JATIMTIMES - Sejarah nasional Indonesia mencatat peristiwa monumental perang terdahsyat pada tahun 1825-1830, yaitu Perang Diponegoro. Saat itu, benua Nusantara menjadi saksi pertempuran besar yang merobohkan hati penjajah Belanda.
Sebuah kisah yang membawa keberanian, kegigihan, dan persatuan kaum muslimin Jawa di bawah komando Raden Mas Ontowiryo, atau yang lebih dikenal sebagai Pangeran Harya Diponegoro (1785-1855).
Baca Juga : Bupati Malang Minta ASN Kenakan Atribut Palestina hingga Galang Dana
Pangeran Diponegoro adalah putra pertama Sultan Hamengkubuwono III, raja Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Meskipun putra pertama, Diponegoro bukan putra dari permaisuri. Ibu Diponegoro adalah istri selir sultan bernama Raden Ayu Mangkorowati.
Diponegoro memilih jalan perang sebagai hidup setelah tidak senang terhadap campur tangan Belanda dalam urusan internal Keraton Yogyakarta. Pengaruh Belanda terhadap keraton semakin menguat ketika istana sedang labil, karena Sultan Hamengkubuwono IV masih kecil. Perang resmi dimulai pada 20 Juli 1825. Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya memutuskan menerapkan strategi gerilya untuk melawan pasukan Belanda yang lebih unggul dalam jumlah prajurit dan persenjataan.
Dampak dari perang ini tidak hanya dirasakan oleh kedua belah pihak, tetapi juga mencapai jangkauan yang mengguncangkan seluruh pulau Jawa. Diperkirakan sekitar 200 juta jiwa penduduk Jawa menjadi korban, menyisakan duka yang mendalam. Sementara itu, pihak Belanda tidak luput dari derita, kehilangan 8.000 tentara totok dan 7.000 serdadu pribumi.
Dalam perjuangan heroik ini, Pangeran Diponegoro tidak sendirian. Di belakangnya, berdiri para tokoh Muslim yang memegang peran kunci, salah satunya adalah sosok ulama yang dijuluki "tangan kanan" Diponegoro, Kiai Mojo. Kiai Mojo bukan hanya seorang ulama biasa, tetapi seorang ahli strategi yang cerdas. Dengan taktik perang gerilya yang dirumuskannya, pasukan Islam terus bergerak dengan tekad menggempur kekuatan Belanda.
Pangeran Diponegoro, seorang pemimpin ulung, tidak hanya memimpin pasukan, tetapi juga menjadi simbol perlawanan dan keadilan. Ia mampu mempersatukan kaum Muslimin, bangsawan dan rakyat biasa di Jawa di bawah panji-panji perlawanan. Dalam rentang tahun 1825 hingga 1830, puluhan ribu pasukan dari berbagai strata sosial bersatu, menghadapi penjajah Belanda dengan semangat yang menyala-nyala.
Salah satu tokoh yang memberikan dukungan krusial dalam perjuangan ini adalah Kiai Mojo. Seorang ulama yang bukan hanya terbatas pada kapasitas keagamaan, tetapi juga seorang ahli strategi perang yang ulung. Gelarnya sebagai "tangan kanan" Diponegoro menunjukkan betapa pentingnya peran Kiai Mojo dalam mengarahkan jalannya pertempuran.
Keraton setempat menganugerahkan kepada keluarga ini tanah perdikan di Desa Baderan dan Mojo, Pajang. Ibunda Kiai Modjo, Raden Ayu Mursilah, merupakan adik perempuan Sri Sultan Hamengku Buwono III. Artinya, antara Kiai Mojo dan Pangeran Diponegoro masih terikat hubungan kekerabatan yang dekat.
Dalam perjalanan hidupnya, Kiai Mojo menunjukkan dedikasi pada Islam dan semangat dakwah. Setelah menunaikan ibadah haji, ia bahkan sempat bermukim di Mekkah sebelum kembali untuk melanjutkan peran ayahnya dalam mengelola pesantren di desanya.
Kisah perjuangan Kiai Mojo tak terlepas dari hubungannya dengan Pangeran Diponegoro. Secara kekerabatan, Diponegoro adalah sepupu Kiai Mojo, dan hubungan ini semakin erat ketika Kiai Mojo menikahi janda Pangeran Mangkubumi, yang merupakan paman Diponegoro.
