JATIMTIMES - NCM Insinyur yang beralamat di Perumahan Argopuro Kaliwates Jember, dijebloskan ke tahanan Polres Jember, atas ulahnya melakukan korupsi, dengan mengajukan Kredit Fiktif melalui program KKP-E (Kredit Ketahanan Pangan dan Energy) di Bank BRI cabang Jember.
NCM tidak sendiri, untuk memuluskan aksinya, NCM bekerjasama dengan PPH sebagai Analisa bank BRI dan juga RK selalu administrasi kredit BRI. Bahkan dari aksinya mengajukan kredit fiktif ini, NCM berhasil meraup dana hingga Rp 10 M lebih.
Baca Juga : Bupati Sanusi Beri Semangat Guru Perempuan untuk Berwirausaha
Sehingga untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, ketiganya terancam hingga 20 tahun penjara, dan dijerat dengan pasal 2 ayat 1 UU nomor 30 tahun 2002 tentang tindak pidana korupsi.
Kasat Reskrim Polres Jember AKP. Abid Uais Qornain, kepada wartawan, Selasa (17/10/2023) menyatakan, bahwa modus pelaku dalam menjalankan aksinya adalah mengajukan kredit melalui program KPP-E untuk 32 kelompok tani. Namun 32 kelompok tani yang dicatut, tidak semuanya ada anggotanya.
"Jadi pelaku mengajukan kredit KKP-E, dimana pelaku menyodorkan 32 kelompok tani sebagai pemohon kredit, namun faktanya 32 kelompok tani tersebut fiktif," ujar Kasatreskrim.
Aksi pelaku ini sendiri berjalan sejak tahun 2011 hingga tahun 2013, dimana dari aksinya ini, 2 pelaku PPH dan RK mendapat bagian ratusan juta rupiah dari pelaku.
Seperti diketahui, kredit fiktif dari program KKP-E ini sempat dibahas di komisi A DPRD Jember, oleh kelompok tani yang tergabung dalam Forum Korban Makelar Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE) beberapa waktu yang lalu.
Siti Melisa satu dari belasan korban makelar Kredit tersebut mengatakan Sertifikat Hak Milik (SHM) tanah dan bangunan seluas 1470 meter persegi ditahan oleh pihak bank sejak tahun 2012.
"Dan sampai sekarang, sudah dua belas tahun ini sertifikatnya tidak bisa keluar," ujarnya.
Menurutnya, kredit fiktif tersebut bermula, makelar pinjaman bank berinisial NCM menawarkan adanya kredit pada tahun 2012 dengan suku bunga sebesar 5 persen setahun.
"Jadi murah banget, karena biasanya kami dapat dari Bank BUMN tersebut bisanya suku bunganya 12 persen pertahun. Jadi itu murah banget di program KKPE ini , sehingga kami tertarik," kata Melisa.
Wanita asal Desa Petung Kecamatan Bangsalsari ini menuturkan SHMnya hanya bisanya pengajuan kredit sebesar Rp 20 juta di bank. Tetapi pada program pemerintah tersebut, diiming-imingi pinjaman sebesar Rp 100 juta.
"Melihat tawaran dengan suku bungan cuma 5 persen. Dan uang pinjamannya lebih besar. Sehingga saya langsung tertarik, karena prosesnya juga mudah," katanya.
Setelah itu, Melisa mengaku diarahkan oleh makelar yang menjadi ketua Asosiasi Petani Kacang Indonesia Jember ini, untuk ke bank milik BUMN agar menandatangani akad perjanjian pinjaman.
"Itu akadnya sebesar Rp 450 juta. Saya langsung tanya ke notarisnya yang berinisial D, saya bilang kok besar ini, saya kan cuma pinjam Rp 100 juta. Katanya, tidak, itu untuk kelompok," ucapnya.
Dia mengatakan di surat perjanjian tersebut, satu kelompok petaninya itu berisi sepuluh orang. Sehingga Rp 450 juta ini dibagi untuk anggota kelompok.
"Akhirnya saya bilang, oh iya sudah. Dari situ saya dapat pinjamannya Rp 100 juta, yang lain ada yang dapat Rp 20 juta, ada yang dapat Rp 35 juta. Saya kira sertifikat saya itu, untuk kelompok jadi bukan sertifikat saya saja," urai Melisa.
Setelah penandatangan akad kredit tersebut, dia mengatakan uangnya tidak langsung dicairkan oleh pihak bank. Katanya, masih harus menunggu selama tiga bulan.
Baca Juga : Polres Malang Petakan 10 Titik Rawan Pemilu 2024
"Biasanya besoknya, atau satu minggunya langsung cair. Nah ini saya malah menunggu pencairan itu sampai tiga bulan. Tetapi pencairan tersebut bukan dari Banknya langsung, tetapi saya dapatnya dari Ketua Asosiasi Petani Kacang itu yang berinisial N dapatnya dari sana," imbuhnya.
Uang pinjaman Rp 100 juta ini, kata Melisa, masih dipotong sebesar Rp 4 juta oleh makelar tersebut, katanya untuk biaya administrasi.
"Jadinya saya dapatnya Rp 96 juta. Nah karena ini untuk petani, itu bisa dicicil selama 4 kali cicilan dalam setahun. Jadi dalam setahun itu saya mencicil selama 4 kali," jletrehnya.
Melisa mengaku sudah membayar uang cicilan kredit ini sebanyak dua kali. Total yang sudah dilunasi sebesar Rp 50 juta.
"Jadi masih ada sisa cicilan Rp 50 juta. Nah ketika yang Rp 50 juta tersebut mau saya lunasi, saya malah dilarang sama N itu, katanya Banknya masih bermasalah," imbuhnya.
Dia mengaku mempertanyakan alasan larangan pelunasan kredit kepada makelar ini. Karena memang sangat butuh sertifikat tanah dan bangunan yang ditahan Bank.
"Katanya tidak bisa, karena kredit tersebut adalah kelompok. Meskipun saya lunasi, itu tidak bisa saya ambil sertifikatnya, sebelum anggota kelompok ini bayar semua. Katanya seperti itu, akhirnya saya menunggu," ulasnya.
Sampai akhirnya, Melisa mengaku kesabarannya habis untuk menunggu anggota kelompoknya ini melunasi kredit tersebut. Bahkan sampai suaminya meninggal dunia, SHM tahan dan bangunannya belum juga ada kejelasan.
"Saya menunggu mau sampai kapan, sudah 12 tahun sampai sekarang belum juga sertifikatnya tidak bisa keluar," imbuhnya.
Namun tiba-tiba sekira tahun 2016, Melisa mengaku di datangi petugas dari Bank BUMN Korwil Malang. Mereka menagih agar pinjaman Rp 455 juta itu segera dilunasi.
"Dengan menunjukan berkas. Ternyata Rp 455 juta tersebut atas nama saya sendiri, bukan kelompok. Saya protes itu kok satu orang, bukannya untuk satu kelompok," jlentrehnya.
Mendapatkan tagihan dadakan tersebut. Melisa mengaku langsung menolak untuk membayar. Karena pinjaman kredit ini hanya Rp 100 juta.
"Uang Rp 445 juta itu .karena saya sudah bayar Rp 50 juta, harusnya sisanya kan cuma Rp 50 juta. Saya mau bayar asalkan Rp 50 juta itu, saya bilang gitu," ucapnya. (*)