JATIMTIMES- Dalam rentang waktu yang menarik dan membingkai perjalanan Islam di Indonesia, pengaruh dari Cina menjadi bagian yang tak terpisahkan. Salah satu cerita menarik yang mencerminkan hal ini adalah kisah Sunan Ampel, seorang wali yang lahir dari keturunan Cina asal Champa, Vietnam.
Lahir sebagai Ali Rahmatullah pada tahun 1401, Sunan Ampel dibesarkan dalam keluarga yang memiliki koneksi politik kuat di Majapahit. Namun, panggilan keislaman membawanya memperkenalkan ajaran Islam di pulau tersebut. Tak hanya menyebarkan agama, Sunan Ampel juga membawa warisan budaya dan filosofi yang kaya dari daratan Cina, menjadikan salah satu contoh penting bagaimana pengaruh Cina membentuk Islam di Indonesia.
Baca Juga : Bukan Antre Sembako, Milenial Surabaya Berjam-Jam Antre Masuk di Acara Desak Anies
Sunan Ampel adalah putra dari Syeikh Ibrahim As-Samarqandy dengan seorang putri dari Champa. Dengan warisan darah Cina-Jawa-Arab-Vietnam, Sunan Ampel menjadi simbol perpaduan budaya yang kaya. Ayahnya, Syekh Ibrahim As-Samarqandy, tiba di Jawa pada abad ke-14 dan menetap di Dusun Gesik setelah mendarat di Pelabuhan Bandar Tuban. Misi utamanya adalah untuk bertemu dengan Raja Majapahit, namun dakwahnya membentuk pondasi yang kuat bagi Islam di Jawa.
Sama seperti ayahnya, misi kedatangan Sunan Ampel ke Majapahit waktu itu adalah untuk menemui bibinya yang terhormat, Dyah Dwarawati. Dyah Dwarawati, seorang putri dari Champa, telah menjalin ikatan perkawinan dengan raja Majapahit, Brawijaya V. Kedatangan Sunan Ampel tidak hanya membawa pesan agama, tetapi juga membawa pertemuan antara dua budaya yang berbeda, menyatukan benang merah dari pernikahan dan hubungan keluarga dalam konteks keagamaan yang baru. Dari perkawinannya, Brawijaya V dan Dyah Dwarawati menurunkan putra beragama muslim bernama Bathoro Katong, yang dicatat sejarah sebagai Adipati pertama Ponorogo.
Berdasarkan historiografi dan cerita-cerita legenda Jawa, tercatat bahwa Raden Rahmat yang lebih dikenal sebagai Sunan Ampel berasal dari negeri Champa. Pengaruh tradisi keagamaan dari Champa sangat terlihat pada praktik keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat Muslim di wilayah pesisir utara Jawa, tempat Sunan Ampel menyebarkan ajaran Islam.
Menurut Serat Walisana, Raja Majapahit Brawijaya V tidak langsung mengangkat Raden Rahmat di Ampeldenta. Sebaliknya, Raja Majapahit menyerahkan Raden Rahmat kepada Adipati Surabaya yang bernama Arya Lembusura, yang telah memeluk agama Islam. Arya Lembusura kemudian menempatkan saudara Raden Rahmat yaitu Raden Santri Ali sebagai imam di Gresik dengan gelar Raja Pendita Agung, dengan nama Ali Murtala (Ali Murtadho). Setelah itu, Arya Lembusura menunjuk Raden Rahmat sebagai imam di Surabaya, dengan kediaman di Ampeldenta, memberinya gelar Sunan Ampeldenta dan nama Pangeran Katib.
Tidak hanya itu, dikisahkan bahwa Raden Rahmat juga menikahi Nyai Ageng Manila, putri Arya Teja dari Tuban. Menurut Sedjarah Dalem, Arya Teja dari Tuban adalah suami dari putri Arya Lembusura dan memiliki keturunan yang menjadi Bupati Tuban. Ini berarti bahwa Nyai Ageng Manila yang dinikahi oleh Raden Rahmat adalah cucu perempuan Arya Lembusura.
Oleh karena itu, sebagai cucu menantu Arya Lembusura, ketika Arya Lembusura meninggal dunia, Raden Rahmat menggantikan kedudukannya sebagai penguasa Surabaya. Ini tercatat dalam sumber-sumber tertulis seperti Sedjarah Regent Soerabaja yang mencatat bahwa Raden Rahmat adalah bupati pertama Surabaya. Fakta ini menegaskan, Sunan Ampel bukan hanya wali penyebar agama Islam, tapi juga penguasa yang memiliki kekuasaan di ranah pemerintahan dan politik.
