JATIMTIMES- Kisah tragis yang melingkupi Pangeran Arya Mangkunegara, tidak hanya mencerminkan perjuangan melawan kekuasaan yang zalim. Melainkan juga sebuah perjalanan hidup yang dipenuhi dengan liku-liku pahit dan pengorbanan.
Pangeran Arya Mangkunegara lahir dalam masa kekacauan politik di Istana Mataram, di tengah perebutan kekuasaan yang meruncing antara anggota keluarga kerajaan. Meskipun putera raja, namun perjalanannya tidaklah mudah.
Baca Juga : 5 Negara yang Putus Hubungan dengan Israel Buntut Penyerangan Gaza
Terpaksa ikut serta dalam pemberontakan melawan ketidakadilan yang dilakukan oleh VOC, pangeran tersebut harus menghadapi berbagai rintangan dan penderitaan.
Meskipun usahanya untuk merebut tahta Mataram terhalang oleh adiknya sendiri, Pangeran Arya Mangkunegara tetap setia mendukung pemerintahan yang sah. Namun, konspirasi dan fitnah yang dipelopori oleh musuh politiknya terus mengintai, hingga pada akhirnya ia diasingkan ke Srilangka dan kemudian dipindahkan ke Cape Town, Afrika Selatan.
Ya, Sunan Pakubuwono I dan Ratu Mas Blitar tidak hanya menurunkan raja-raja Mataram yang memerintah hingga saat ini. Raja dan ratu ini juga melahirkan sejumlah tokoh pemberontak, salah satunya Pangeran Arya Mangkunegara. Mangkunegara adalah ayah Pangeran Sambernyawa, yang kelak mendirikan Kadipaten Mangkunegaran.
Ratu Mas Blitar adalah sufi perempuan dengan garis keturunan Panembahan Senopati dengan permaisuri Retno Dumilah dari Madiun. Dari putranya yang kemudian menjadi Amangkurat IV, Ratu Mas Blitar memiliki cucu bernama Pangeran Arya Mangkunegara.
Pangeran Arya Mangkunegara adalah putra tertua Sunan Amangkurat IV dengan istri selir Mas Ayu Karoh. Ia lahir dengan nama Raden Mas Sura di Istana Mataram di Kartasura pada 1703, tahun-tahun konflik dimana Mataram berlangsung suksesi kekuasaan secara kudeta dari Amangkurat III ke Pakubuwono I. Sebelum bergelar Mangkunegara, ia bergelar Pangeran Riya.
Setelah kematian Pakubuwono I dan naiknya Amangkurat IV ke tahta, suasana di istana Mataram Kartasura masih sejahtera dan tenteram. Namun, ketika pemerintahan mulai menyusun ulang posisi para pangeran, keadaan di keraton mulai bergolak. Pangeran-pangeran, termasuk adik-adik sang raja seperti Pangeran Purbaya dan Pangeran Blitar, mendapati nasib mereka yang diturunkan pangkatnya bahkan pasukan mereka ditarik. Mereka hanya bisa menjadi Pangeran Sentana. Bersama dengan Raden Mas Sura, mereka mengungsi ke Bale Kajenar, sebuah tempat yang dahulu menjadi kediaman Sultan Agung di Kartasura.
Pergolakan semakin meruncing ketika dampak perubahan tersebut memicu gelombang pemberontakan di Kartasura. Amangkurat IV, yang semakin geram, berusaha keras memadamkan pemberontakan yang dipelopori oleh adik-adiknya sendiri, dibantu oleh kekuatan VOC yang mendukungnya. Tekanan dari pasukan VOC semakin membuat situasi sulit bagi para pangeran, sehingga akhirnya Pangeran Blitar dan Pangeran Purbaya memilih untuk pindah ke Malang. Raden Mas Sura juga mengikuti pamannya, tak lama setelah itu Pangeran Blitar meninggal karena sakit dan dimakamkan di Astana Nitikan, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pemberontakan yang dikenal sebagai Perang Suksesi Jawa II berhasil dipadamkan oleh VOC dan berakhir pada tahun 1723. Mayoritas para pemberontak ditangkap dan diasingkan ke Srilanka. Namun, nasib Pangeran Purbaya berakhir tragis saat ia ditahan di Batavia hingga ajal menjemputnya di penghujung tahun 1726.
