JATIMTIMES - Sejak Minggu (11/2/2024) yang memasuki masa tenang kampanye Pemilu 2024, muncul film dokumenter Dirty Vote. Film yang disutradarai Dandy Laksono tersebut, menghadirkan tiga tokoh yakni pakar tata negara Feri Amsari, Zainal Arifin Muhtar, dan Bavitri Susantri.
Film tersebut mengupas tuntas tentang sistem dan metode kecurangan yang berpotensi terjadi di Pemilu 2024. Hingga Selasa (13/2/2024), film tersebut bahkan masih menjadi trending di berbagai media sosial hingga penelusuran Google.
Baca Juga : Suara 6.000 Lebih Pemilih di Malang Tak Terhitung Jelang Pencoblosan, Ada Apa?
Merespons munculnya film dokumenter Dirty Vote, aktivis pemuda yang tergabung dalam DPP Forum Komunikasi Santri Indonesia (Foksi) pun mendatangi Bareskrim Polri, Jakarta pada Senin (12/2/2024). Ketua Umum Foksi, M Natsir Sahib mengaku tengah berkonsultasi dengan Bareskrim Polri untuk melaporkan tiga akademisi tersebut dan sang sutradara.
"Kami berkonsultasi untuk melaporkan dugaan pelanggaran pemilu karena pada masa tenang pemilu memunculkan sebuah film dokumenter tentang kecurangan pemilu yang bertujuan membuat kegaduhan dan menyudutkan salah satu capres yang bertentangan dengan UU Pemilu," ujar Natsir, dikutip Republika, Selasa (13/2/2024).
Dia mengklaim tiga akademisi dan sutradara film Dirty Vote diduga melanggar Pasal 287 ayat 5 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
"Kami minta Bareskrim Mabes Polri agar profesional dan presisi untuk mengusut dugaan pidana pelanggaran pemilu ini karena di masa tenang ini termasuk pelanggaran pemilu yang serius dan tendensius terhadap calon lainnya," ucap Natsir.
Selain itu, Natsir juga mengatakan keterlibatan tiga akademisi tersebut dalam tim reformasi hukum di Kemenko Polhukam saat dijabat Menko Polhukam Mahfud MD menyebabkan tayangan itu berbau politis. Dia menilai film tersebut diduga dipesan oleh paslon capres 03 Ganjar-Mahfud.
"Kami menilai para akademisi tersebut telah menghancurkan tatanan demokrasi dengan memenuhi unsur niat permufakatan jahat membuat isu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan sehingga munculnya gejolak di masyarakat dengan fitnah dan data palsu yang disebar ke masyarakat. Ini daya rusaknya luar biasa di tengah masyarakat," tandas Natsir.
Lantas siapakah Forum Komunikasi Santri Indonesia (Foksi)?
Melansir berbagai sumber, Foksi merupakan organisasi santri yang didirikan pada 2016 lalu. Pembentukan organisasi itu terinspirasi dari penganugerahan Hari Santri yang ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo atau Jokowi melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 22 Tahun 2015, yang diperingati setiap tanggal 22 Oktober.
Ratusan santri yang tergabung dalam Foksi juga telah menyatakan bergabung dengan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) pada awal November 2023 lalu.
Baca Juga : Ketua PBNU Tanggapi Film Dirty Vote: Enggak Usah Tumbuhkan Kebencian dan Narasi Buruk
Dalam pernyataannya, Natsir mengatakan bergabungnya ratusan santri Foksi menjadi kader partai politik (parpol) berlambang mawar putih itu sebagai panggilan sejarah untuk melakukan perubahan.
"Kenapa saya bergabung dengan Partai Solidaritas Indonesia ini sebenarnya adalah panggilan sejarah untuk melakukan perubahan," katanya, melansir Antara, Selasa (13/2/2024).
Natsir meyakini jika kehadiran Kaesang di tubuh PSI membuat PSI menjadi satu-satunya partai milenial yang bisa melanjutkan perjuangan kaum milenial itu sendiri.
"Kehadiran Mas Kaesang membuat saya yakin bahwa PSI adalah partai yang bertransformasi menjadi satu-satunya partai milenial dan bisa melanjutkan perjuangan-perjuangan yang disuarakan milenial itu sendiri," tutupnya.
Selain bergabung dengan PSI, Foksi juga deklarasi menyatakan dukungan penuh kepada pasangan Prabowo-Gibran.
"Hanya satu pasangan capres Prabowo Subianto dan cawapres Gibran Rakabuming Raka yang menyampaikan akan mengadakan dana abadi pesantren jika mendapat amanah jadi Presiden dan Wakil Presiden 2024," ujar Natsir.