Sebelum kedatangan para penyebar Islam dari Champa seperti Sunan Ampel, tradisi keagamaan yang dikenal oleh masyarakat Majapahit adalah "sraddha", yaitu upacara meruwat arwah yang dilakukan dua belas tahun setelah kematian seseorang. Namun, setelah kedatangan mereka, masyarakat mulai mengenal tradisi "kenduri" dan memperingati kematian seseorang pada hari ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, dan ke-1000, yang jelas merupakan tradisi keagamaan yang berasal dari kaum Muslim Champa.
Sekilas tentang negeri asal Sunan Ampel, yaitu Kerajaan Champa. Kerajaan Champa, yang pernah berkuasa di wilayah Vietnam tengah dan selatan dari abad ke-7 hingga 1832, memiliki sejarah yang kaya dan kompleks. Sebelumnya, wilayah ini dikuasai oleh Kerajaan Lin-yi (Lam Ap), yang didirikan pada tahun 192 Masehi oleh seorang pejabat lokal bernama Ku-lien. Namun, hubungan antara Lin-yi dan Champa masih belum jelas.
Penguasa Champa pertama yang namanya tercatat dalam prasasti adalah Bhadravarman I, yang memerintah antara tahun 380-413 M. Champa terletak di wilayah pegunungan di sebelah barat pantai Indochina, tetapi bangsa Champa lebih fokus pada pelayaran laut dan memiliki beberapa kota di sepanjang pantai.
Awalnya, Champa memiliki hubungan budaya dan agama yang erat dengan Tiongkok, namun, peperangan dengan Kerajaan Funan pada abad ke-4 membawa pengaruh budaya India. Perdagangan laut dari Arab ke wilayah ini juga membawa pengaruh Islam pada abad ke-10, yang semakin meningkat setelah invasi 1471.
Champa memiliki hubungan perdagangan dan budaya yang kuat dengan kerajaan maritim Sriwijaya dan kemudian Majapahit. Hal ini tercermin dalam catatan-catan yang menyebutkan hubungan antara raja Majapahit dengan putri Champa.
Sebelum tahun 1471, Champa terbagi menjadi beberapa kepangeranan, seperti Indrapura, Amaravati, Vijaya, Kauthara, dan Panduranga. Konflik sering terjadi antara suku Dua dan Cau, tetapi biasanya diselesaikan melalui perkawinan antarsuku.
Pada tahun 1451, Kerajaan Champa diserang oleh kerajaan Buddha dari pedalaman. Pada abad ke-15, penguasa Champa di Panduranga melakukan perlawanan terhadap Vietnam, tetapi akhirnya menjadi negara bawahan dinasti Nguyen hingga dibubarkan pada tahun 1832.
Meskipun kedaulatan Champa telah berakhir, warisan budaya dan agama mereka tetap berdampak. Di Minangkabau, Sumatera Barat, tokoh pendekar bernama Harimau Campo atau "Harimau Champa" diyakini telah berperan dalam merumuskan konsep bela diri yang dikenal sebagai silek atau silat, yang masih menjadi bagian penting dari budaya tersebut hingga saat ini.
Dalam buku Kerajaan Champa yang diterbitkan oleh EFEO (1981), disebutkan bahwa masyarakat Muslim Champa memiliki kebiasaan memperingati kematian seseorang pada hari-hari tertentu, seperti hari ke-3, ke-7, ke-10, ke-30, ke-40, ke-100, dan ke-1000. Mereka juga memiliki kebiasaan lain seperti peringatan haul, pembuatan Bubur Asyuro, perayaan Asyuro, serta peringatan Maulid Nabi Saw. Semua tradisi ini kemudian diadopsi dan dipraktikkan oleh masyarakat Muslim di Jawa.
Menurut S.Q. Fatimy dalam Islam Comes to Malaysia (1963), mayoritas Muslim Champa mengikuti aliran Syi'ah. Namun, seiring dengan perubahan sejarah dan sosio-kultural, mayoritas mereka kehilangan identitas agama mereka, dan tidak lagi memahami secara tepat jenis Islam yang mereka anut, terutama yang berkaitan dengan aliran Syi'ah Zaidiyah.
Baca Juga : Resmi, Arema FC Pecat Fernando Valente
Dari hasil penelitian Sunyoto dalam bukunya tentang Sunan Ampel, disimpulkan bahwa tradisi peringatan kematian pada hari ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, dan ke-1000, termasuk tradisi haul dan talqin, adalah tradisi khas Champa yang sangat dipengaruhi oleh paham Syi'ah Zaidiyah.
