut kekuasaan Tumapel, mengalami kematian tragis oleh tangan Anusapati, putra Tunggul Ametung. Dan keris yang digunakan untuk membunuh Ken Arok juga mengakibatkan kematian bagi tujuh keturunannya.
Selain kisah mistisnya, Mpu Gandring juga meninggalkan jejak dalam sejarah peradaban Nusantara melalui gelarnya. Gelar "mpu" atau "empu" sebenarnya bukan hanya identik dengan pembuat keris, tetapi juga memiliki makna yang lebih luas. Dalam perkembangannya, gelar ini bergeser peran, dari pemilik atau penguasa menjadi identik dengan profesi pembuat senjata.
Kisah Mpu Gandring tidak hanya menjadi bagian dari cerita sejarah Kerajaan Singasari, tetapi juga meninggalkan warisan mistis yang masih dirasakan hingga saat ini. Desa Plumbangan, dengan segala keindahan dan misterinya, tetap menjadi saksi bisu dari perjalanan waktu dan kejadian-kejadian bersejarah yang membentuk identitas wilayah Blitar barat. Sebuah perjalanan sejarah yang terus hidup dan menginspirasi generasi-generasi selanjutnya.