free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Agama

Pesantren Tegalsari: Menelusuri Sejarah dan Warisan Spiritual Kiai Ageng Muhammad Besari

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Nurlayla Ratri

11 - Mar - 2024, 14:35

Placeholder
Rumah bersejarah peninggalan Kiai Ageng Muhammad Besari di Desa Tegalsari, Kecamatan Jetis, Kabupaten Ponorogo.(Foto: Aunur Rofiq/JatimTIMES)

JATIMTIMES- Di Desa Tegalsari, Kecamatan Jetis, Kabupaten Ponorogo, terdengar hening yang diselingi oleh gemuruh doa yang mengisi udara sekitar. Setiap langkah yang diambil oleh para peziarah, membawa mereka lebih dekat kepada makam Kiai Ageng Anom Besari. 

Di tengah reruntuhan yang menyimpan segudang kenangan masa lalu, Pesantren Gebang Tinatar menjulang sebagai penjaga setia akan kejayaan yang pernah menghiasi tempat ini.

Baca Juga : Profil Kate Middleton, Istri Pangeran William yang Kembali Muncul di Publik Usai Jalani Operasi Perut

Pesona spiritual yang terpancar dari makam Kiai Ageng Muhammad Besari menarik ribuan peziarah dari berbagai penjuru. Mereka datang dengan hati penuh harap, mencari ketenangan dan petunjuk dari sosok yang dipercaya sebagai penjaga spiritualitas dan kebijaksanaan. Suasana hening yang diisi dengan doa-doanya, memperkuat aura keramat yang menyelimuti tempat ini.

Melangkah di antara reruntuhan pesantren yang kini tinggal kenangan, kita disuguhkan dengan lapisan-lapisan sejarah yang terukir dalam dinding-dinding yang mulai rapuh. Meskipun fisiknya telah terabaikan, namun warisan budaya yang terus diceritakan mampu menghidupkan kembali kejayaan masa lalu. Jejak-jejak kehidupan spiritual di pesantren ini tetap menjadi saksi bisu akan kebesaran lembaga pendidikan ini.

Namun, di tengah keheningan yang menggema, masjid yang menjadi pusat kegiatan keagamaan menawarkan pesona yang tak kalah menariknya. Di sini, para pengunjung tidak hanya datang untuk menunaikan ibadah, tetapi juga untuk merasakan atmosfer sejarah yang begitu kental. Masjid berumur ratusan tahun itu menjadi destinasi wisata heritage yang menarik hati para pengunjung dengan keindahan arsitekturnya yang bersejarah.

Dari segala sudut pandang, Pesantren Gebang Tinatar dan makam Kiai Ageng Muhammad Besari tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga menjadi cermin dari kekayaan budaya dan spiritualitas yang diwariskan dari generasi ke generasi. Suara-suara spiritual yang mengalun dari setiap sudut tempat ini menjadi saksi bisu akan kebesaran lembaga pendidikan ini, serta warisan budaya yang terus hidup dan diceritakan sebagai bukti kemegahan masa lalu Kabupaten Ponorogo.

Pesantren Tegalsari, atau yang dikenal juga sebagai Pesantren Gebang Tinatar, menjadi salah satu penjaga kebesaran tradisi keislaman di Indonesia. Didirikan pada abad ke-17 oleh sosok Kiai Ageng Muhammad Besari, pesantren ini telah menjadi tempat yang dihormati dan diakui oleh banyak orang.

Dengan ribuan santri yang berasal dari berbagai penjuru tanah Jawa dan sekitarnya, Pesantren Tegalsari menjadi pusat pembelajaran yang dihargai. Di antara para santri yang pernah mengenyam ilmu di pesantren ini, terdapat beberapa nama yang telah melintasi waktu, seperti Pakubuwono II, Ranggawarsita, Pangeran Diponegoro, dan H.O.S. Cokroaminoto. Mereka adalah saksi hidup dari kebesaran tradisi keislaman yang terpelihara dengan baik di pesantren ini.

Kiai Ageng Muhammad Besari memiliki keturunan dari Majapahit dan Nabi Muhammad SAW. Ayahnya, Ki Ageng Anom Besari dari Dusun Kuncen, Caruban, Madiun, berasal dari keturunan Majapahit. Ibunya, Nyai Anom Besari, memiliki garis keturunan yang menghubungkan langsung ke Rasulullah SAW melalui Sayyidati Fatimah Az-Zahra. Ayah Muhammad Besari, yaitu Ki Ageng Anom Besari adalah putra dari Syekh Mursyad atau dikenal sebagai Syekh Abdul Mursyad dari Kediri yang hidup pada masa Kasultanan Demak.

