JATIMTIMES - Setelah Pangeran Diponegoro ditangkap Belanda pada 1830, para pasukannya yang terdiri dari bangsawan, prajurit dan abdi keraton, ulama, santri dan rakyat jelata memisahkan diri dan menyebar ke Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Strategi ini dipilih karena pasukan Diponegoro merasa perang melawan penjajah bangsa Eropa belum selesai.
Baca Juga : Jokowi Hingga Ketua MK Dilaporkan ke KPK, Begini Tanggapan MPR
Upaya santri dan ulama dalam melanjutkan perjuangan sang pangeran terus dilakuan dengan menyebarkan doktrin spirit perlawanan dari dalam pondok pesantren dengan cara sembunyi-sembunyi. Upaya tersebut tidak sia-sia, puluhan tahun kemudian lahir sejumlah tokoh pejuang dari rahim pondok pesantren, salah satunya Hadji Oemar Said Tjokroaminoto.
Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto adalah pemimpin pertama Sarekat Islam. Sebagai pemimpin dan tokoh berpengaruh, Tjokroaminoto banyak berhubungan dan bertukar pikiran dengan Pakubuwono X, Raja Surakarta yang mendukung Sarekat Islam sebagai alat perjuangan mewujudkan kemerdekaan Bangsa Indonesia. Salah satu yang sering dibahas oleh dua tokoh ini adalah tentang strategi perjuangan kemerdekaan.
Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto lahir pada 16 Agustus 1882 di Ponorogo. Tjokroaminoto adalah anak kedua dari 12 bersaudara dari ayah bernama R.M. Tjokroamiseno, salah seorang pejabat wedana Kleco, Kabupaten Magetan pada saat itu.
Kakek Tjokroaminoto yaitu R.M. Adipati Tjokronegoro, pernah menjabat sebagai Bupati Ponorogo. Dari garis silsilah, Tjokronegoro adalah putra dari Kiai Ageng Hasan Besari dari Pondok Pesantren Tegalsari Ponorogo dengan Bra. Murtosyah, putri Sunan Pakubuwono IV.
Dari garis silsilah ini jelas, Tjokroaminoto masih punya hubungan kekerabatan dengan Pakubuwono X. Nenek Tjokroaminoto masih bagian dari keluarga keraton. Tjokroaminoto juga adalah santri dan keturunan langsung dari Kiai yang memimpin pesantren terbesar dari Ponorogo.
Setelah lulus dari sekolah rendah, Tjokroaminoto melanjutkan pendidikannya di sekolah pamong praja Opleiding School voor Inlandsche Ambtrnaren (OSVIA) di Magelang. Setelah lulus, ia bekerja sebagai juru tulis patih di Ngawi.
Tiga tahun kemudian, ia berhenti. Tjokromaninoto pindah dan menetap di Surabaya pada 1906. Di Surabaya, ia bekerja sebagai juru tulis di firma Inggris Kooy & Co dan melanjutkan pendidikannya di sekolah kejuruan Burgerlijk Avondschool, jurusan Teknik Mesin.
Salah satu trilogi Tjokroaminoto yang termasyhur adalah setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat. Ini menggambarkan suasana perjuangan Indonesia pada masanya yang memerlukan tiga kemampuan pada seorang pejuang kemerdekaan. Dari berbagai muridnya yang paling ia sukai adalah Soekarno hingga ia menikahkan Soekarno dengan anaknya yakni Siti Oetari, istri pertama Soekarno.
Pesan Tjokroaminoto kepada murid-muridnya ialah "Jika kalian ingin menjadi Pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator". Perkataan ini membius murid-muridnya hingga membuat Soekarno setiap malam berteriak belajar pidato hingga membuat kawannya, Muso, Alimin, S.M. Kartosuwiryo, Darsono, dan yang lainnya terbangun dan tertawa menyaksikannya.
Pada tahun 1905 di Surakarta, Haji Samanhudi, Sumowardoyo, Wiryotirto, Suwandi, Surypranoto, Jarmani, Haryosumarto, Sukir dan Martodikoro mendirikan Sarekat Dagang Islam. Pada 1912, organisasi ini berubah nama menjadi Sarekat Islam (SI). Organisasi ini didirikan sebagai sarana perjuangan umat Islam melalui bidang niaga dalam melawan penjajahan Belanda.
Sarekat Dagang Islam awalnya adalah perserikatan pedagang yang didirikan untuk bersaing dengan pegang Tionghoa yang kala itu memonopoli perdagangan batik di Solo. Praktik monopoli ini membuat para pedagang lokal merugi dan kesulitan dalam menentukan harga.
Organisasi ini dilahirkan dengan tujuan untuk menggalang kerja sama di antara para pedagang muslim demi memajukan perniagaan pribumi dan menyaingi pedagang etnis Cina waktu itu.
Setelah didirikan, organisasi ini memiliki tujuan utama memajukan perdagangan, memberikan pertolongan kepada anggota-anggota yang kesusahan, baik jasmani maupun rohani, memajukan kehidupan agama Islam, dan berjuang menuntut pemerintahan sendiri. Dalam perjuangannya, Sarekat Islam mendapat tempat di hati rakyat dan mendapat dukungan dari Raja Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Sunan Pakubuwono X.
