JATIMTIMES - Pengelolaan sampah di TPA Tlekung sejak akhir Juli 2023 lalu hingga saat ini memicu keresahan masyarakat sekitar. Masyarakat menilai pengolahan yang ada selama ini tidaklah optimal. Bau busuk dari sampah hingga pencemaran air dan udara menjadi satu problem yang mengkhawatirkan.
Tentang hal ini, lantas bagaimana pakar lingkungan menanggapinya ?
Melihat hal ini, Sudiro, ST MT Pakar lingkungan dan dosen Teknik Lingkungan Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang, menjelaskan, ketika berbicara teknis, adanya TPA tentunya telah melalui kajian teknis yang diperhatikan.
Apakah itu, jarak dari permukiman, jarak dari sumber air, teknis pengolahan sampah maupun infrastruktur yang ada tentunya sudah dipikirkan pemerintah, dalam hal ini pemerintah Kota Batu.
"Misalnya supaya TPA ini tidak mencemari air sumur, pasti TPA ini sudah didesain sedemikian rupa sehingga menanggulangi air lindi sampah menuju air tanah. Itu dari sisi kaidahnya, tapi tergantung bagaimana implementasinya. Saya sendiri tidak tau persis kondisi lapangan TPA Tlekung, " katanya.
Kemudian, jarak keberadaan TPA terhadap lingkungan juga harus disesuaikan dengan aspek tata ruang wilayah. Tentu letak TPA dengan permukiman masyarakat juga menjadi perhatian. Menurutnya, mungkin saja pemerintah Kota Batu telah memperhatikan hal tersebut.
"Tetapi perlu kita evaluasi, apakah benar TPA Tlekung itu sudah sesuai dengan kaidah tata ruang wilayah, itu kan perlu evaluasi lagi oleh pemerintah," paparnya.
Lebih lanjut, ketika lokasi TPA dekat dengan lingkungan permukiman, maka ada yang namanya Bufferr Zone atau batas pagar paling akhir dari TPA. Pagar batas akhir ini berupa Green Belt atau sabuk hijau berasal dari tanaman tertentu untuk menanggulangi bau menuju ke permukiman.
Namun seperti diketahui, jika masyarakat sekitar mengeluhkan adanya bau tak sedap. Bahkan bau tersebut tercium sampai 2,5 km dari TPA Tlekung. Hal ini pun memunculkan penilaian masyarakat, bahwa pengelolaan TPA Tlekung tidaklah optimal. Karena itu, perlu dilihat apakah dalam implementasi di TPA Tlekung terdapat Green Belt tersebut.
"Ketika berbicara kurang optimal, tentunya saya harus punya data dulu, misalnya tidak ada green belt, tidak ada pengolahan lindi, dan lainnya. Maka (ketika belum ada data) saya tidak bisa berbicara demikian. Tapi barangkali itu ada (data), mungkin indikasi ke arah kurang optimal pengolahan mungkin saja ada," bebernya.
Kemudian, untuk memastikan hal tersebut, tentunya dapat juga dilihat secara fisik kondisi sarana dan prasarana di TPA Tlekung seperti apa, apakah telah berjalan dengan baik atau tidak. Ketika infrastruktur yang ada tidak sesuai, maka sudah tentu dalam pengelolaan tidak optimal.
Dari sisi teknis lain, dalam proses pengolahan sampah di TPA Tlekung juga harus dipastikan apakah juga telah menggunakan metode Sanitary Land Fill atau tidak.
Sebab, melihat pada Permen PU nomor 3 tahun 2013, bahwasanya seluruh TPA dalam pengolahan sampah sudah menerapkan metode Sanitary Land Fill. Meskipun pada kenyataannya belum semua TPA menerapkan hal ini.
Baca Juga : Peningkatan Infrastruktur Jalan Muluskan Akses ke Pabrik Gula RMI di Kabupaten Blitar
Persoalan anggaran juga harus menjadi perhatian pemerintah. Dalam operasional TPA tentunya membutuhkan anggaran yang cukup besar. Dijelaskan Sudiro, bahwa perlu anggaran dalam pengelolaan sampah perlu rasionalisasi sesuai dengan kondisi yang ada.
Berapa jumlah masyarakat, berapa jumlah timbunannya maupun pengangkutannya. Ini perlu dipertimbangkan dan diseimbangkan. Sehingga, ketika semua seimbang, dalam hal pengelolaan sampah akan seimbang. Begitu pun sebaliknya.
Untuk itu, dalam proses penyelesaian diperlukan langkah cepat dan strategi yang apik dalam mengatasi permasalah pengolahan sampah di lokasi tersebut.
Sejatinya, dijelaskan Sudiro sesuai dengan Undang-undang 18 tahun 2008, ada dua pihak yang punya kewajiban terkait pengelolaan sampah.
Pertama adalah masyarakat dan kedua adalah pemerintah sebagai fasilitator. Masyarakat dalam hal pengelolaan sampah
juga punya kewajiban bagaimana secara prinsip dan semaksimal mungkin untuk tidak banyak menghasilkan sampah.
Kemudian, dari sisi pemerintah, adalah memfasilitasi dari sisi infrastruktur dan manajemen. Dan keberadaan pemerintah dari sisi pengelolaan, sejatinya mulai dari TPS ke TPA. Sementara masyarakat dari rumah ke TPS.
"Artinya, dua-duanya punya kewajiban dan dua-duanya punya hak dan juga harus melakukan sesuatu. Masyarakat tidak hanya dalam tanda kutip menyalahkan pemerintah ketika ada sesuatu, demikian pemerintah tidak menyalahkan masyarakat ketika terjadi sesuatu," jelasnya.
Dalam hal pengelolaan TPA memang menjadi tanggung jawab pemerintah untuk memfasilitasi dari masyarakat. Tapi disatu sisi, masyarakat juga harus menyadari bahwa kapasitas TPA. Sehingga, diharapkan sebisa mungkin masyarakat berpartisipasi untuk mengurangi sampah atau mereduksi sampah.