JATIMTIMES- Tulungagung, kota yang terpahat dalam jejak sejarah dan budaya Jawa Timur, menjadi rumah bagi peradaban kuno yang menginspirasi. Kota Marmer, julukan yang melekat erat dengan Tulungagung, menyimpan banyak situs bersejarah yang menjadi saksi bisu perjalanan waktu.
Namun, di antara jajaran makam dan peninggalan sejarah, satu nama menonjol: Kiai Mangundirono, bupati pertama Tulungagung.
Baca Juga : Aksi Demo Depan Gerbang UB Malang, Kritik Akademisi dan Guru Besar
Ya, salah satu situs bersejarah yang menjadi rekam jejak sejarah penting di Tulungagung adalah Makam Srigading di Jl. Basyarudin No.555, Morangan, Bolorejo, Kecamatan Kauman, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur.
Pemakaman keramat yang cukup luas ini adalah salah satu tempat dimakamkannya beberapa tokoh besar di Tulungagung pada masa lalu. Beberapa tokoh itu di antaranya Syech Basyarudin (penyebar agama Islam di Tulungagung era Mataram Islam), Kiai Ngabehi Mangundirono (Bupati pertama Tulungagung) dan R.M Mangun Negoro (Bupati ketiga Tulungagung).
Dari beberapa nama di atas, makam Syech Basyarudin adalah yang paling banyak dikunjungi peziarah. Namun bagi kalangan penelusur sejarah yang menggemari sejarah Kerajaan Mataram Islam, bupati pertama Tulungagung Kiai Mangundirono adalah tokoh yang kiprahnya menarik untuk digali dan ditelusuri. Mangundirono adalah bupati pertama Tulungagung yang ditunjuk atas kekuasaan Raja Mataram Islam.
Belum ditemukan data dokumenter yang menjelaskan secara panjang lebar terkait kiprah Mangundirono sebagai bupati pertama Tulungagung. Catatan dari sumber cerita lisan menerangkan Mangundirono adalah bupati pertama Kadipaten Ngrowo di Kalangbret (nama kuno Tulungagung).
Mangundirono menjadi bupati pertama daerah ini dimulai pada tahun 1719 hingga 1727. Ia memimpin Ngrowo sebagai bupati saat Kerajaan Mataram beribukota di Kartasura. Diperkirakan Mangkudirono menjadi bupati Ngrowo sampai era pemerintahan Raja Amangkurat IV.
Menganalisis catatan diatas, ada kemunginan Ngrowo adalah kadipaten baru yang dibentuk Kerajaan Mataram Islam pada 1719. Tahun 1719 adalah tahun pertama bertahtanya Raja Amangkurat IV yang menggantikan ayahnya Pakubuwono I karena wafat.
Raja baru Mataram membentuk kadipaten-kadipaten baru di Jawa untuk memperluas pengaruh kekuasaannya. Kadipaten baru juga dibentuk untuk memberikan posisi kepada bangsawan dan sentono keturunan raja. Mangundirono adalah salah satu bangsawan yang masih dalam lingkaran keluarga Pakubuwono I dan Amangkurat IV.
Pada masa itu, Tulungagung adalah daerah yang didominasi sungai-sungai dan rawa-rawa. Oleh sebab itulah daerah ini disebut Ngrowo. Pada tahun 1709, ketemenggungan Wajak dirubah menjadi Kadipaten Ngrowo yang berkedudukan di Kalangbret.
Pemerintahan yang dimulai pada era 1709 ini tersohor dengan sebutan Kadipaten Ngrowo di Kalangbret karena memang terpusat di Kalangbret. Sebutan Kalangbret itu dihilangkan setelah pusat pemerintahan dipindahkan ke Ngrowo pada 1824. Mulai tahun 1824 sampai 1901 barulah disebut dengan Kadipaten Ngrowo. Sebutan pemerintahan Kabupaten Tulungagung dimulai pada periode 1901 sampai sekarang.
Terbentuknya kadipaten Ngrowo dibawah kekuasaan Kerajaan Mataram Islam pada 1719 membuka pintu migrasi besar-besaran bangsawan dan rakyat dari Jawa Tengah. Setelah Mangundirono menjadi bupati Ngrowo, selanjunya banyak bangsawan-bangsawan dari keraton Mataram yang kemudian memilih tinggal dan menetap di Tulungagung. Jejak migrasi ini bisa dibuktikan dengan adanya makam-makam bangsawan Mataram di Majan dan Tawangsari.
