JATIMTIMES- Sejarah Indonesia kaya akan tokoh-tokoh pejuang yang memperjuangkan kedaulatan dan kehormatan bangsa. Salah satu tokoh yang patut dikenang dalam lembaran sejarah Nusantara adalah Sri Makurung Prabu Handayaningrat.
Sosoknya dikenal juga dengan nama Ki Ageng Wuking I atau Pengging Sepuh. Cerita hidupnya menjadi bukti nyata tentang keberanian, kesetiaan, dan pengabdian pada tanah air, terutama dalam mempertahankan kejayaan Kerajaan Majapahit.
Baca Juga : Jalan-jalan ke Goa Pasir, Cagar Budaya yang Menyimpan Artefak dan Arca Kuno di Tulungagung
Sri Makurung Prabu Handayaningrat bernama asli Jaka Sengara. Lahir dari garis keturunan yang terhormat, sebagai cucu dari Mahapatih Gajah Mada, tokoh besar Majapahit yang legendaris.
Ayahnya, Harya Pandaya III, memberikan nama Jaka Sengara kepadanya sebagai pengingat akan wasiat untuk tetap setia pada Majapahit. Meskipun kondisi politik pada masa itu penuh dengan kekacauan dan persaingan kekuasaan.
Dengan beban sejarah yang teramat berat, Sri Makurung Prabu Handayaningrat tumbuh menjadi pribadi yang kuat dan teguh dalam memegang prinsip dan nilai-nilai kebangsawanan.
Ketika Majapahit dihadapkan pada ancaman dari luar, Sri Makurung Prabu Handayaningrat turut berperan dalam menjaga kedaulatan dan keutuhan kerajaan. Saat itu, Blambangan di bawah pimpinan Adipati Menak Daliputih menculik Putri Sekar Kedhaton, anak dari Prabu Brawijaya V.
Sri Makurung Prabu Handayaningrat tidak ragu untuk berperang melawan dan mengembalikan kehormatan Majapahit. Dengan keberanian dan strategi yang cerdik, ia berhasil mengalahkan Adipati Menak Daliputih.
Dia pun membebaskan putri kerajaan anak dari Prabu Brawijaya V dengan Dewi Amarawati yang bernama Retna Pembayun, dan mengamankan kedudukan Majapahit.
Setelah berhasil merebut kembali Retna Pembayun, putri yang sempat diculik oleh Adipati Menak Daliputih dari Blambangan, Majapahit mengambil langkah penting dalam upaya mempertahankan kedaulatannya.
Prabu Brawijaya V, yang juga masih terhitung sebagai paman Retna Pembayun, mengambil keputusan untuk menjodohkan putrinya dengan Jaka Sengara, yang kemudian diangkat sebagai anak menantu.
Namun, bukan sekadar gelar dan kedudukan sebagai menantu saja yang diberikan kepada Jaka Sengara. Karena jasanya yang besar dalam membantu merebut kembali Retna Pembayun, Prabu Brawijaya V memberikan "siti lenggah" kepada Jaka Sengara.
Siti lenggah adalah tanah yang diberikan oleh raja sebagai wilayah bebas pajak dan berhubungan langsung dengan Majapahit. Tanah ini dipilih di daerah Majalengka atau Majagung, yang kini dikenal sebagai Pengging, yang terletak di sisi barat Gunung Lawu.
Dengan pemberian ini, Jaka Sengara diangkat sebagai Adipati Handayaningrat, memimpin wilayah Pengging dengan kedudukan setara dengan Kadipaten.
Dari pernikahan Jaka Sengara dan Retna Pembayun, mereka dikaruniai tiga orang putra: Raden Kebo Kanigara, Raden Kebo Kenanga, dan Raden Kebo Amiluhur. Namun, sayangnya, Raden Kebo Amiluhur meninggal dunia dalam usia muda.
Ia dimakamkan di daerah Malangan, Pengging, meninggalkan dua putra sebagai harapan untuk meneruskan pemerintahan Pengging Witaradya.
Dalam suasana politik yang memanas pada masa itu, Raden Kebo Kanigara dan Raden Kebo Kenanga memilih jalur hidup dan spiritualitas masing-masing. Meskipun demikian, keduanya tetap saling rukun.