Menurut garis silsilah yang diterbitkan oleh Yayasan Kemanusiaan Syech Abdul Mursyad Kediri, Syech Mursyad adalah putera dari Pangeran Demang II Ngadiluwih. Kakeknya, Pangeran Jalu alias Pangeran Demang I, adalah putera dari Raden Panembahan Wirasmoro. Menelusuri jejak ini lebih jauh, Raden Panembahan Wirasmoro adalah putera Sunan Prawoto, yang merupakan Raja Demak Ketiga. Sunan Prawoto sendiri adalah putera Sultan Trenggana, yang menjabat sebagai Raja Demak Kedua. Sejarah kemudian mengungkapkan bahwa Sultan Trenggana adalah putera dari Raja Demak pertama, Raden Patah.

Dari silsilah yang begitu bersejarah ini, terlihat dengan jelas bahwa Ki Ageng Anom Besari dan keturunannya memiliki hubungan keluarga yang erat dengan Bupati Pertama Madiun, Pangeran Timoer. Melalui garis silsilah Kasultanan Demak, Pangeran Timoer adalah putera dari Sultan Trenggono. Ketiganya juga memiliki jalur kekerabatan dengan Ratu Mas Cempaka, ibu dari Joko Tingkir, yang kemudian menjadi Raja Kasultanan Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijaya.

Ki Ageng Anom Besari menikahi Nyai Anom Caruban, dan dari pernikahan ini lahirlah tiga putra: Abdul Rahman atau dikenal sebagai Kiai Khotib Anom, Kiai Mohammad Besari, dan Kiai Nur Sodiq. Dengan jejak silsilah yang begitu kuat, keluarga besar Kiai Ageng Anom Besari menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah yang kaya dan merubah peradaban.

Pada tahun 1669, Kiai Ageng Muhammad Besari memulai perjalanan bersejarah dengan melakukan Babat alas di wilayah timur sungai Jetis, dengan hasil pembangunan sebuah masjid di Coper. Tahun 1680 menjadi titik penting dalam sejarah, di mana Pondok Pesantren Gebang Tinatar Tegalsari resmi didirikan, menandai awal dari warisan keagamaan yang kemudian menjadi ciri khas wilayah tersebut. Perjalanan berlanjut pada tahun 1724 dengan pembangunan masjid kedua yang menambahkan kesan sakral pada lingkungan sekitar.

Sumber lain mengungkapkan bahwa awal mula pesantren ini bermula dari Kiai Ageng Muhammad Besari, yang memulai kehidupan pertapaan di tengah hutan lebat yang membentang dari kaki Pegunungan Wilis hingga dataran Ponorogo. Dalam kesunyian tersebut, dia menyerahkan dirinya sepenuhnya pada Tuhan. Tak berapa lama kemudian, orang-orang seiman datang untuk mencari ilmu dari Kiai Besari. Jumlah pengikutnya pun bertambah secara perlahan, hingga akhirnya pertapaan tersebut berkembang menjadi sebuah desa yang dikenal sebagai Tegalsari. Perubahan ini menandai awal dari perjalanan panjang pesantren ini dalam menyebarkan ilmu dan spiritualitas kepada masyarakat sekitar.

Dalam perkembangannya, pesantren yang didirikan Kiai Ageng Muhammad Besari menjadi magnet bagi ribuan santri setiap tahunnya, mencapai angka 3.000 orang, yang menjadikan pondok ini sebagai pusat pendidikan agama yang terkemuka di wilayahnya.

Dalam catatan sejarahnya, Pesantren Tegalsari melalui masa keemasannya berkat kealiman, kharisma, dan kepiawaian para kiai yang mengasuhnya. Ribuan santri dari berbagai penjuru tanah Jawa dan sekitarnya berduyun-duyun datang untuk menuntut ilmu di pesantren ini. Besarnya jumlah santri bahkan mendorong terbentuknya pondokan di berbagai desa sekitarnya, seperti desa Jabung (Nglawu), desa Bantengan, dan lainnya. Fenomena ini tidak hanya menandakan kebesaran lembaga pendidikan ini, tetapi juga mengukuhkan posisinya sebagai pusat pendidikan agama yang terdepan di wilayah tersebut.

Baca Juga : Optimalisasi Dana Zakat, BSI Bersinergi dengan Pemkab Mojokerto Kembangkan Klaster Peternakan

Dalam Babad Perdikan Tegalsari, terungkap kisah menarik tentang Raja Kartasura Sunan Pakubuwono II yang mendalami ilmu agama di Pondok Tegalsari. Pada tanggal 30 Juni 1742, Keraton Kartasura dikejutkan oleh Pemberontakan Tionghoa-Jawa yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi, cucu Sunan Amangkurat III. Serangan mendadak ini menghantam tanpa ampun, memaksa Pakubuwono II dan pengikutnya melarikan diri diam-diam ke arah timur Gunung Lawu. Saat dalam pelarian, takdir membawa mereka sampai di desa Tegalsari.

