free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Hukum dan Kriminalitas

Catatan Akhir 2023 Asosiasi Pengajar Hukum, Bantuan Hukum dari Negara Masih Rendah

Penulis : Anggara Sudiongko - Editor : A Yahya

28 - Dec - 2023, 18:47

Placeholder
Ilustrasi (pixabay)

JATIMTIMES - Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (ASPERHUPIKI), Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) memberikan catatan terkait Hukum Pidana dan Akses Keadilan sepanjang tahun 2023.

Terdapat beberapa poin yang menjadi highlight atau catatan, yakni situasi hukum pidana semakin menurun; Masih sangat rendahnya pelaksanaan kewajiban negara dalam pemberian bantuan hukum; Tingginya Kriminalisasi/SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation) terhadap masyarakat yang membela lingkungan hidup dan mempertahankan ruang hidupnya.

Baca Juga : Kuota Sekolah SNBP 2024 Diumumkan Hari Ini, Begini Cara Mengeceknya

Kemudian, berlanjutnya Ancaman Terhadap Kebebasan berekspresi dan berpendapat; Problematika Regulasi Restorative Justice; Victimologi Korban; Meretas Akses Keadilan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana; Penanganan Kasus Kekerasan Seksual. Termasuk bagaiman peran atau implementasi dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi.

Dari catatan ini, poin pertama adalah situasi hukum pidana semakin menurun. Dan secara garis besar potret penegakan hukum pidana dan jaminan akses keadilan di Indonesia masih stagnan dan cenderung mengalami penurunan. Pada tahun 2023 skor Indeks Rule of Law (RoL). Indonesia berada pada angka 0.53 sama dengan skor RoL pada tahun 2022. Skor Corruption Perception Index (CPI) Indonesia pun mencatatkan angka terendah sejak 2015.

Selain itu, praktik kekerasan oleh aparat penegak hukum dengan bentuk yang bervariasi mulai dari penembakan, penganiayaan, hingga penangkapan sewenang-wenang semakin massif 
dilakukan tanpa ada penegakan hukum yang memadai. 

Tidak seriusnya penuntasan tragedi
Kanjuruhan diikuti dengan tidak adanya satupun aparat yang diadili dalam kasus tragedi Pulau Rempang menunjukkan impunitas aparat yang makin menebal imbas dari politisasi penegakan hukum oleh kekuasaan negara.

Belum ada tindakan konkret untuk memperbaiki kondisi ini dan masih sekedar gimmick politik  untuk memoles citra pemerintah di hadapan masyarakat. Fenomena "No Viral – No Justice" 
di mana akses terhadap keadilan bergantung pada perhatian media dan viralitas kasus.

Dari aspek kebijakan, pengesahan UU 1/2023 tentang KUHP pada 2 Januari 2023 meski 
membawa semangat baru pada perubahan nilai pemidanaan yang tidak lagi berorientasi pada pemenjaraan, misalkan diakomodirnya kepentingan korban. Akan tetapi juga masih 
menyisakan masalah terkait pasal-pasal yang masih dipertahankan.

Kemudian, masih sangat rendahnya pelaksanaan kewajiban negara dalam pemberian bantuan hukum. 

Bantuan Hukum merupakan perintah dan jaminan yang telah dijamin oleh Pasal 28D ayat 1 UUD Negara Republik Indonesia dan UU No 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, serta merupakan prasyarat untuk terpenuhinya prinsip persamaan di muka hukum. Bantuan hukum tidak semata-mata untuk memberikan jasa hukum bagi masyarakat akan tetapi sekaligus diharapkan mampu mendorong perbaikan sistem peradilan. 

Hasil pengukuran Indeks Akses terhadap Keadilan 2109 dan 2021 menegaskan bahwa kondisi pendampingan hukum berkontribusi pada kondisi akses keadilan di Indonesia. 

Riset LBH-YLBHI menemukan bahwa bantuan hukum hanya didapatkan oleh 10-20 persen orang-orang yang berhadapan dengan hukum dan/atau menjadi tersangka/terdakwa. 

Catatan web SIDBANKUM Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) https://sidbankum.bphn.go.id, Per 2023 terdapat 10.841 Kasus Pidana yang ditangani oleh  OBH/LBH Se Indonesia. Setengahnya atau sekitar 5345 kasus adalah kasus Narkotika. 