Raden Kebo Kanigara, yang enggan terlibat dalam urusan politik, tetap setia pada agama lama hingga meninggal dunia saat sedang bertapa di puncak Gunung Merapi.
Namun, keputusan Raden Kebo Kanigara untuk meninggalkan Pengging dan mencari kehidupan baru tetap menjadi tanda tanya bagi banyak orang. Banyak yang percaya bahwa ia melanjutkan hidup sebagai seorang penyebar agama Islam di berbagai tempat. Bahkan menetap di Jatingarang, yang kini masuk wilayah Weru, Sukoharjo.
Lebih lagi, diketahui bahwa Raden Kebo Kanigara dan Raden Kebo Kenanga memeluk agama Islam di bawah bimbingan Syekh Siti Jenar, menunjukkan bahwa kedua putra Adipati Handayaningrat tersebut menemukan kedamaian dan kebenaran dalam ajaran Islam.
Baca Juga : Memahami Ulang Pesan Agama
Namun, tantangan sebenarnya belum berakhir. Majapahit terus dihadapkan pada ancaman dari Demak yang dipimpin oleh Raden Patah. Sri Makurung Prabu Handayaningrat, dengan kesetiaan dan keyakinannya pada kebesaran Majapahit, bersikeras untuk mempertahankan kedaulatan negerinya. Dalam sebuah pertempuran yang sengit di Wirasaba, Sri Makurung Prabu Handayaningrat gugur sebagai pahlawan, meninggalkan jejak kepahlawanan yang abadi dalam perjuangan mempertahankan kejayaan Majapahit.
Beberapa sumber menyatakan, ketegangan semakin meluas di tanah Jawa ketika gelombang invasi dari Demak di bawah pimpinan Raden Patah mengancam kedaulatan Kerajaan Majapahit. Pasukan Demak yang kuat berhasil merebut kota-kota strategis, menggoyang kokohnya Kota Raja Majapahit. Bahkan Prabu Brawijaya V, sang raja yang berusaha memimpin negerinya keluar dari bahaya, terpaksa harus meninggalkan tanah airnya, menuju arah Bali untuk berlindung. Namun, upayanya itu digagalkan oleh tangan bijaksana Sunan Kalijaga, yang memintanya untuk memutar arah.
Di tengah kekacauan dan kebingungan, di Pengging, Adipati Handayaningrat merasa bahwa harus ada keberanian untuk menjaga kehormatan dan martabat Majapahit. Menyadari urgensi untuk mempertahankan kesatuan dan keutuhan kerajaan, ia mengambil langkah luar biasa dengan membentuk pusat pemerintahan darurat di Pengging. Adipati Handayaningrat, yang kemudian mengubah namanya menjadi Sri Makurung Prabu Handayaningrat, menyadari pentingnya keberadaan seorang pemimpin yang mampu menghadapi tantangan besar yang dihadapi oleh Majapahit saat itu.
Dengan penuh tekad dan semangat, Sri Makurung Prabu Handayaningrat menyatakan dirinya sebagai pemimpin pengganti Majapahit, meskipun langkah ini diambil dengan hati-hati dan dilakukan secara diam-diam. Nama samaran "Ki Ageng Wuking ing Pengging" dipilih untuk menghindari pengawasan dan mata-mata dari Demak Bintara yang mengintai. Namun, kebijakan ini tidak mampu mengelakkan sorotan dan tekanan dari Sultan Syah Alam Akbar, yang memerintahkan Pengging untuk tunduk pada kekuasaan baru yang disebut sebagai Kasultanan Demak Bintara.
Dalam menghadapi tantangan ini, Sri Makurung Prabu Handayaningrat tidak gentar. Ia menolak tunduk pada kesombongan dan kekuasaan baru Raden Patah yang ingin memaksa Majapahit menyerah. Baginya, keberadaan Majapahit dan martabatnya harus dijaga dengan segala cara. Pepatah "sadumuk bathuk, sanyari bumi" menjadi prinsip yang dipegang teguh oleh Sri Makurung Prabu Handayaningrat, bahwa tidak mungkin Pengging menyerah pada Demak kecuali dengan mengalirkan tetesan darah terakhir.
