JATIMTIMES - Sejumlah komoditi pangan diperkirakan masih menjadi penyumbang besar terhadap tingkat inflasi di Jawa Timur (Jatim). Hal ini tak lepas dari naiknya harga kebutuhan pokok dalam beberapa waktu belakangan. Kondisi tersebut juga menjadi perhatian Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jatim.
Karena itu, pengendalian inflasi pangan masih akan menjadi fokus perhatian Pemprov Jatim. Sebab, beberapa komoditi pangan menyumbang angka inflasi Jatim di antaranya beras, aneka jenis cabai dan bawang.
Baca Juga : 1.847 Pedagang di Kota Batu Kantongi Sertifikasi Halal
Penjabat (Pj) Gubernur Jawa Timur Adhy Karyono menjelaskan, pengendalian inflasi menjadi prioritas dalam pembangunan daerah karena sangat berpengaruh terhadap keterjangkauan harga dan perubahan garis kemiskinan. Pembangunan daerah akan menstimulasi pertumbuhan ekonomi yang berdampak pada kesejahteraan masyarakat.
"Untuk itu, ketika inflasi dikendalikan maka peningkatan kesejahteraan masyarakat tidak tergerus oleh kenaikan harga barang, khususnya komoditi pangan. Karena sektor komoditi makanan berkontribusi sebesar 75,8 persen pembentuk garis kemiskinan Jatim," ungkap Pj Gubernur Adhy, dikutip Rabu (28/2/2024).
Sebagaimana diketahui, Tahun 2023 produksi beras Jatim mencapai 5,5 juta ton. Angka itu setara dengan 32,2 persen produksi beras di Pulau Jawa. Sedangkan produksi jagung mencapai 4,5 juta ton atau sekitar 60,9 persen produksi jagung Pulau Jawa.
Meski begitu, capaian produk tersebut tak menghapus fakta bahwa komoditi pangan terutama beras menjadi penyumbang inflasi yang dominan. Terlebih lagi, kenaikan harga beras tersebut tidak serta merta dapat dinikmati oleh para petani dan menaikkan derajat kesejahteraan mereka.
"Berdasarkan data BPS, peningkatan harga gabah terjadi saat produksi gabah tidak pada masa puncak produksi. Bahkan, saat panen raya (Maret-April) justru terjadi penurunan harga jual gabah," terangnya.
Selain itu, ada pula dilema yang harus dihadapi dalam pengendalian inflasi di Jatim. Di antaranya Jatim merupakan provinsi dengan 11 kota indeks harga konsumen (IHK) terbanyak di Pulau Jawa, Jatim merupakan salah satu lumbung pangan nusantara yang produksi komoditi pangannya untuk memenuhi kebutuhan 16 provinsi lain di Indonesia.
Kemudian, Jawa timur juga merupakan salah satu penghasil industri rokok terbesar dimana kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) memberikan tekanan harga di Jatim.
"Untuk menyikapi hambatan dan pengendalian inflasi di Jatim inilah maka, TPID (Tim Pengendalian Inflasi Daerah) Jatim mau tak mau harus memperkuat kelembagaan petani. Salah satunya melalui program korporasi petani," tegasnya.
Gagasan program korporasi petani ini diharapkan dapat meningkatkan daya tawar terhadap tengkulak dan daya saing petani sekaligus sebagai alternatif solusi mengendalikan inflasi utamanya inflasi pangan di Jawa Timur. Dikatakan Adhy, terobosan ini sebetulnya sudah dilakukan sejak semester lalu.
Baca Juga : 44 Petugas Pemilu Meninggal dan Kecelakaan Kerja Dapat Santunan BPJS Ketenagakerjaan
"Saat ini, pelatihannya sudah berjalan di Jombang dengan 10 gapoktan menggunakan koperasi petani dan nelayan dengan model koperasi multi pihak baik petani pemilik rice mill, kemudian kepala desa dan beberapa komponen lainnya," katanya.
Adhy menjelaskan, skema korporasi petani yang dijalankan melibatkan fasilitasi pembiayaan, dengan keterlibatan PT Kliring Perdagangan Berjangka Indonesia yang merupakan BUMN serta Bank UMKM Jatim. Korporasi petani juga mengelola secara profesional dari sisi hulu dengan hasil produksi utama beras dan residu bernilai ekonomi tinggi.
"Sampai dengan dibantu dengan bukan hanya berasnya, tetapi juga residu dari beras, ada biogas, ada pelet sekam, dan PLTBm (Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa)," tuturnya.
Selain itu, koperasi produsen multi pihak mayoritas juga milik petani. Manajemen korporasi, industri penggilingan beras, investor serta pemasaran terhubung dengan BUMD dan Kepala Desa. Karena mayoritas milik petani, sehingga pembagian Sisa Hasil Usaha (SHU) menjadi nilai tambah bagi kesejahteraan petani.
Adhy menambahkan, juga dijalankan korporasi pemasaran, dengan menggunakan merek kolektif atau communal branding “Jatim Cettar”. Sementara harga pasar dibentuk dari harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan oleh korporasi petani dan akan menjadi acuan penjualan untuk korporasi pemasaran.
"Intinya adalah kita akan menutup dua masalah dengan strategi korporasi petani yang pertama adalah ketersediaan pangan, lumbung pangan atau pengendalian bahan pangan untuk mencegah kelangkaan, yang kedua adalah pengendalian inflasi dari bawah," terangnya.