Di sana, di tengah ketakutan dan kekhawatiran, Pakubuwono II menemui perlindungan dan bimbingan dari Kiai Ageng Muhammad Besari. Penguasa yang tersingkir ini pun menjadi santri dari Kiai Besari, belajar bertafakur dan bermunajat kepada Allah dengan tulus dan tekun. Dengan kesungguhan dalam ibadah dan doa, serta bimbingan yang ikhlas dari Kiai Besari, Allah pun mengabulkan doa Pakubuwono II.

Pemberontakan pun mereda, dan Pakubuwono II dapat kembali ke tahtanya. Sebagai bentuk rasa terima kasih, desa Tegalsari diangkat sebagai desa merdeka atau perdikan, yang memberinya keistimewaan untuk bebas dari kewajiban membayar pajak kepada kerajaan. Kisah ini menjadi bukti nyata akan keajaiban dan keberkahan dari kehidupan spiritual yang dipelajari Pakubuwono II di Pondok Tegalsari.

Pada sekitar tahun 1742, desa Tegalsari diangkat sebagai desa perdikan oleh Pakubuwono II. Di tengah perubahan tersebut, Kiai Ageng mendirikan sebuah masjid dan tempat tinggal. Seiring berjalannya waktu, kompleks ini berkembang menjadi pesantren yang terkenal. Namun, takdir membawa Kiai Ageng meninggal pada usia lanjut dengan tahun wafat yang diperdebatkan, antara tahun 1747 atau 1760. Ada pula versi yang menyatakan Kiai Ageng wafat pada tahun 1773.

Setelah wafat, Kiai Ageng Muhammad Besari menjadi tokoh yang melegenda, khususnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pesona spiritual yang terpancar dari makam Kiai Ageng Anom Besari masih mampu menarik ribuan peziarah, menjadikannya sebagai titik spiritualitas yang tidak hanya diperhitungkan di tingkat lokal, tetapi juga diakui secara nasional. Semua ini menjadi bukti nyata akan kekayaan budaya dan spiritualitas yang terus dijaga dan diperjuangkan oleh masyarakat di Desa Tegalsari, sebagai bagian tak terpisahkan dari sejarah yang kaya dan merubah peradaban.

Pada tahun 1773, putra sulung Kiai Ageng Muhammad Besari, Kiai Ilyas, mengambil alih posisi kepemimpinan pesantren. Dia meneruskan jejak ayahnya dengan penuh dedikasi, bekerja keras untuk mengembangkan pesantren hingga ajal menjemputnya pada tahun 1800. Setelah kematiannya, peran kepemimpinan diwariskan kepada putra sulungnya, Kiai Yahya.

Namun, di bawah kepemimpinan Kiai Yahya, Pesantren Tegalsari mengalami kemerosotan yang signifikan. Pendidikan dikesampingkan, dan santri hampir secara eksklusif dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi sang kiai. Mereka diperintahkan untuk melakukan pekerjaan pertanian seperti menanam kedelai atau memotong padi.

Praktik semacam ini tidak luput dari perhatian pihak Keraton Kasunanan Surakarta, yang mengetahui tindakan tersebut melanggar amanat. Akibatnya, Kiai Yahya dipecat pada tahun 1820 karena kegagalannya dalam memenuhi tugasnya sebagai pemimpin pesantren.

Setelah Kiai Yahya, adiknya yang bernama Kiai Kasan Besari mengambil alih posisi kepemimpinan. Pada tahun 1799, Kiai Kasan Besari menikah dengan sepupu Pakubuwono IV. Sang raja memberikan Desa Karanggebang sebagai apanase dan Desa Pohlimo sebagai mahar, dengan syarat bahwa desa-desa tersebut harus secara eksklusif digunakan untuk kebutuhan sang raja dan ahli warisnya.

Pada 9 Januari 1862, Kiai Kasan Besari meninggal dalam usia 100 tahun, meninggalkan 10 anak dan 44 cucu. Jenazahnya dimakamkan di permakaman keluarga pada 10 Januari, dengan kehadiran para kepala desa dan ulama; jumlah khalayak yang hadir mencapai sekitar tiga ribu orang.

Putra tertua Kiai Kasan Besari, Kiai Kasan Anom, menggantikan posisi ayahnya pada tahun 1862. Sementara itu, Raden Hasan Ripangi, suami putri Kiai Kasan Besari dan Raden Ayu Kasan Besari, diangkat sebagai kepala desa di Pohlimo dan Karanggebang. Pada tahun 1873, Kiai Kasan Anom meninggal dan digantikan oleh adiknya, Kiai Hasan Kalipah, yang menjabat dari tahun 1873 hingga 1883.

Setelah Kiai Hasan Kalipah, posisi pemimpin dipegang oleh Kiai Kasan Anom II (1883–1903), Kiai Kasan Anom III (1903–1909), Kiai Moh. Ismangil (1909–1926), Kiai Iksan Ngalim (1926–1931), Kiai Ahmad Amin (1931–1960), dan terakhir oleh Kiai Al Yunani (1960–1964).


Topik

Agama Kiai Ageng Muhammad Besari Pondok Tegalsari



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Nurlayla Ratri