Di sisi lain, Pangeran Diponegoro telah menyadari kebutuhan akan panduan spiritual dan nasihat agama dalam perjuangan melawan penjajah Belanda. Bahkan sebelum letusan Perang Jawa, sang Pangeran telah berdiskusi dengan pamannya, Pangeran Mangkubumi, ketika keduanya tiba di Selarong. Diskusi tersebut mencakup pertanyaan krusial tentang siapa ulama yang paling tepat untuk diundang ke Selarong guna memberikan nasihat tentang cara mengangkat Al-Quran sebagai landasan perang sabil melawan kafir Belanda.
Meskipun Pangeran Mangkubumi merekomendasikan memilih ulama dari Yogyakarta, Pangeran Diponegoro memiliki pandangan yang berbeda. Ia ragu akan kapasitas ulama dari Yogyakarta untuk memberikan petunjuk yang sesuai dengan ajaran Al-Quran. Sebaliknya, Pangeran Diponegoro memilih untuk memanggil dua ulama yang menurutnya benar-benar "ajrih kepada tuhan" dan sangat berhati-hati dalam menjalankan perintah Al-Quran.
Dua ulama yang dipilih oleh Pangeran Diponegoro adalah Kiai Kuweron dari Pesantren Kuweron di Kedu Selatan, seorang yang sudah lanjut usia, dan Kiai Mojo dari Pesantren Mojo dekat Delanggu, yang pada saat Perang Jawa meletus masih relatif muda, berusia sekitar 33 tahun. Keputusan ini mencerminkan kepercayaan Pangeran Diponegoro pada kedalaman spiritual dan kehati-hatian dalam menjalankan ajaran agama dalam perjuangan melawan penjajah.
Sejak bergabung dengan pasukan Diponegoro, Kiai Mojo memainkan peran kunci dalam merumuskan strategi perang gerilya yang sukses menggempur kekuatan Belanda. Kedekatan hubungan keluarga dan keislaman antara keduanya membuat Kiai Mojo menjadi sosok yang dipercaya oleh Pangeran Diponegoro.
Ketika pasukan Diponegoro tiba di Gua Selarong, Kiai Mojo bergabung sejak hari pertama. Ia tidak hanya menjadi ahli strategi perang, tetapi juga menjadi wakil Diponegoro dalam perundingan penting dengan Belanda pada 29 Agustus 1827 di Klaten. Dalam perundingan tersebut, Kiai Mojo dengan tegas menyampaikan tuntutan dan berhasil mengubah paradigma perlawanan terhadap penjajah Belanda.
Dengan kebijaksanaannya, Kiai Mojo berhasil merekrut banyak tokoh berpengaruh dari Madiun, Ponorogo, Magetan dan Pacitan. Orang-orang yang direkrut itu termasuk ulama, kiai desa, syekh, pejabat urusan agama, guru mengaji, dan ulama dari berbagai wilayah di Jawa. Keberhasilan ini membuktikan kemampuan diplomasi dan kepemimpinan ulama dalam menyatukan umat Islam dalam perang melawan penjajah.
Sekitar 1828 atau tiga tahun Perang Jawa berlangsung, mulai terjadi ketidaksepakatan antara Kiai Mojo dan Pangeran Diponegoro. Pangeran Diponegoro mulai menggunakan cara-cara yang dianggap Kiai Mojo menyimpang dari ajaran Islam untuk menarik simpati rakyat. Diponegoro mengambil langkah-langkah yang lebih mengarah pada sentimen budaya Jawa, termasuk konsep Ratu Adil, untuk merekrut pasukan.
Pangeran Diponegoro mengaku mendapat tugas suci dari Tuhan selama bersemedi, merasa diangkat sebagai Ratu Adil dengan gelar Jeng Sultan Abdulhamid Herucakra Sayidin Panatagama Khalifah Rasullullah di tanah Jawa. Dengan cara tersirat, sang Pangeran menghadirkan fantasi pengalaman spiritual Nabi Muhammad saat diangkat menjadi Rasul. Lebih jauh, Pangeran Diponegoro mengeksplorasi peristiwa-peristiwa khusus yang terkait dengan statusnya ini, seperti menyendiri di gua atau menerima wahyu dari malaikat Jibril.
Dampak dari perubahan ini terasa dalam perilaku Pangeran Diponegoro yang dilayani oleh pengikutnya seperti seorang raja. Meskipun sering mengenakan jubah putih, sang Pangeran juga memiliki koleksi pribadi yang mencakup barang-barang mewah seperti pusaka, keris, kuda, dan sebagainya. Pangeran Diponegoro menonjolkan gaya dan atribut kerajaan, bahkan memayungi para pengawalnya dengan payung berlapis emas setiap kali tampil di depan publik.