Peperangan tak terelakkan. Di medan Wirasaba, pasukan Demak dan Majapahit, yang diwakili oleh Pengging, bertarung sengit dalam usaha mempertahankan kehormatan dan kedaulatan. Di tengah gemuruh senjata dan derap kuda, Sri Makurung Prabu Handayaningrat memimpin pasukannya dengan gagah berani, siap mengorbankan segalanya demi kesetiaan pada Majapahit.
Di mata sejarah, Sri Makurung Prabu Handayaningrat menjadi simbol perjuangan dan keberanian. Meskipun hasilnya mungkin tidak selalu memihak kepadanya, tetapi tekadnya untuk mempertahankan kehormatan dan keutuhan bangsa tetap menjadi inspirasi bagi generasi-generasi berikutnya. Dengan pengorbanan dan semangatnya, Sri Makurung Prabu Handayaningrat mengukir namanya dalam sejarah sebagai pahlawan yang tidak kenal lelah dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan.
Keteguhan hati Sri Makurung Prabu Handayaningrat tidak hanya tercermin dalam perjuangannya untuk kebesaran Majapahit, tetapi juga dalam kehidupan spiritualnya. Meskipun putra-putranya, Raden Kebo Kanigara dan Raden Kebo Kenanga, memilih jalan hidup yang berbeda dan memeluk agama Islam di bawah bimbingan Syekh Siti Jenar, Sri Makurung Prabu Handayaningrat tetap memberikan dukungan dan cinta kepada mereka. Hal ini menunjukkan bahwa Sri Makurung Prabu Handayaningrat adalah sosok yang tidak hanya berjuang untuk kepentingan politik, tetapi juga untuk kebersamaan dan persatuan antarbangsa dan agama.
Sementara itu, setelah kejatuhan Sri Makurung Prabu Handayaningrat, pasukan Pengging pun terombang-ambing tanpa pimpinan yang kuat. Mereka bingung dan kehilangan arah di medan pertempuran yang kacau. Raden Kebo Kanigara, putra tertua Sri Makurung Prabu Handayaningrat, dengan bijaksana memerintahkan pasukannya untuk mundur kembali ke Pengging, dalam usaha untuk menghindari lebih banyak korban.
Sementara itu, pasukan Demak Bintara yang hendak mengejar pun dicegah untuk menghindari terjadinya pertumpahan darah yang lebih besar. Namun, di balik semua itu, Sunan Ngudung dari Demak secara diam-diam membuntuti Raden Kebo Kanigara, memiliki niat untuk membuka jalur diplomasi.
Di tengah jalan, Sunan Ngudung berhasil menemui Raden Kebo Kanigara. Dalam pertemuan itu, Sunan Ngudung mencoba untuk mengajak Raden Kebo Kanigara menerima tawaran menjadi pemimpin Pengging di bawah kekuasaan Demak Bintara. Namun, Raden Kebo Kanigara dengan tegas menolak tawaran tersebut. Baginya, menyerah pada Demak Bintara sama saja dengan menyerah pada musuh dan mengkhianati tanah airnya. Ia menegaskan bahwa ia tidak akan pernah tunduk pada musuh, meskipun harus menghadapi konsekuensi yang berat.
Tidak berhasil membujuk Raden Kebo Kanigara, utusan Demak Bintara kemudian mengalihkan perhatiannya pada adiknya, Raden Kebo Kenanga. Raden Kebo Kenanga, yang masih tersisa sebagai keluarga yang mampu menggantikan Sri Makurung Prabu Handayaningrat, akhirnya menerima tawaran tersebut. Meskipun dengan kesadaran bahwa Pengging harus tunduk pada kekuasaan Demak Bintara, Raden Kebo Kenanga sepakat untuk mengambil tanggung jawab sebagai pemimpin Pengging yang baru.
Setelah itu, Raden Kebo Kenanga diangkat menjadi pemimpin daerah Pengging dengan gelar Ki Ageng Pengging II. Sementara itu, Sri Makurung Prabu Handayaningrat, yang telah gugur dalam pertempuran, diberi gelar kehormatan sebagai Ki Ageng Pengging Sepuh, sebagai penghargaan atas jasanya dalam memimpin Pengging sebelumnya.