Ada sumber yang menyatakan bahwa Pangeran Purbaya, yang saat itu berada di Malang bersama putra angkatnya, RM. Sura, bergabung dengan Pangeran Diponegoro Kartasura yang kemudian bergelar Panembahan Herucakra, untuk melanjutkan perlawanan. Karena sulit untuk ditaklukkan, VOC kemudian menggunakan operasi tipu daya dengan mengundang Pangeran Purbaya dan Panembahan Herucakra ke Pasuruan dengan janji akan membantu mereka dan mengangkat mereka sebagai raja.
Setelah pertemuan tersebut, kedua pangeran tersebut diajak ke Semarang melalui Pelabuhan Surabaya. Namun, ketika tiba di Semarang, RM. Sura atau Pangeran Riya, dijemput dengan hormat oleh utusan Amangkurat IV untuk pulang ke Karaton Kartasura. Sementara itu, Pangeran Purbaya belum menyadari bahwa itu hanya tipuan dari VOC, akhirnya ia ditahan di Benteng Alang-Alang, Batavia, dan kemudian diasingkan ke Afrika Selatan. Sedangkan Panembahan Herucakra sendiri diasingkan ke Srilanka.
Berbeda dengan nasib tragis Pangeran Purbaya, Raden Mas Sura memiliki keberuntungan yang lebih baik. Ia mendapatkan pengampunan dari ayahnya, Amangkurat IV, dan diizinkan untuk kembali ke Kartasura pada pertengahan tahun 1723. Kembalinya Raden Mas Sura disambut dengan penuh kegembiraan di Kartasura. Namun, sayangnya, Amangkurat IV memilih putranya yang lebih muda, Raden Mas Prabasuyasa, sebagai penerus tahta dengan gelar Pakubuwono II.
Ada catatan lain yang menyebutkan tentang peristiwa penting di Keraton Kartasura, di mana Raden Mas Sura, atau lebih dikenal sebagai Pangeran Riya, tiba di sana. Ia kemudian diangkat sebagai Pangeran Pati, putra mahkota dari Keraton Mataram, dengan gelar penuh yang mengagumkan: "Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara Sudibya Rajaputra Narendra ing Mataram". Gelar ini merupakan tanda pertama kali yang diberikan kepada seorang putra mahkota. Namun, ketika terjadi pergeseran dalam kedudukan putra mahkota yang dilakukan oleh kelompok GRM. Prabasuyasa, yang kemudian menjadi Susuhunan Pakubuwana II, gelar Pangeran Pati yang menggunakan nama Mangkunegara tidak dihapuskan. Hanya saja, bagian "Arya" diganti menjadi "Anom", yang berarti lebih muda. Perubahan ini juga menggeser syarat bagi putra mahkota yang sebelumnya harus memiliki keahlian dalam ilmu keprajuritan, menjadi lebih umum tanpa keharusan menguasai ilmu militer. Selain itu, nama "Mangkunegara" juga mengalami sedikit penambahan menjadi "Hamengkunegara / Amangkunegara".
Meskipun demikian, perubahan dalam kedudukan putra mahkota ini tidak menghapuskan jabatan di dalam kerajaan. Pangeran Arya Mangkunegara di Keraton Mataram tetap memegang peran sebagai penasihat kerajaan seperti biasa. Namun, keberadaannya sebagai penasihat kerajaan ini terus menjadi target penolakan oleh kelompok oposisi politik, bahkan mereka berusaha untuk menghilangkan statusnya sebagai pewaris yang sah.