Dari silsilah yang terdapat di Makam Kanjeng Jimat Trenggalek, diperoleh keterangan Bupati Ngrowo di Kalangbret Kiai Ngabehi Mangundirono adalah keturunan generasi keempat dari Raja Mataram Islam Susuhunan Pakubuwono I.
Mangundirono adalah putra dari Raden Ngabei Surodito, jika ditarik keatas ayah dari Surodito adalah putra dari Raden Tumenggung Suronegoro (Bupati Gamel Solo). Suronegoro adalah putra dari Raden Ayu Suronegoro, putri dari Sunan Pakubuwono I. Dari jalur silsilah ini diperoleh kejelasan, Mangundirono adalah keturunan dari Raja ketujuh Mataram Islam, Pakubuwono I.
Kiai Ngabehi Mangundirono memiliki dua belas orang putra-putri. Dua putranya yang paling terkenal adalah Raden Sosrobau dan Raden Mangun Negoro. Nama kedua, yaitu Raden Mangun Negoro adalah adalah bupati pertama Trenggalek, ia terkenal memiliki kesaktian dan kharisma luar bisa, ia mendapat julukan Kanjeng Jimat. Di Trenggalek, Mangun Negoro adalah pahlawan yang perjuangannya terus dikenang hingga hari ini
Putra Mangundirono yaitu Kanjeng Jimat Trenggalek dikenal gigih membela hak-hak rakyat dari penindasan penjajah Belanda. Perjuangan ini membuat namanya semerbak harum hingga hari ini bahkan mungkin sepanjang masa.
Bagi masyarakat Trenggalek, perjuangan Kanjeng Jimat begitu melegenda dan menjadi dongeng yang diceritakan lisan secara turun temurun. Kanjeng Jimat dicatat sebagai pahlawan oleh masyarakat Trenggalek karena heroisme perjuangannya membela petani di zaman penjajahan Belanda.
Sebagai pemimpin, Kanjeng Jimat sangat memikirkan kepentingan rakyat. Dia berjuang karena tidak rela rakyatnya ditindas oleh kompeni Belanda. Kala itu setelah Perang Jawa selesai, Belanda menjadi penyewa tanah di Trenggalek dan mereka bertindak sewenang-wenang kepada rakyat di sana.
Bahkan kala itu, Belanda juga sempat ingin menghapus daerah Trenggalek. Melihat rencana Belanda itu, Bupati Kalangbret Raden Mangun Dirono (Ayah Kanjeng Jimat) mendesak puteranya yakni Raden Mangun Negoro untuk mempertahankan Trenggalek. Upaya ini berhasil dan R Mangunnegoro II kemudian menjadi bupati di daerah itu.
Baca Juga : Kampanye Terahir di Jatim, Khofifah Yakin Prabowo-Gibran Menang Satu Putaran
Keberanian Raden Mangun Negoro dalam melawan penindasan kompeni ini membuatnya mendapat gelar lain yakni Kanjeng Jimat. Gelar ini disematkan karena selain berani menantang penjajah, Raden Mangun Negoro juga dikenal memiliki kesaktian dan ilmu kanuragan yang tidak dimiliki banyak orang. Menurut tutur leluhur, Belanda kewalahan menghadapi Raden Mangun Negoro yang kebal senjata api dan cakap dalam tata pemerintahan.
Sejarawan Ferry Riyandika mengatakan, ada beberapa tokoh di tanah Jawa Timur yang mendapatkan julukan Kanjeng Jimat. Julukan ini disematkan bagi tokoh atau pemimpin yang memiliki linuwih (kelebihan). Linuwih itu bisa berupa kekuatan, kesaktian atau kelebihan-kelebihan lain yang tidak dimiliki banyak orang.
Selain Bupati Trenggalek Raden Mangun Negoro, ada tiga tokoh lain di Jawa Timur yang mendapat julukan Kanjeng Jimat. Ketiga tokoh itu adalah KPH Sosrohadinegoro (Bupati ketiga Blitar), KRT Sosrokusumo I (Bupati pertama Nganjuk), dan Kiai Djayaniman (Bupati ketiga Pacitan).
“Jelasnya Kanjeng Jimat itu julukan untuk orang yang memiliki linuwih. Bisa itu kekuatan, kesaktian dan kelebihan kelebihan yang tidak sembarang orang punya. Di Blitar juga ada tokoh yang dijuluki Kanjeng Jimat, Nganjuk juga ada, Pacitan juga ada. Kanjeng Jimat orang yang punya jasa dan pengaruh besar untuk peradaban yang dipimpinnya. Tokoh dengan julukan Kanjeng Jimat ini identik dengan nama besar, berkharisma dan kiprahnya melegenda, pemimpin yang memiliki kelebihan,” kata Ferry.