Selain itu, beberapa tradisi lain seperti perayaan 1 dan 10 Syuro dengan penanda Bubur Syuro, tradisi Rebo Wekasan atau Arba'a Akhir di bulan Safar, tradisi Nisfu Sya'ban, serta pembacaan kasidah-kasidah yang memuji Nabi Muhammad Saw dan ahlul bait, juga menjadi bagian dari warisan keagamaan yang dibawa oleh Sunan Ampel dan para penyebar Islam lainnya dari Champa.
Pengaruh dari tradisi keagamaan Champa yang diamalkan oleh kalangan Muslim sangatlah kuat di Jawa, bahkan mencakup istilah "kenduri" yang merupakan hasil adaptasi dari tradisi Champa. Istilah ini jelas merujuk kepada perayaan Fatimah az-Zahroh, putri Nabi Muhammad Saw, yang dalam bahasa Persia disebut "kandur", yang kemudian diadaptasi untuk upacara makan-makan yang diadakan dalam tradisi Islam di Jawa.
Dakwah Islam yang dibawa oleh Sunan Ampel, beserta keluarganya dan para pengikutnya yang tersebar di berbagai tempat, memiliki dampak yang signifikan dalam membawa perubahan sosio-kultural-religius di masyarakat. Sebelumnya, masyarakat mengikuti adat dan tradisi keagamaan Majapahit yang dipengaruhi oleh Hindu-Buddha dan Kapitayan. Namun, dengan masuknya dakwah Islam, terjadi perubahan besar dalam kehidupan sehari-hari.
Contohnya, dalam pemanggilan terhadap ibu, orang-orang Champa umumnya menggunakan sebutan "mak", sedangkan dalam budaya Majapahit, ibu biasanya dipanggil dengan sebutan "ina", "ra-ina", atau "ibu".
Namun, di daerah Surabaya dan sekitarnya, tempat Sunan Ampel berkuasa, penduduk umumnya menggunakan sebutan "mak" untuk ibu mereka. Kebiasaan ini juga menyebar ke daerah Mojokerto-Jombang, Kediri-Nganjuk, yang kemungkinan besar dipengaruhi oleh Raden Abu Hurairah, sepupu Sunan Ampel yang tinggal di Wirasabha (Mojoagung).
Selain itu, sebutan ini juga berkembang di sepanjang pantai utara Jawa, kemungkinan disebarkan oleh tokoh seperti Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Giri, Raden Patah, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, dan Sunan Gunung Jati, yang merupakan putra, menantu, kemenakan, dan murid-murid Sunan Ampel.
Bahkan, sebutan "mak" ini kemudian menjadi lazim digunakan oleh masyarakat di kawasan pesisir utara Jawa hingga ke daerah Jawa Barat. Hal ini menunjukkan bahwa dakwah Islam yang dibawa oleh Sunan Ampel dan para pengikutnya telah memberikan pengaruh yang mendalam dalam budaya dan tradisi masyarakat Jawa.
Pengaruh kebiasaan dari Champa juga terlihat dalam cara memanggil kakak atau orang yang dianggap lebih tua. Orang Champa umumnya menggunakan sebutan "kak" atau "kang", sementara dalam budaya Majapahit, kakak biasanya dipanggil dengan sebutan "raka".
Begitu juga dalam memanggil adik, orang Champa menggunakan sebutan "rayi", sedangkan orang Majapahit menggunakan sebutan "adhy". Bahkan, dalam memanggil anak laki-laki kecil, orang Champa menggunakan sebutan "kachoa" atau "kachong", sementara dalam budaya Majapahit, mereka disebut "rare".
Dari sisi ini, kita dapat melihat seberapa jauh pengaruh tradisi keagamaan dan sistem sosial Champa terhadap perubahan sosio-kultural-religius di wilayah Majapahit yang disebarkan selama era Wali Songo, yang dipimpin oleh Sunan Ampel.
Pengaruh dari masyarakat Muslim Champa juga mempengaruhi kepercayaan masyarakat Jawa terhadap alam gaib dan takhayul. Menurut Sedyawati dalam Pengaruh Ganesa Masa Kediri dan Singhasari (1994), kepercayaan masyarakat Majapahit terhadap makhluk-makhluk halus termasuk kepercayaan
Dan sejarah telah membuktikan, Sunan Ampel dan pengaruh dari masyarakat Muslim Champa membawa perubahan yang mendalam dalam Islamisasi di Indonesia. Mereka tidak hanya menyebarkan ajaran agama, tetapi juga membawa warisan budaya yang kaya, menciptakan perpaduan unik antara Islam dan budaya lokal.
Kisah Sunan Ampel menjadi cerminan betapa kompleksnya perjalanan Islam di Indonesia, dan bagaimana pengaruh dari berbagai budaya telah membentuk wajah Islam di Nusantara.