Dengan langkah ini, Pengging berusaha untuk tetap eksis di tengah tekanan dari Demak Bintara. Meskipun harus menghadapi perubahan kepemimpinan dan kekuasaan yang baru, semangat perlawanan dan kesetiaan pada tanah air terus berkobar dalam hati Raden Kebo Kanigara, yang menolak untuk menyerah pada tekanan dari luar. Meskipun perang telah berakhir, perjuangan untuk menjaga martabat dan kedaulatan Majapahit masih berlanjut, dan Pengging, di bawah pimpinan Ki Ageng Pengging II, melangkah dalam menjalani masa depan yang penuh tantangan.
Setelah meninggal dalam pertempuran di Wirasaba, Sri Makurung Prabu Handayaningrat dimakamkan dengan penuh penghormatan dan kebesaran. Makamnya yang terletak di Dukuh Malangan, Desa Dukuh, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali, menjadi tempat ziarah bagi generasi selanjutnya yang ingin mengenang perjuangan dan pengorbanannya. Bersama dengan makam Retna Pembayun, istri kesayangannya, putranya yang mati muda Raden Kebo Amiluhur dan makam Nyai Endang Widuri, abdi setia keluarganya, makam Sri Makurung Prabu Handayaningrat menjadi saksi bisu dari kejayaan dan kehormatan Kesultanan Majapahit.
Kisah Sri Makurung Prabu Handayaningrat bukan hanya sebuah cerita tentang keberanian dan pengorbanan, tetapi juga tentang semangat dan tekad untuk menjaga kehormatan dan martabat bangsa. Dalam menghadapi segala rintangan dan tantangan, Sri Makurung Prabu Handayaningrat menunjukkan bahwa kesetiaan pada tanah air dan keyakinan pada kebenaran adalah hal yang tidak bisa ditawar-tawar. Semangat perjuangan dan pengabdian yang ditunjukkan oleh Sri Makurung Prabu Handayaningrat akan selalu menjadi inspirasi bagi generasi-generasi masa depan untuk terus berjuang dan mempertahankan keutuhan bangsa dan negara.
Dalam perkembangannya, Sri Makurung Prabu Handayaningrat kelak kemudian hari menurunkan Raja-raja yang memimpin tanah Jawa. Seiring berjalannya waktu, persaingan dua kerajaan di Jawa mengalami perubahan yang dramatis. Kerajaan Demak, yang pernah menjadi kekuatan utama, akhirnya hancur akibat pemberontakan Arya Penangsang.
Di sisi lain, Kerajaan Pengging, yang didirikan oleh Sri Makurung Prabu Handayaningrat, berkembang pesat dan semakin membesar. Perubahan signifikan terjadi ketika Joko Tingkir, putra Kebo Kenanga, memutuskan untuk memindahkan pusat pemerintahan ke Pajang.
Setelah Joko Tingkir wafat, Pangeran Benowo mengambil alih kendali Kerajaan Pajang. Saat itu, kerajaan tersebut kemudian menjadi bagian penting dari Kerajaan Mataram Islam yang didirikan Panembahan Senopati.
Ketika Kebo Kenango melahirkan putranya, Joko Tingkir, tak ada yang menduga bahwa sang putra akan menjadi Raja Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijaya. Joko Tingkir sendiri kemudian melahirkan Pangeran Benowo, yang kemudian menurunkan seorang putri bernama Ratu Mas Hadi. Garis keturunan ini kemudian membawa perubahan besar dalam sejarah tanah Jawa.
Putri Pangeran Benowo, Ratu Mas Hadi, kemudian menikah dengan Panembahan Hanyakrawati, putra Senopati. Dari pernikahan ini, lahir tokoh yang menjadi pusat perhatian dalam sejarah Kerajaan Mataram Islam: Sultan Agung.
Sultan Agung, dikenal sebagai raja terbesar dalam sejarah kerajaan ini, mewariskan kekuasaan dan pengaruh yang besar kepada para raja Mataram selanjutnya. Warisan ini memengaruhi perkembangan kerajaan-kerajaan di Jawa, termasuk Yogyakarta, Surakarta, Mangkunegaran, dan Pakualaman hingga saat ini.