Ketika Sunan Amangkurat IV mulai merasakan sakit dan kebingungan dalam menentukan pewaris tahta, ia memerintahkan kepada Pepatih Dalem Keraton Kartasura, bernama Raden Adipati Danureja, untuk menulis surat kepada VOC di Batavia. Surat itu berisi pesan: "Jika Sunan meninggal dunia, yang diijinkan untuk menggantikan kedudukannya adalah KPA Mangkunegara. Namun jika hal itu tidak dapat dilakukan, Pangeran Prabasuyasa dapat menjadi penggantinya. Tetapi jika hal itu tetap tidak dapat dilakukan, salah satu dari keempat putra Ratu Kadipaten dapat dipilih."
Baca Juga : Widodo C Putro Cari Kelemahan dan Kembalikan Mood Pemain Arema
Ketika Amangkurat IV semakin terpuruk oleh sakit yang melanda, surat balasan yang ditunggu-tunggu dari VOC tak kunjung datang. Dalam keputusasaan, Amangkurat IV memberi pesan kepada Patih Danureja bahwa yang berhak menggantikannya adalah sesuai dengan isi surat sebelumnya. Kemudian, melalui permaisurinya, ia memberikan sebuah keris pusaka kepada KPA Mangkunegara sebagai tanda bahwa dialah yang dipilih sebagai penggantinya. Namun, ironisnya, situasi politik yang rumit membuat penerus tahta justru adalah GRM Prabasuyasa, yang kemudian bergelar Susuhunan Pakubuwana II. Keberhasilan oposisi dalam menyingkirkan Pangeran Arya Mangkunegara akan menjadi penyesalan di masa depan. Di bawah pemerintahan Pakubuwono II yang lemah dan ragu-ragu, Mataram mengalami kemunduran yang luar biasa.
Meskipun tergeser dari tahta oleh adiknya, Mangkunegara selalu mendukung pemerintahan adiknya dengan penuh kebesaran hati. Namun, upaya-upaya untuk mengeliminasi Mangkunegara terus berlanjut. Puncaknya, terjadi kesalahpahaman antara Pakubuwana II dan Mangkunegara. Hubungan antara kakak dan adik semakin memanas karena diperparah oleh fitnah dari Patih Danureja yang menganggap sikap Pangeran Arya Mangkunegara terlalu melawan VOC yang selalu campur tangan dalam urusan keraton.
Situasi ini kemudian mengakibatkan Pangeran Arya Mangkunegara diasingkan ke Srilanka pada tahun 1728, dan kemudian dipindahkan ke Cape Town, Afrika Selatan, di mana ia meninggal pada tahun 1738. Selama masa pengasingannya, ia didampingi oleh istrinya, Raden Ayu Wulan, putri Pangeran Blitar.
Setelah meninggal dalam pengasingan, jenazah Pangeran Arya Mangkunegara dihormati dengan dipulangkan ke Jawa dan dimakamkan kembali di Makam Raja-Raja Mataram di Imogiri. Di sana, jenazah Mangkunegara bersatu kembali dengan kerabat kerajaan di kompleks Pakubuwanan. Pengembalian jenazah sang pangeran ini dilakukan atas permintaan Sunan Pakubuwono III kepada VOC. Jenazah Mangkunegara kembali ke tanah airnya saat meletusnya Perang Suksesi Jawa Ketiga di Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Sambernyawa.
Di masa yang akan datang, semangat perjuangan Pangeran Arya Mangkunegara diwarisi oleh salah satu putranya yang bernama Raden Mas Said, yang lebih dikenal sebagai Pangeran Sambernyawa.
Nasib Raden Mas Said menjadi tragis setelah ayahnya diasingkan ke Srilanka. Pada masa remajanya, Mas Said merasa gelisah karena Pakubuwono II menurunkannya menjadi Gandhek Anom (Bangsawan Rendahan) di Mataram, padahal seharusnya ia mendapat kedudukan sebagai Pangeran Sentana. Dipenuhi dendam, Mas Said memutuskan untuk keluar dari istana dan memimpin pemberontakan di berbagai wilayah Mataram bersama bangsawan lain yang merasa kecewa dengan pemerintahan Pakubuwono II, seperti Sutawijaya dan Suradiwangsa. Ketika masih remaja, Mas Said juga turut serta dalam pemberontakan Geger Pecinan yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi, cucu Sunan Amangkurat III.