Namun, pandangan Kiai Mojo terhadap ekspresi Pangeran Diponegoro berbeda. Menurut Kiai Mojo, Pangeran Diponegoro telah melanggar janjinya untuk membentuk pemerintahan sesuai dengan ajaran Islam. Sebaliknya, sang Pangeran terlihat memiliki ambisi mendirikan kerajaan baru di tanah Jawa yang tidak selaras dengan prinsip-prinsip Islam. Ketidaksepakatan ini memuncak dengan saran dari Pangeran Diponegoro kepada Kiai Mojo untuk mengakhiri perang.
Baca Juga : Korupsi Kemenkes Mencapai Ratusan Miliar, KPK Tetapkan Tersangka
Sementara itu, Pangeran Diponegoro juga merasakan kejengkelan terhadap sikap Kiai Mojo yang dianggap takabur. Kiai Mojo dengan bangga menyatakan bahwa pangeran-pangeran Surakarta sebelumnya telah belajar di bawah asuhan ayahnya, dan sekarang generasi penerus mereka diasuh oleh Kiai Mojo. Dalam babad karyanya, Pangeran Diponegoro merasa bahwa martabatnya dikecilkan oleh Kiai Mojo. Kiai Mojo bahkan mengklaim bahwa dukungan dari keraton sunan takala perang semakin meningkat berkat pengaruhnya.
Kejengkelan Pangeran Diponegoro terhadap sikap Kiai Mojo ini mencapai puncaknya pada tanggal 15 Oktober 1826. Saat itu, pasukan Diponegoro dengan kekuatan 5000 prajurit mulai menyerang Surakarta. Namun, serangan tersebut berakhir dengan kekalahan besar di Gawok, yang terletak di sebelah barat kota Surakarta. Kekalahan ini memicu saling menyalahkan antara anggota pasukan, termasuk tuduhan keras terhadap Kiai Mojo dan keluarganya.
Persaingan yang sebelumnya hanya bersifat mengganggu, kini berubah menjadi perselisihan terbuka yang memanas. Kiai Mojo dan keluarganya dituduh dengan nekat mendesak untuk menyerang ibu kota kesunanan demi kepentingan pribadi mereka. Apa yang sebelumnya hanya merupakan ketegangan persaingan, kini telah berkembang menjadi konflik terbuka yang melibatkan tuduhan serius dan saling menyalahkan di antara kubu Pangeran Diponegoro dan Kiai Mojo.
Pada akhirnya, Kiai Mojo mengambil inisiatif untuk menemui pihak Belanda guna mengadakan perundingan demi mengakhiri perang. Dalam pertemuan krusial pada tanggal 25 Oktober 1828, Belanda mengajukan pertanyaan kepada Kiai Mojo mengenai kemungkinan memberikan wilayah kekuasaan kepada Diponegoro. Kiai Mojo dengan tegas menyatakan bahwa jika itu terjadi, Diponegoro akan menyambutnya dengan senang hati, dan perang akan berakhir. Pernyataan ini menyiratkan pandangan Kiai Mojo bahwa Diponegoro tampaknya lebih tertarik pada gelar raja Jawa dan mendirikan kerajaan baru, meskipun tidak dengan sistem pemerintahan Islam.
Kiai Mojo, tanpa sepengetahuan Pangeran Diponegoro, melanjutkan upayanya untuk mencapai kesepakatan damai dengan pihak Belanda. Perjalanan keduanya ke Melangi pada 5-9 November 1828 dimaksudkan untuk melakukan perundingan secara independen, tanpa melibatkan Pangeran Diponegoro. Meski negosiasi pertama pada 31 Oktober 1828 di Melangi tidak berhasil, Kiai Mojo berusaha sekali lagi.
Namun, usahanya kandas ketika Pasukan Gerak Cepat Ketiga di bawah komando Letnan-Kolonel Joseph Le Bron de Vexela tugasnya untuk memastikan bahwa Kiai Mojo dan pasukannya tidak dapat melarikan diri. Ketika perundingan pada 10 November 1828 gagal, diketahui bahwa Kiai Mojo sedang mencoba kembali ke Pajang melalui jalan pintas di lereng-lereng Gunung Merapi, pasukannya dicegat di dekat bekas perkebunan Bawon Bouwens van der Boyen di Babadan pada 12 November.