Baca Juga : Viral, dr Tompi Sebut Ada Satu Kesamaan Capres Cawapres
Tjokroaminoto begitu leluasa bergerak melakukan perjuangan berkat perlindungan yang diberikan Sunan Pakubuwono X. Dibawah Tjokroaminoto, Sarekat Islam melebarkan sayapnya ke aspek politik dengan menerbitkan surat kabar yang dinamakan Oetoesan Hindia.
Melalui Koran Oetosan Hindia, Sarekat Islam coba menyebarkan propaganda perjuangan. Surat kabar ini terbit pertama kali pada 1912. Koran ini resmi berada di bawah Sarekat Islam dengan Tjokroaminoto sebagai pemimpin redaksinya
Tjokroaminoto semakin menggila mengkritik pemerintah Hindia Belanda melalui surat kabar.Tulisan adalah senjata perlawanan Tjokroaminoto untuk menyampaikan pemikiran sekaligus menyulut api perjuangan pribumi Bangsa Indonesia.Melalui surat kabar, Tjokroaminoto menyampaikan gagasan patriotiknya sebagai alat propaganda mengusir penjajah bangsa eropa.
Oetosan Hindia juga menjadi lahan menulis bagi para aktivis-aktivis yang bernaung dalam Sarekat Islam untuk menumpahkan gagasan dan pemikirannya. Sedangkan bagi masyarakat umum, surat kabar Oetosan Hindia digunakan rakyat pribumi untuk mencari informasi, khususnya informasi tentang Sarekat Islam.
Selain Oetosan Hindia, Sarekat Islam juga meneribatkan banyak surat kabar lain seperti seperti Sarotomo, Pantjaran Warta, Kaoem Moeda, dan Sinar Djawa. Namun dibanding surat kabar lainnya, Oetosan Hindia adalah surat kabar milik Sarekat Islam yang paling lengkap dan update dari sisi pemberitaan. Oetosan Hindia menampilkan berita-berita dalam negeri dan internasional. Surat kabar lainnya juga memberitahukan berita yang sama, namun dengan cakupan yang lebih sedikit.
Gerakan perjuangan Sarekat Islam melalui literasi surat kabar ini tentu tak lepas dari dukungan dan pengaruh yang diberikan Raja Surakarta Pakubuwono X. Sebagai pendukung Sarekat Islam, Pakubuwono X adalah raja Jawa yang terbuka terhadap peradaban modern. Di masa berkuasa, Pakubuwono X mengkondisikan iklim kondusif pada penerbitan pers. Raja juga menggunakan pers untuk menyiarkan kegiatannya sebagai raja Keraton Surakarta. Koran dijadikan media untuk menyiarkan kegiatan abdi dalem dan kehidupan masyarakat. Di masa ini pula, jumenengan keraton dan sejarah riawat hidup Pakubuwono X mulai dari lahir, jadi putra mahkota dan menjadi raja dimuat di surat kabar. Pencitraan seorang pemimpin lokal ini boleh jadi adalah yang pertama kali di Indonesia.
Apa yang dilakukan Pakubuwono X ini pada akhirnya menjadi proses sejarah pers di Indonesia. Di masa kekuasaan Pakubuwono X, di Surakarta ada 69 media surat kabar yang cetak dan terbit. Koran-koran lokal ini berada langsung dibawah binaan Pakubuwono X
Pengaruh dari Pakubuwono X ini juga berimplikasi kepada Sarekat Islam. Walaupun tingkat pendidikan rakyat pada waktu itu masih rendah, namun Pakubuwono X sadar bahwa lembaran pers bisa dijadikan media untuk mengkampanyekan ide-ide nasionalisme, integrasi nasional dan pemikiran perjuangan menuju kemerdekaan bangsa secara luas. Pakubuwono X adalah raja yang local genius.
Dapat dikatakan bahwa, Oetoesan Hindia menjadi sarana penting bagi penyalur aspirasi umat islam yang melibatkan para ulama serta dari kalangan pesantren. Perjuangan di era Sarekat Islam ini bukan lagi perang adu senjata seperti era Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro, melainkan perang dengan titik kesadaran baru yaitu perang dengan jalan pers.
Di era ini, pers juga jadi jalan bagi pendiri bangsa untuk meletakkan fondasi kebangsaan bangsa ini melalui pers. Pada waktu itu nyaris seluruh tokoh kunci pergerakan nasional adalah tokoh pers dengan jabatan pimpinan redaksi di strukturnya. Salah satu tokoh itu adalah Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto, pimpinan redaksi Oetosan Hindia dan Sinar Djawa.
Dari dampak yang cukup besar terhadap perkembangan umat islam kala itu, surat kabar Oetoesan Hindia harus ditutup paksa pada 1923. Penutupan itu dikarenakan adanya berbagai permasalahan di dalam tubuh organisasi Sarekat Islam.