Sedangkan rata-rata angka penindakan pidana minimal 200-250 ribu. Pada 2022 Kapolri menyatakan kepolisian menindak 276.507 perkara kejahatan (crime total atau CT). 

Sementara jumlah perkara yang penanganannya telah dituntaskan (crime clearance atau CC) sebesar 72,38 persen atau sebanyak 200.147 kasus. Komitmen pemerintah nampak dalam belum maksimalnya Pelaksana Bantuan Hukum yang sampai hari ini hanya mencakup 619 LBH/OBH dan dengan anggaran hanya Rp. 56.365.320.000 per tahunnya untuk seluruh Indonesia. 

Berikutnya, adalah tingginya kriminalisasi/SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation) terhadap masyarakat yang membela lingkungan hidup dan mempertahankan ruang hidupnya.

Berdasarkan data penanganan kasus LBH-YLBHI, kriminalisasi (judicial harrasment) terhadap pembela HAM dan lingkungan dalam agenda Proyek Strategis Nasional Pemerintah perlu mendapat perhatian khusus. Hal ini didasari oleh tingginya tingkat konflik yang timbul dari proyek-proyek terkait. Hingga 2023 dari 35 proyek PSN yang diadvokasi LBH, sedikitnya 85 orang dikriminalisasi.  Ada beberapa pola yang ditemukan yang berpengaruh dalam hal ini. 

Berikutnya adalah keberlanjutnya ancaman terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat. Pada 5 Desember 2023, Pemerintah dan DPR menyepakati dan mengesahkan revisi kedua UU Internet dan Transaksi Elektronik (ITE). Perubahan ini didorong mengingat Pasal-Pasal dalam UU ITE seringkali dijadikan dasar pelaporan dan senjata penguasa untuk membungkam suara kritis warga negara termasuk jurnalis. 

Tetapi kami melihat masih dipertahankannya pasal bermasalah dalam revisi UU ITE seperti halnya beberapa pasal berikut diantaranya Pasal 27 ayat (3) yang meski terdapat pengurangan hukuman untuk pencemaran nama baik dan dirumuskan menjadi delik aduan absolut atau ditambahkannya Pasal 28 ayat (3) tentang berita bohong yang menimbulkan kerusuhan yang dilakukan dengan sengaja yang sebelumnya juga terdapat dalam Pasal 14 dan 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.

Selanjutnya adalah problematika regulasi Restorative Justice. Dalam hal ini, terjadi kekacauan dalam sistem peradilan pidana kita dalam mengimplementasikan 
penyelesaian perkara dengan menggunakan pendekatan Restorative Justice (RJ). 

Peraturan Kepala Kepolisian RI No. 8/2021 tentang Penanganan Perkara Pidana dengan Restorative Justice dan Peraturan kejaksaan RI No. 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan keadilan restorative telah menimbulkan ketidakpastian hukum dalam sistem peradilan pidana kita. 

KUHAP tidak mengatur soal restorative justice, sehingga kedua institusi ini memberikan tafsir sendiri-sendiri tentang RJ, akibatnya dalam praktek penegakan RJ menimbulkan ketidakpastian. 

Acap kali regulasi RJ digunakan untuk melakukan perdamaian yang menguntungkan salah satu pihak, dan merugikan pihak lain. Selain itu regulasi RJ yang saat ini pun tidak memiliki kekuatan hukum tetap, karena bisa diajukan pengujian praperadilan setiap saat.

Kemudian, Victimologi Korban.  
Korban dalam terjadinya tindak pidana, yang berpengaruh terhadap pertanggungjawaban pidana. Berbagai kasus yang terjadi melibatkan pelaku dan korban yang kemudian hukum pidana dihadapkan pada penentuan siapa pelaku dan siapa korban. 

Contoh kasusnya, maling kambing yang mati di tangan penjaga kandang kambing. Korban pencurian menjadi pelaku pembunuhan. Kemudian begal yang mati di tangan korban begal, suami yang mati dicekik istri karena menolak berhubungan intim, dan banyak kasus lain yang juga membuat bertukarnya tempat pelaku dan korban. 