Kehidupan sulit sejak kecil membentuk Mas Said menjadi pribadi yang kuat dan tegas. Tidak mengherankan jika akhirnya ia memilih jalan pemberontakan, mengingat latar belakang keluarganya yang terlibat dalam lingkungan tersebut. Mas Said adalah putra dari Pangeran Arya Mangkunegara dengan istri tingkat dua (garwa pangrembe), lahir sekitar tanggal 7 April 1726. Ia merupakan cucu dari Raja Amangkurat IV dari garis keturunan ayahnya.
Ibu dari Raden Mas Said adalah Raden Ayu Wulan, putri dari Pangeran Blitar. Pangeran Blitar sendiri adalah anak dari Sunan Pakubuwono I yang memimpin Perang Suksesi Jawa Kedua bersama Pangeran Purbaya melawan pemerintahan Raja Amangkurat IV. Semangat pemberontakan yang dimiliki oleh Pangeran Blitar mungkin menjadi inspirasi bagi Mas Said untuk memilih hidup sebagai seorang pemberontak. Dia mantap memilih jalur perang gerilya, daripada harus mengorbankan harga dirinya sebagai seorang jongos di bawah kekuasaan Pakubuwono II. Mas Said memilih untuk mengikuti jejak hidup kakek dan ayahnya, yaitu hidup dalam pemberontakan dengan tekad untuk menang atau mati.
Nama Raden Mas Said sungguh diabadikan dalam sejarah setelah ia bersekutu dengan Pangeran Mangkubumi. Gabungan dua bangsawan Mataram ini berhasil membuat pasukan gabungan Keraton Surakarta dan Belanda kelimpungan. Selama 16 tahun, Raden Mas Said terlibat dalam 250 pertempuran melawan pasukan gabungan tersebut. Dia memiliki keahlian strategi perang yang luar biasa dan sulit dikalahkan, meskipun postur tubuhnya pendek. Karena keberaniannya dalam medan perang, ia lebih sering dipanggil dengan julukan Pangeran Sambernyawa, gelar yang diberikan oleh Belanda karena dianggap sebagai pembawa maut bagi musuh-musuhnya dalam setiap pertempuran.
Perang yang sengit antara Mangkubumi-Raden Mas Said melawan Surakarta-Belanda berakhir dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Perjanjian ini membagi Kerajaan Mataram menjadi dua bagian, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Mangkubumi diberikan wilayah Yogyakarta dan naik tahta sebagai penguasa pertamanya dengan gelar Sultan Hamengkubuwono I.
Namun, Perjanjian Giyanti tidak sepenuhnya mengakhiri konflik karena Raden Mas Said tidak puas dengan pembagian wilayah. Ia memilih untuk tetap melanjutkan perang, kali ini melawan tiga musuh sekaligus: Keraton Surakarta, Keraton Yogyakarta, dan Belanda. Akhirnya, perang tersebut resmi berakhir dengan ditandatanganinya Perjanjian Salatiga pada tahun 1757. Dalam perjanjian ini, VOC dan Pakubuwono III mengakui Raden Mas Said sebagai Adipati Mangkunegaran dan memberinya status sebagai pangeran merdeka dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Arya Adipati Mangkunegara I.
Nama Kadipaten Mangkuenegaran diambil dari nama ayah Raden Mas Said, yaitu Pangeran Arya Mangkunegara. Gelar Mangkunegara kemudian menjadi lambang kekuasaan di Kadipaten Mangkunegaran, dengan Raden Mas Said bergelar KGPAA Mangkunegara I setelah mendirikan Kadipaten Mangkunegaran.