JATIMTIMES - Labuhan atau yang lebih dikenal dengan istilah Larung Sesaji hingga kini masih sering diselenggarakan oleh sebagian masyarakat di Indonesia. Di Kabupaten Malang sendiri ada salah satu desa yang hingga kini masih melestarikan adat tradisi Larung Sesaji. Yakni di Desa Kedungsalam, Kecamatan Donomulyo, Kabupaten Malang.
Terdapat beberapa pantangan yang harus dipatuhi oleh masyarakat Desa Kedungsalam saat menyelenggarakan Larung Sesaji. Terutama ketika mempersiapkan sesaji yang hendak dilarung di Gunung Kombang Pantai Ngliyep.
Dalam catatan sejarah menyebut, setidaknya ada tiga pantangan yang mutlak harus dipatuhi oleh para warga. Satu diantaranya adalah di lokasi masak sesaji pantang untuk didatangi wanita.
"Di lokasi masak sesaji pantang didatangi wanita, karena pernah suatu ketika pada waktu masak sesaji ada wanita yang datang. Alhasil masakan itu tidak matang sampai sore hari menjelang acara selamatan Larung Sesaji dimulai," ungkap Tokoh Masyarakat Desa Kedungsalam, Iwan Yuyanto.
Pantangan selanjutnya, dijelaskan Iwan, adalah tidak boleh mengenakan pakaian berwarna hijau gadung. Beberapa sumber menyebut, warna hijau gadung merupakan warna hijau muda. Disebut hijau gadung karena warnanya mirip seperti daun gadung.
"Para pengikut Labuhan yang ikut masak sesaji tidak boleh mengenakan pakaian berwarna hijau gadung, karena warna itu adalah warna kebesaran Nyai Ratu Mas. Yaitu penguasa Kraton Laut Selatan," jelasnya.
Selain pantang didatangi wanita dan mengenakan pakaian berwarna hijau muda, pada saat memasak para pengikut juga harus berpuasa. "Pada saat masak keperluan Labuhan harus berpuasa, yaitu mulai dari tidak boleh makan, minum, hingga merokok di tempat masak sesaji," imbuhnya.
Sekedar informasi, dijelaskan Iwan, lokasi masak sesaji dilaksanakan di Rumah Lumbung. Yaitu rumah peninggalan salah satu tokoh masyarakat di masa-nya yang mencetuskan adat tradisi Larung Sesaji Gunung Kombang Pantai Ngliyep, yang bernama Eyang Atun.
"Lokasi masak sesaji berada di Dukuh Krajan, Desa Kedungsalam," terang Iwan.
Di sisi lain, bagi masyarakat yang ikut Labuhan ditekankan untuk membawa ubarampe labuhan secara mandiri. Berbagai sumber menyebut, ubarampe merupakan perlengkapan yang dibutuhkan dalam upacara adat. Di sini yang dimaksud adalah Larung Sesaji Gunung Kombang Pantai Ngliyep.
"Masyarakat yang ikut Labuhan membawa sendiri keperluan untuk labuhan, mulai dari beras, bumbu masakan, serta kelengkapan labuhan lain sebagainya," tutur Iwan.
Bagi masyarakat yang mampu, biasanya akan membawa sapi hingga kambing. Sebagian diantaranya juga ada yang membawa ayam jago. Namun yang dilarung ke Pantai Ngliyep hanyalah sapi atau kambing.
Baca Juga : Sejarah Desa Kedungsalam: Sosok Linuwih dari Mataram, hingga Upaya Mengusir Pagebluk Kematian
"Bagi yang mampu biasanya ada yang membawa sapi atau kambing, tapi ada juga yang membawa ayam jago," imbuhnya.
Iwan menyebut, tidak semua bagian dari hewan baik itu sapi maupun kambing dilarung. Melainkan hanya kepala hingga sebagian darahnya.
"Yang dilabuhkan terdiri dari kepala, kulit, kaki dan darah dari kambing atau sapi. Selain itu juga disertai dengan berbagai macam masakan. Semuanya itu dilarung di Gunung Kombang untuk memohon ridho dari Tuhan yang Maha Kuasa," ujarnya.
Sementara itu, untuk bagian tubuh dari sapi atau kambing dan ayam jago, diolah menjadi masakan untuk dihidangkan saat agenda selamatan. "Dagingnya digunakan untuk acara selamatan," tukas Iwan.
Sebagaimana diberitakan, Larung Sesaji Gunung Kombang Pantai Ngliyep telah berlangsung setiap tahun dalam hitungan penanggalan Alif-Rebo-Wage (Aboge) sejak 113 tahun lalu. Pencetusnya adalah Eyang Kiai Thalib selaku Kepala Desa Kedungsalam pertama dan Eyang Atun.
Sejarah mencatat, awal mula tercetusnya tradisi adat Larung Sesaji Gunung Kombang Pantai Ngliyep bermula dari adanya pagebluk kematian. Di mana, ketika warga Desa Kedungsalam mengalami sakit pada pagi hari, sorenya meninggal dunia. Sebaliknya, jika sore sakit, keesokan paginya meninggal dunia.
Kedua tokoh tersebut, yakni Eyang Kiai Thalib dan Eyang Atun kemudian bersemedi di Gunung Kombang. Hingga akhirnya, beliau berdua memperoleh wangsit atau bisikan gaib untuk mengadakan Labuhan atau Larung Sesaji.
Hingga kini, masyarakat Desa Kedungsalam masih melestarikan tradisi Larung Sesaji yang diwariskan oleh para leluhur desa. Tradisi tersebut hingga kini dikenal dengan Larung Sesaji Gunung Kombang Pantai Ngliyep.