JATIMTIMES - Perbudakan orang kulit hitam menjadi sejarah kelam yang dipenuhi dengan tragedi yang sangat tidak manusiawi. Salah satunya seperti yang dialami oleh Pata Seca. Ia merupakan seorang budak pria yang dibeli khusus hanya untuk menghamili para budak wanita. Tujuannya agar menghasilkan anak yang memiliki keunggulan yang nantinya akan diperjualbelikan lagi sebagai budak.
Dilansir dari akun Youtube @megaansc, Pata Seca juga dikenal sebagai Roque José Florêncio. Lahir pada tahun 1828 di Sorocaba, Sao Paulo, Brasil. Secara fisik, Pata Seca sangat kuat. Tinggi badannya pun lebih dari 2,1 meter. Dia juga sangat karismatik, cerdas, dan berani. Panggilan Pata Seca yang disematkan orang-orang keadanya memiliki arti “kaki kering” dalam bahasa Portugis.
Baca Juga : FH Unikama Gelar Law Festival 2023, Bahas Peran Generasi Muda dalam Pencegahan Kekerasan Terhadap Anak
Ada beragam spekulasi mengenai asal-usul julukan itu. Beberapa orang mengatakan, dia dipanggil seperti itu karena bisa berjalan tanpa alas kaki di tanah yang panas dan tidak merasakan sakit. Ada juga yang bilang dia memiliki kondisi kulit yang membuat kakinya sangat kering.
Sementara “teori” yang lebih menarik menyebutkan, dia mendapat julukan itu lantaran ke mana pun dia pergi, dia tidak meninggalkan jejak, sehingga menyulitkan para penculiknya untuk melacaknya.
Pata Seca ditangkap dan diperbudak oleh pemilik tanah bernama Joaquim Jose de Oliveira. Setelah ditangkap, dia bekerja sebagai buruh ladang dan juga sebagai budak “pembibitan”, artinya dia dipaksa melakukan hubungan seksual dengan banyak wanita yang diperbudak untuk menghasilkan lebih banyak anak.
Saat itu, ia dibawa ke Vila Sorocaba dan dijual ke Visconde da Cunha Bueno, seorang pria kulit putih pemilik perkebunan yang menghasilkan kopi dan menjalani kehidupan yang relatif mewah. Pada saat itu, ada takhayul yang populer bahwa pria jangkung dan kuat dengan tulang kering kurus dapat menghasilkan lebih banyak bayi laki-laki.
Sementara kebutuhan budak pada waktu itu sangat tinggi untuk kerja paksa. Akhirnya jadilah Pata Seca menjalani status sebagai budak pembibitan, atau dalam istilah yang lebih kasarnya “peternak budak”.
Pata Seca tidak memiliki pilihan pada kala itu. Ia hanya bisa melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan wanita budak yang tak terhitung jumlahnya. Dia harus menghasilkan lebih banyak anak yang juga akan diperbudak oleh bangsa kulit putih. Anak-anak ini juga dapat diperjualbelikan sebagai komoditas di pasar budak.
Anak-anak budak yang lahir dalam hubungan semacam ini sering kali berada di bawah pengawasan tuan mereka. Wanita dan pria kulit putih sering mengambil anak-anak dari orang tua mereka dan membawa mereka ke rumah besar sang majikan.
Awalnya, anak-anak dari budak ini dijadikan pelayan yang melakukan pekerjaan rumah tangga dan bekerja berjam-jam. Dengan cara ini, majikan dapat mengendalikan apa yang dimakan anak-anak. Mereka ingin memastikan anak-anak tetap bugar untuk melaksanakan tugas yang berbeda.
Baca Juga : Atta Ungkap Kondisi Sang Istri, Usai Lahirkan Anak Kedua
Ketika mereka dewasa, banyak dari anak-anak ini kelak digunakan sebagai budak pembibitan seperti Pata Seca. Terutama anak laki-laki. Agar dapat melakukan tugasnya sebagai “mesin pabrik budak” yang sempurna, Pata Seca diberi makan dengan baik dan mendapat pemeriksaan kesehatan yang cermat. Menurut keluarganya, sepanjang hidupnya Pata Seca telah memiliki 249 anak dari wanita berbeda.
Namun meski demikian, Pata Seca tetap menderita sebagai budak, karena terus dipaksa menjadi mesin pencetak anak, ia juga tetap mencintai anak-anaknya. Dia mengajari mereka keterampilan penting seperti membaca, berkelahi, dan bertahan hidup. Banyak dari anak-anak itu menjadi pemimpin komunitas budak kulit hitam yang melawan rezim budak.
Pada Abad ke-19 di Brasil, orang kulit hitam secara harfiah tidak dianggap manusia. Sangat sedikit dari mereka yang bisa hidup lama. Sementara sebagian hidup Pata Seca hingga sekarang masih banyak yang menjadi misteri.
Dia dilahirkan dalam periode yang sangat kejam dan menjijikkan. Ada hal-hal yang terjadi yang bahkan tidak bisa kita pahami dengan standar dan ukuran zaman sekarang. Hampir seluruh kehidupan Pata Seca dihabiskan dengan perbudakan, namun ia juga menyaksikan perbudakan dihapuskan di Brasil pada 1888.
Ketika dibebaskan dan menjadi petani, Pata Seca menemukan kedamaian dalam hidup meskipun pendapatannya tidak begitu banyak. Pata Seca kemudian memutuskan untuk berkeluarga dan menikah dengan seorang wanita, serta memiliki 9 orang anak.
Roque Jose Florencio atau Pata Seca dikabarkan meninggal dengan damai di usia yang ke-130 tahun pada 13 Juni 1958, masih simpang siur kematiannya ini disebabkan infeksi tetanus di kakinya atau karena menderita miokarditis atau gagal jantung.