Kiai Ngabehi Mangundirono mengakhiri kiprahnya sebagai bupati Ngrowo di Kalangbret pada 1727 atau 28 tahun sebelum Perjanjian Giyanti. Ia digantikan Kiai Tondowidjojo (Raden Ngabehi Mangoenkusumo) sebagai bupati kedua Ngrowo di Kalangbret. Versi lain menyatakan Mangundirono digantikan oleh puteranya yang bernama Raden Sosrobahu. Pergantian bupati ini kemungkinan terjadi di awal masa pemerintahan Raja Susuhunan Pakubuwono II. Amangkurat IV wafat pada tahun 1726 dan digantikan putranya yang bergelar Sunan Pakubuwono II.
Belum ditemukan bukti kuat dan titik temu apakah Tondowidjojo dan Sosrobahu ini adalah orang yang sama. Jika ditelisik menurut Silsilah Ageng Prawirodirdjan dari Madiun, Tondowidjojo identik dengan nama putra Ki Ageng Derpoyudo, bekas senopati panglima perang Keraton Kartasura. Tondowidjojo adalah saudara dari Ratu Ageng Tegalrejo ( permaisuri Sultan Hamengkubuwono I, emban Pangeran Diponegoro) dan panglima perang Giyanti yang kemudian menjadi bupati wedana Madiun, Raden Ronggo Prawirodirdjo I.
Ada sebuah sumber yang menyatakan, Tondowidjojo putra Derpoyudo berimigrasi dari Jawa Tengah ke daerah Trenggalek, wilayah yang lokasinya cukup dekat dengan Kalangbret. Jika sumber ini benar, maka Tondowidjojo yang dimaksud sebagai bupati kedua Ngrowo di Kalangbret itu kemungkinan adalah Kiai Tondowidjojo putra Ki Ageng Derpoyudo. Orang inilah yang mungkin menjabat bupati kedua Ngrowo di Kalangbret.
Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755 menyepakati Kerajaan Mataram Islam dibagi menjadi dua, Kasunanan Surakarta dengan rajanya Sunan Pakubuwono III dan Kesultanan Yogyakarta dengan rajanya Sultan Hamengkubuwono I. Hasil dari perjanjian ini menyepakati Tulungagung masuk dalam wilayah kekuasaan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Era baru ini ikut menandai pergeseran garis kekuasaan di Tulungagung. Setelah Perjanjian Giyanti, jabatan bupati di Ngrowo ditempati oleh keluarga dan keturunan dari Sultan Yogyakarta.
Di era setelah 1755, Kabupaten Ngrowo masuk dalam wilayah Mancanegara Wetan Kesultanan Yogyakarta. Bupati Ngrowo era ini berada dibawah koordinasi dan pengawasan Bupati Wedana (koordinator bupati, sekarang setingkat gubernur) Mancanegara Timur Yogyakarta yang dijabat Bupati Madiun. Di periode ini, Keraton Yogyakarta juga mendirikan kabupaten-kabupaten baru. Termasuk di Tulungagung pada waktu itu sempat ada dua kabupaten yaitu Kabupaten Ngrowo dan Kabupaten Kalangbret.
Kiai Mangundirono bukan hanya nama dalam sejarah, tetapi sebuah legenda yang terus dikenang. Peranannya sebagai bupati pertama Tulungagung dan keturunannya yang menjadi pahlawan dalam perlawanan terhadap penjajah Belanda menandai keberadaannya sebagai tokoh yang tak terlupakan. Kisah perjuangannya menjadi inspirasi bagi banyak orang, sementara julukan "Kanjeng Jimat" mengisyaratkan kebesaran jiwa dan kesaktian yang dimiliki.
Di balik jejak sejarah yang tertulis, terdapat banyak misteri dan cerita yang masih menggoda untuk ditelusuri. Meskipun belum semua rinciannya terungkap, namun pesona Kiai Mangundirono dan legenda Kanjeng Jimat tetap bersinar terang, mencerahkan perjalanan masa lalu Tulungagung yang kaya akan warisan budaya dan sejarahnya.
Seiring waktu berjalan, kisah-kisah ini terus hidup dalam cerita-cerita lisan, menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas dan kebanggaan masyarakat Tulungagung. Dalam keheningan Makam Srigading dan jalanan bersejarah yang terhampar luas, Kiai Mangundirono dan Kanjeng Jimat tetap menjadi simbol keberanian, keadilan, dan kebijaksanaan yang abadi, menginspirasi setiap langkah peradaban Tulungagung menuju masa depan yang gemilang.