Baca Juga : WHO Larang Penggunaan Vape Beraroma di Semua Negara

Selanjutnya, meretas akses keadilan korban dalam sistem peradilan pidana. Hak-hak korban dalam sistem peradilan pidana telah diatur dalam UU Perlindungan Saksi dan 
Korban. Perubahan UU No 13 tahun 2006 menjadi UU No 31 tahun 2014 tentang 
Perlindungan Saksi dan Korban tidak lantas korban mendapatkan perlindungan secara utuh, publik lebih banyak dihadapkan pada perlindungan justice collaborator misalnya, yang notabene sebagai saksi yang terlibat dalam kejahatan, bukan sebagai korban murni dalam terjadinya kejahatan. 

Termasuk juga penanganan kasus kekerasan seksual.  Sejak berlakunya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual tanggal 9 Mei 2022 melalui Undang-Undang No. 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, telah menimbulkan terjadinya peningkatan kasus pengaduan kekerasan 
seksual. 

Undang-Undang dimaksudkan melindungi korban kekerasan seksual khususnya 
perempuan dan anak. Jumlah kasus kekerasan seksual kurun waktu 2023 yang dilaporkan  sebanyak lebih dari 5.858 kasus (data sampai dengan akhir september 2023) dan hingga akhir desember jumlah kasus yang dilaporkan lebih dari 6.500 kasus.

Dari berbagai sorotan yang dibahas, Ketua APERHUPIKI Dr. Fachrizal Afandi menyampaikan Outlook 2024 dan juga rekomendasi.

"Ada 8 poin Outlook 2024 dan juga 4 rekomendasi," katanya.

Tentang Outlook pada 2024 antara lain : 

1. Orientasi Hukum pidana harus diarahkan untuk dapat lebih melibatkan korban dalam proses penanganan tindak pidana untuk dapat menentukan pertanggungjawaban 
pidana dan memberikan rasa keadilan kepada semua pihak, baik itu pelaku, korban ataupun masyarakat;

2. Keterlibatan korban yang diakui dalam terwujudnya tindak pidana dan proses 
peradilan pidana (proses penjatuhan pidana) dalam KUHP Baru harus diselaraskan dengan peraturan yang terdapat dalam KUHAP Baru yang akan datang;

3. Perlu ada pengaturan di level peraturan perundang-undangan dan rekontruksi 
pemikiran APH berkaitan dengan praktik restorative justice yang lebih pro korban;

4. Pidana restitusi seharusnya tidak bisa diganti dengan pidana subsider denda atau penjara, karena akan merubah orientasi pidana untuk pemenuhan hak korban 
menjadi pidana penghukuman bagi pelaku;

5. Perlu kajian terhadap perhitungan jumlah restitusi, penentuan batas atas dan batas bawah jumlah restitusi, termasuk jenis kerugian yang dapat diganti dengan restitusi. 

6. Pemutakhiran kurikulum hukum pidana sesuai dengan kebutuhan stakeholder dan pengguna lulusan juga perkembangan hukum pidana yang lebih menjamin Hak Asasi 
Manusia;

7. Kampus harus secara aktif melakukan kajian/riset mengenai penerapan hukum 
pidana, penanggulangan kejahatan, perkembangan kejahatan serta kebutuhan hukum masyarakat dalam kerangka pembaharuan hukum pidana;

8. Kampus harus memiliki Lembaga Bantuan dan Konsultasi Hukum yang bergerak untuk memberikan bantuan hukum bagi internal kampus maupun eksternal masyarakat 
yang membutuhkan.

Kemudian, poin untuk rekomendasi yang telah disepakati, terdapat 4 poin, antara lain : 

1. Menuntut keseriusan Pemerintah dan Aparat Penegak Hukum untuk menegakkan prinsip-prinsip negara hukum dan Jaminan HAM dalam kebijakan dan praktik hukum 
pidana;

2. Penguatan konsolidasi korban bersama masyarakat sipil beserta akademisi hukum pidana dalam menjamin penerapan keadilan restoratif yang adil dan beradab;

3. Perlu penguatan pemahaman nilai-nilai jaminan HAM dalam KUHP baru terhadap 
masyarakat, khususnya pembela HAM dan akademisi hukum pidana dalam rangka memastikan penerapan KUHP yang menjamin prinsip negara hukum;

4. Perlu memastikan Peraturan Pelaksana KUHP dan Revisi KUHAP berorientasi pada tegaknya supremasi hukum dan jaminan HAM.

 


Topik

Hukum dan Kriminalitas Catatan akhir tahun penanganan hukum bantuan hukum



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Anggara Sudiongko

Editor

A Yahya