JATIMTIMES- Blitar, sebuah kota yang terletak sekitar 167 km dari Surabaya, dikenal oleh banyak orang sebagai tempat yang menyimpan makam Presiden Republik Indonesia pertama, Ir. Soekarno. Namun, Blitar memiliki banyak lebih banyak cerita menarik yang terkait dengan sejarah dan peranannya dalam perkembangan kereta api di Indonesia.
Salah satu pusat perhatian di kota kecil ini adalah Stasiun Blitar yang memiliki jejak sejarah yang mendalam. Dalam ulasan ini, Jatim TIMES akan menggali lebih dalam tentang sejarah stasiun ini.
Baca Juga : Kemarau Panjang Ancam Kota Blitar Hingga November, BPBD Ingatkan Potensi Krisis Air Bersih
Stasiun Blitar terletak di ketinggian +167 meter di wilayah Daerah Oeprasional (Daop) VII Madiun. Sejarahnya melibatkan Pemerintah Hindia Belanda, dan pembangunannya berlangsung bersamaan dengan konstruksi jalur kereta api Kediri-Tulungagung-Blitar sepanjang 64 kilometer.
Proyek ini diawasi oleh Staatsspoorwegen (SS), sebuah perusahaan kereta api yang dimiliki oleh pemerintah Hindia Belanda. Pengerjaan dimulai pada tahun 1883 dan secara resmi diresmikan pada tanggal 16 Juni 1884.
Awalnya, jalur kereta api di Blitar tidak hanya dirancang untuk kepentingan transportasi, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan para pejabat Belanda dan pengusaha dalam mengangkut hasil produksi perkebunan dan industri mereka. Pada masa penjajahan Belanda, Blitar berkembang menjadi pusat industri perkebunan yang terletak di lereng Gunung Kelud dan lembah sungai Brantas.
Pada tahun 1939, Blitar memiliki ratusan perkebunan yang dikelola oleh orang-orang Eropa, dan ada sekitar 45 perusahaan perkebunan yang membudidayakan berbagai tanaman seperti kopi, karet, kina, tembakau, kapuk, singkong, dan kelapa. Bangunan stasiun Blitar mengalami perombakan pada tahun 1950, dengan bangunan depan pintu masuk stasiun yang menjulang dan ornamen pintu dan jendela yang mencerminkan gaya arsitektur Indische Empire.
Salah satu ciri khas yang membuat Stasiun Blitar unik adalah sistem Overkapping yang menggunakan rangka penopang berbahan kayu. Selain itu, di stasiun ini juga terdapat dipo lokomotif, dipo kereta, dan menara air. Keberadaan elemen-elemen ini mencerminkan betapa ramainya stasiun ini pada masa lalu, dengan berbagai aktivitas seperti pergantian lokomotif uap, langsiran penambahan, atau pengurangan kereta.
Stasiun Blitar memiliki enam jalur, termasuk dua jalur sepur lurus dan satu jalur menuju area depo. Di bagian selatan stasiun, terdapat jalur putar untuk lokomotif. Stasiun Blitar juga termasuk dalam kategori stasiun besar yang terdapat dalam Daop VII Madiun. Ini berarti bahwa semua jenis kereta, termasuk kereta ekonomi, bisnis, dan eksekutif, berhenti di stasiun ini. Potensi stasiun ini sebagai pusat pertemuan bagi wisatawan yang tertarik dengan perjalanan kereta api, sejarah, dan budaya kota Blitar sangat besar.
Namun, Stasiun Blitar tidak hanya memiliki hubungan dengan dunia kereta api dan industri perkebunan. Selain Ir. Soekarno, ada satu nama lagi yang terkenal dari Blitar, yaitu Anthony Herman Gerard Fokker. Ia adalah seorang insinyur Belanda yang dikenal sebagai perintis dalam industri aviasi dan pendiri merek pesawat Fokker.
Baca Juga : Ribuan Petani Blitar Selatan Unjuk Rasa, Minta Perhutani Tak Intervensi Kawasan Hutan Pengelolaan Khusus
Tidak banyak yang tahu bahwa Fokker lahir di Blitar pada tanggal 6 April 1890. Anda mungkin bertanya-tanya bagaimana seorang penemu besar yang pesawatnya pernah digunakan oleh Indonesia bisa lahir di Blitar. Jawabannya adalah karena ayahnya, Herman Fokker Sr., adalah pemilik perkebunan kopi Belanda di Blitar.
Ketika Fokker kecil berusia empat tahun, ia dipulangkan ke Amsterdam, Belanda, untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik daripada yang tersedia di tanah jajahan. Ada keyakinan bahwa Fokker kecil mungkin pernah menggunakan layanan stasiun Blitar pada saat itu.
Sejarah stasiun ini juga memiliki peran penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ir. Soekarno, sang Proklamator Kemerdekaan Indonesia, dan para pejuang lainnya pernah menaiki kereta api dari Stasiun Blitar menuju Jakarta untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Inilah alasan mengapa stasiun ini juga memiliki patung Ir. Soekarno untuk mengenang momen bersejarah ini.
Meskipun bangunan stasiun telah mengalami beberapa kali renovasi, salah satu ciri khas yang masih bertahan adalah penggunaan langgam arsitektur yang terinspirasi dari Art Deco sekitar tahun 1950-an. Gaya arsitektur ini memberikan karakter tersendiri pada bangunan stasiun dan mencerminkan perkembangan sejarahnya.
Bukti-bukti otentik ini membuktikan jika Stasiun Blitar tidak hanya menjadi tempat persinggahan bagi para pengguna kereta api, tetapi juga sebuah saksi bisu perjalanan sejarah Blitar, Indonesia, dan kereta api di negara ini. Sejarahnya yang kaya dan beragam membuat stasiun ini menjadi salah satu ikon kota Blitar, serta warisan berharga bagi generasi sekarang dan yang akan datang.