JATIMTIMES - Cara prasmanan sudah merupakan hal yang sangat lazim di kalangan masyarakat kita. Selain di hotel, cara tersebut juga kerap digunakan dalam berbagai pesta jamuan makan di acara pernikahan, perayaan ulang tahun dan kegiatan-kegiatan resmi lainnya.
Istilah 'prasmanan' sendiri mengacu kepada cara penyajian makanan yang dihidangkan di atas meja. Hidangan tersebut disusun sedemikian rupa agar para tamu bisa memilih sendiri makanan yang diminatinya.
Baca Juga : Pantangan Larung Sesaji Pantai Ngliyep, Wajib Berpuasa Hingga Tak Boleh Didatangi Wanita
Sejatinya, cara prasmanan tidak dikenal di Indonesia. Orang-orang Nusantara (terutama Jawa dan Sumatera) lebih akrab dengan cara makan bersama dengan sajian jenis makanan yang dihidangkan secara terbuka.
Usut punya usut, cara penyajian itu bukanlah budaya asli masyarakat Indonesia, melainkan adopsi dari budaya kuliner luar negeri tepatnya Prancis. Orang Prancis menyebut cara penyajian itu dengan istilah buffet yang cukup populer pada abad ke 19.
Dilansir dari akun Tiktok @goodnewsfromindonesia, kata prasmanan sebenarnya berasal dari kata fransman (France Man) atau sebutan orang-orang Prancis oleh orang Belanda yang kala itu menghidangkan sajian di atas meja mereka.
Suryatini N Ganie dalam Upaboga di Indonesia menjelaskan bahwa istilah buffet sendiri diartikan sebagai meja besar yang ditaruh di dekat pintu masuk restoran-restoran. Kemudian di atas meja tersebut dihidangkan makanan yang disusun pelayan.
Sembari berjalannya waktu, cara penyajian makanan ala prasmanan atau buffet ini mengalami modifikasi, yaitu dengan adanya model penyajian makanan pada meja terpisah untuk setiap menunya yang bisa dijumpai dalam pesta pernikahan.
Pengadopsian prasmanan oleh kaum bumiputra seperti menghancurkan tradisi makan cara lama. Pasalnya sebelumnya pada suatu perhelatan besar, para tamu akan dibawakan berbagai sajian untuk disantap bersama dalam masing-masing piring atau wadah lain.
Di luar Jawa, prasmanan masih dianggap bukan tradisi lokal, salah satunya di Palembang. Gustaaf Kusno, seorang penulis asal usul dari Palembang menyatakan orang Palembang masih menyebut prasmanan sebagai makan prancis.
Gustaaf menyatakan pencatuman resepsi ala Prancis ini karena ada tradisi makan lain di Palembang yang dinamakan chia tuk (layanan per meja). Dalam tradisi khas Tiongkok ini undangan dipersilahkan duduk melingkari meja bundar dan hidangan akan diantarkan.
Budaya kuliner prasmanan ternyata juga menjadi “saksi bisu” kebiadaban penjajahan Prancis di Tanah Jawa.
Baca Juga : Namanya Sempat Hilang dari Usulan, Wahyu Hidayat Dipastikan jadi Pj Wali Kota Malang
Historyofcirebon.id mencatat, tahun 1792-1797 di Eropa berkecamuk perang besar, yaitu perang antara Prancis melawan pasukan sekutu. Dalam peperangan ini, Prancis tampil sebagai pemenang. Perang di Eropa ini dikenal dalam sejarah dengan nama Perang Koalisi 1.
Ketika itu, Prancis mengalahkan pasukan koalisi Austria, Prusia, Inggris, Spanyol, Sardini, dan Belanda. Atas kemenangan itu, Prancis menguasai daerah-daerah di Eropa, salah satunya Belanda. Ketika Belanda dikuasai Prancis, Raja Belanda—yang saat itu dijabat oleh Raja Willem, melarikan diri dan meminta perlindungan Kerajaan Inggris.
Sejak memenangkan Perang Koalisi 1, Belanda resmi menjadi jajahan Prancis. Bukan hanya dalam negeri Belanda saja, namun juga wilayah jajahan Belanda di seluruh dunia, termasuk Pulau Jawa. Pada masa inilah Prancis menugaskan Herman Willem Daendels untuk menjadi Gubernur di Hindia Belanda yang berpusat di Pulau Jawa pada tahun 1808.
Pada masa itulah kebiadaban penjajahan Prancis dimulai. Pada masa itu, Daendels melakukan kerja paksa pembuatan jalan terpanjang di Hindia Belanda—sebuah jalan raya yang dibangun mulai ujung barat Pulau Jawa (Anyer) sampai dengan ujung timur Pulau Jawa (Panarukan).
Saat tanam paksa itulah, para pekerja tanam paksa diberi makan dengan cara penyajian makanan yang diletakkan di atas meja panjang. Sementara para pekerja paksa, antri berbaris untuk mendapatkan makanan yang mereka inginkan. Model penyajian makanan inilah yang kemudian disebut sebagai makan prasmanan.
Terlepas dari kebiadaban kaum imperialis, kehadiran bangsa-bangsa lain telah memperkaya khazanah seni kuliner di Indonesia.
Selain prasmanan, pemakaian sendok dan garpu, juga sumpit saat makan mi, juga merupakan adopsi dari budaya kuliner bangsa lain yang (pernah) datang ke Indonesia.