JATIMTIMES - Kebiasaan mbecekan atau yang dikenal dengan istilah buwuh diberbagai tempat, menjadi tradisi di Kabupaten Tulungagung. Becekan ini adalah silaturahmi antara teman, tetangga atau kerabat yang menyelenggarakan hajatan.
Mbecek istilah orang yang datang ke hataan atau becekan, bagi pria di Tulungagung, cukup membawa amplop berisi lembaran rupiah. Namun, untuk kaum hawa buwuh membawa sanggan atau barang sembako dan juga amplop berisi uang.
Baca Juga : 7 Tradisi Maulid Nabi di Berbagai Daerah Indonesia
Untuk becekan ini, tuan rumah hajatanya bisa bermacam-macam. Diantaranya, nikah, khitan, ulang tahun atau lainnya. Piranti pesta di acara becekan ini juga sama seperti umumnya, didepan ada penerima tamu yang telah berjajar menyambut kehadiran undangan.
Kemudian, setelah tamu masuk maka ada orang lagi yang minarakne mempersilakan duduk dan kemudian ada juru ladi atau seksi konsumsi yang mengirim makanan. Setelah makan, tamu undangan ini keluar atau meninggalkan terob dengan meninggalkan amplop yang berisi uang dengan jumlah bervariasi.
"Kalau saya ya minimal 50 ribu, tapi itu sekarang jarang. Biasanya diatas 100 ribu," kata Andi (35) ditemui saat acara hajatan di Kalidawir.
Menurut Andi, becek ada berbagai alasan yang masing-masing individu punya kepentingan. "Kalau kebanyakan kan seperti arisan, datang numpangi. Kalau ketumpangan punya kewajiban mengembalikan," ujarnya.
Motif lain menurut Andi, memang ikhlas menyumbang dan tidak berharap kembali. "Kalau namanya dapat undangan, ya datang lalu nyumbang. Ini tidak berharap kembali, istilahnya ikhlas," ungkap Andi, Jumat (29/9/2023).
Baca Juga : Mengenal Tradisi Gredoan saat Maulid Nabi, Ajang Cari Jodoh di Banyuwangi
Bahkan, ada yang punya gawe menyiapkan makanan mewah dan mengundang tamu. Namun, tidak disiapkan tempat menyumbang dan yang datang semuanya tidak perlu meninggalkan uang atau barang.
"Yang penting menjaga silaturahmi, berkumpul dengan sanak kadang," bebernya.
Becekan ini juga ada musim atau tradisi penanggalan yang diambil dari hari lahir yang punya hajat. Di Tulungagung, bulan Selo dan Suro serta Poso (ramadhan) tak ada yang menggelar hajatan karena tradisi dan kepercayaan yang tidak memperbolehkan.