Dalam situasi sulit, Kiai Mojo diberi waktu dua menit untuk memutuskan apakah akan menyerah tanpa syarat atau bertempur. Letnan-Kolonel Le Bron sudah berhasil mengepung pasukan Mojo. Dalam keadaan sulit tersebut, Kiai Mojo memilih menyerah bersama dengan 400 pasukannya. Tindakan tegas Belanda terhadap Kiai Mojo dipandang lebih kritis daripada sikap mereka terhadap tokoh-tokoh Keraton yang memihak kepada Belanda. Hal ini disebabkan oleh pandangan Belanda bahwa Kiai Mojo sangat berbahaya dan memiliki peran yang paling besar dalam mengobarkan semangat perang yang fanatik.
Pada tanggal 12 November 1828, Kiai Mojo dan para pengikutnya disergap di daerah Mlangi, Sleman, dekat Sungai Bedog, dan kemudian dibawa ke Salatiga. Selama penahanannya, Kiai Mojo memohon agar para pengikutnya dibebaskan dan siap menerima apapun keputusan yang diambil oleh pihak Belanda terhadap dirinya. Permintaan tersebut akhirnya dikabulkan, hanya menyisakan Kiai Mojo beserta kelompok inti dan beberapa tokoh berpengaruh, sementara sebagian besar pengikutnya dibebaskan. Keputusan Belanda terhadap Kiai Mojo ditegaskan sebagai tindakan yang lebih tegas dibandingkan dengan tokoh-tokoh Keraton yang memihak kepada Belanda. Pada tanggal 17 November 1828, Kiai Mojo dan kelompoknya dikirim ke Batavia dan diasingkan ke Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara.
Di tanah pembuangan, Kiai Mojo terus berdakwah hingga wafat pada 20 Desember 1849. Warisannya tidak hanya melibatkan pemikiran agama, tetapi juga membangun kampung baru di Tondano yang membawa tradisi Islam Jawa.
Setelah diasingkan ke Tondano, Kiai Mojo dan para pengikutnya yang semuanya merupakan laki-laki memutuskan untuk menjalin hubungan dengan perempuan setempat. Dari perpaduan dua budaya ini, muncul Kampung Jawa yang menjadi saksi perkawinan antara pengikut Kiai Mojo dan perempuan Minahasa. Proses ini tidak hanya menciptakan ikatan pernikahan, tetapi juga membawa pengaruh kuat dari tradisi Islam Jawa ke dalam budaya lokal.
Dalam upaya memperkuat identitas keagamaan di tengah masyarakat baru mereka, pengikut Kiai Mojo mendirikan Masjid Al-Falah di Kampung Jawa. Masjid ini menjadi pusat kegiatan keagamaan dan tempat penyebaran nilai-nilai Islam Jawa di tengah masyarakat Minahasa. Dengan gigih, mereka berusaha mengislamkan beberapa perempuan Minahasa, menjadikan Masjid Al-Falah sebagai tempat yang mewariskan tradisi-tradisi Islam Jawa hingga masa kini.
Keturunan Kiai Mojo, yang dikenal dengan sebutan Kiay Modjo, menjadi pewaris tradisi dan identitas keluarga. Mereka meneruskan warisan spiritual dan budaya yang ditinggalkan oleh Kiai Mojo di Kampung Jawa Tondano. Salah satu contoh keturunan Kiay Modjo yang mencerminkan keberlanjutan tradisi ini adalah Julaiha Kiay Modjo, seorang dosen Bahasa Jerman di Universitas Sam Ratulangi.
Meskipun dengan keterbatasan informasi mengenai keberadaan orang-orang dengan nama marga Kiay Modjo di Kampung Jawa Tondano, banyak keluarga dengan marga tersebut juga ditemukan tinggal di Gorontalo, menunjukkan penyebaran dan ketahanan warisan budaya Kiay Modjo di berbagai daerah.
Top of Form
Sebagai bagian dari panjangnya sejarah perjuangan bangsa ini, kisah Kiai Mojo menunjukkan bahwa ulama tidak hanya berperan dalam menyebarkan ajaran agama, tetapi juga memainkan peran strategis dalam perjuangan merebut kemerdekaan. Peran ulama dalam merumuskan strategi perang, mempersatukan umat, dan membawa nilai-nilai agama ke medan perang menjadi landasan penting dalam perjuangan bangsa Indonesia. Hari Pahlawan adalah saat yang tepat untuk mengenang dan memahami sepak terjang para pahlawan, termasuk ulama-ulama seperti Kiai Mojo, yang dengan keberaniannya membela keadilan dan kemerdekaan.