JATIMTIMES - Jawa Timur negeri yang kaya akan budaya dan sejarah memiliki banyak warisan heritage yang mempesona. Salah satunya adalah Stasiun Kediri, sebuah monumen megah yang menjadi saksi bisu dari masa kolonial Hindia Belanda.
Dibangun pada tahun 1882, stasiun ini tetap kokoh berdiri dan menghadirkan keindahan arsitektur gaya Imperial yang khas. Mari kita eksplorasi lebih dalam tentang kekayaan sejarah Stasiun Kediri, dan bagaimana kita semua dapat merawat warisan bersejarah ini untuk generasi mendatang.
Baca Juga : Balla Lompoa: Istana Raja Gowa di Makassar yang Terabaikan
Stasiun Kediri, terletak di Jalan Dhoho, Kota Kediri adalah salah satu stasiun tertua dan terbesar di Jawa Timur. Stasiun ini dibangun pada tahun 1882 oleh perusahaan kereta api milik pemerintah kolonial Hindia Belanda, Staad Spoorwegen.
Pembangunan Stasiun Kediri diperkirakan bersamaan dengan pembangunan jalur rel kereta api sepanjang 36 kilometer dari Sembung hingga Kertosono, yang kemudian menghubungkannya dengan Stasiun Tulungagung pada tahun 1883.
Bangunan Stasiun Kediri, yang saat ini menjadi aset PT Kereta Api Indonesia (Persero), mencakup luas sekitar 991 meter persegi. Meskipun telah berusia hampir 150 tahun, stasiun ini masih mempertahankan keaslian desain arsitektur kolonialnya. Bangunan ini adalah bukti hidup akan kejayaan arsitektur kolonial pada abad ke-18 hingga awal abad ke-19.
Stasiun Kediri hingga hari ini tetap memancarkan keaslian gaya arsitektur masa kolonial tanpa mengalami perombakan besar. Hanya sedikit perubahan yang dilakukan untuk menjaga dan memperluas fasilitasnya. Walaupun demikian, aura bersejarah yang melekat pada bangunan ini masih terasa kuat.
Secara desain, Stasiun Kediri mengusung model arsitektur gaya imperial yang mengakar pada periode akhir abad ke-18 hingga awal abad ke-19 di Eropa. Bangunan ini terdiri dari tiga bagian utama: teras depan (voor galerij), teras belakang (achter galerij), dan central room yang meliputi kamar tidur dan berhubungan langsung dengan kedua teras tersebut. Selain itu, terdapat paviliun terpisah yang berfungsi sebagai tempat menginap bagi tamu. Bagian samping dan belakang bangunan difungsikan sebagai kebun, menciptakan nuansa megah yang tetap terjaga hingga saat ini.
Gaya arsitektur ini di Indonesia diperkenalkan oleh Herman Willem Daendels ketika menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada tahun 1808-1811. Awalnya, gaya ini muncul di sekitar Batavia, tetapi kemudian menyebar dan diadopsi dalam desain stasiun-stasiun yang dibangun secara besar-besaran pada abad ke-19.
Gaya arsitektur ini dapat dikenali dari tembok tinggi yang kokoh, dihiasi dengan ornamen besi tempa di pinggiran atapnya, serta jendela-jendela besar yang dilengkapi dengan jalusi besi. Keseluruhan desain menciptakan kesan kemegahan yang juga sarat dengan nuansa mistis. Stasiun Kediri merupakan bukti nyata sejarah yang menjadi kebanggaan sebagai kota tua yang dihormati dalam tatanan karesidenan.
Pada era kolonial, Stasiun Kediri berperan sebagai pusat ekonomi yang sangat penting, terutama bagi wilayah Karesidenan Kediri yang mencakup beberapa kota dan kabupaten, seperti Kabupaten Kediri, Nganjuk, Tulungagung, Blitar, dan Trenggalek.
Stasiun Kediri bukan hanya sebagai tempat berangkat dan tiba kereta api semata. Di sini juga berpusat aktivitas ekonomi dan perkantoran yang krusial. Berbagai perusahaan pengangkutan barang dan perusahaan ekspedisi beroperasi di area ini.
Baca Juga : Shodanco Supriyadi dan Perjuangan PETA Akan Diangkat dalam Film Sejarah
Selain itu, pembangunan stasiun yang strategis di tengah kota menjadi indikator perkembangan Kota Kediri yang sangat signifikan. Ini mencerminkan betapa pentingnya moda transportasi dalam kehidupan masyarakat Kota Kediri sejak zaman dahulu.
Saat itu, Stasiun Kediri memiliki enam jalur kereta api, termasuk satu jalur lurus yang menghubungkannya dengan Stasiun Ngadiluwih di selatan dan Stasiun Susuhan di utara. Selain jalur utama tersebut, pada tahun 1897, dibangun pula jalur kereta milik Kediri Stoomtram Maatschappij (KSM) yang bercabang dari jalur kedua menuju Pesantren. Dari Stasiun Pesantren, jalur kereta api kemudian bercabang menjadi dua lintasan yang berbeda.
Pembangunan Stasiun Kediri persis di pusat kota menjadi barometer perkembangan Kota Kediri. Ini menunjukkan seberapa penting moda transportasi bagi masyarakat Kota Kediri sejak zaman dahulu. Pada masa tersebut, Stasiun Kediri memiliki enam jalur, termasuk satu jalur utama lurus yang menuju Stasiun Ngadiluwih di sebelah selatan, dan Stasiun Susuhan di sebelah utara. Selain jalur aktif tersebut, pada tahun 1897, dibangun jalur kereta api milik Kediri Stoomtram Maatschappij (KSM) yang bercabang dari jalur dua menuju Pesantren (salah satu kecamatan di Kota Kediri).
Gaya arsitektur megah namun mistis ini menjadi lambang zaman dan bukti sejarah yang kuat. Stasiun Kediri adalah salah satu atribut kebanggaan Kota Kediri sebagai ibu kota karesidenan yang tua dan disegani. Ini adalah saksi bisu dari masa kolonial yang pernah berkuasa, mengingatkan kita akan perjalanan panjang yang telah dilalui oleh kota ini.
Stasiun Kediri adalah kekayaan warisan bersejarah yang tak ternilai di Jawa Timur. Kita semua memiliki tanggung jawab untuk merawat dan mempertahankan bangunan megah ini agar tetap terjaga untuk generasi mendatang. Dengan upaya kolektif, kita dapat memastikan bahwa keajaiban arsitektur Indische Empire ini terus memancarkan keindahannya dan menjadi titik referensi yang mempesona dalam sejarah Jawa Timur.
Marilah kita bersama-sama menjaga dan merawat Stasiun Kediri, serta warisan bersejarah lainnya, agar tetap menjadi bagian penting dari identitas kota dan provinsi ini. Mengingat dan merayakan kekayaan sejarah adalah cara untuk menjaga akar-akar kita dan menjadikannya inspirasi untuk masa depan. Dengan demikian, kita dapat menghormati sejarah dan mewariskan kekayaan ini kepada generasi yang akan datang.