JATIMTIMES - Selain ritual budaya Jamasan Gong Kiai Pradah, Kabupaten Blitar juga punya jamasan Kiai Bonto. Berbeda dengan Gong Kiai Pradah yang cukup populer, ritual budaya dan keberadaan Kiai Bonto kurang begitu dikenal secara luas. Terkini dikabarkan, jamasan Gong Kiai Pradah dan Kiai Bonto akan dilaksanakan secara bersamaan pada 29 September 2023.
“Tradisi memandikan benda pusaka berupa sebuah gong dan wayang dengan menggunakan air kembang setaman ini selalu menjadi daya tarik tersendiri bagi ribuan orang kebanyakan yang datang yaitu dari Blitar bahkan luar kota Blitar untuk ngalap (meminta) berkah. Kali ini terdapat 2 tempat perayaan ritual yaitu di Alun-alun Lodoyo untuk Jamasan Gong Kyai Pradah dan di Desa Kebonsari untuk Siraman Kyai Bonto. Ayo dulur yang penasaran dengan tradisi turun temurun ini bisa menghadirinya,” tulis akun instagram @pemkab_blitar.
Baca Juga : Dalam Kajian, CFD di Kepanjen Bakal Direalisasikan Akhir 2023
Ya, tradisi jamasan Kiai Bonto cukup unik karena lazimnya siraman dilakukan terhadap pusaka-pusaka dalam bentuk keris, tombak, gong dan lainnya. Ritual budaya jamasan Kiai Bonto adalah menjamas wayang krucil. Ada tiga buah wayang krucil dimana salah satunya diberi nama Mbah Bonto. Siraman Mbah Bonto ini dilakukan dalam sebuah upacara tradisional di Dusun Pakel, Desa Kebonsari, Kecamatan Kademangan, Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Ritual budaya ini rutin digelar dua kali dalam setahun yakni setiap 1 syawal dan Rabiul awal bertepatan dengan Maulid Nabi Muhamad SAW
Tradisi jamasan Mbah Bonto ini sudah hidup selama ratusan tahun. Dikisahkan seorang bangsawan dari Mataram bernama Pangeran Prabu menepikan diri ke Blitar. Di Blitar tepatnya di wilayah Blitar Selatan, Pangeran Prabu kehilangan salah putrinya karena meninggal dunia hanya beberapa saat setelah dilahirkan. Di tempat ini Pangeran Prabu kemudian meninggalkan sekotak wayang krucil di sebuah tempat yang kemudian dinamakan Dusun Pakel.
Putri Pangeran Prabu yang meninggal dunia itu bernama Raden Ayu Suwartiningsih. Dalam perkembangannya, ziarah ke makam Raden Ayu Suwartiningsih kemudian menjadi bagian dari tradisi Jamasan Kiai Bonto hingga saat ini.
Adapun proses menyirami wayang ini dimulai dengan membuka kotak hitam oleh Kepala Desa Kebonsari. Yang disiram pertama kali ialah wayang kerucil Kiai Bonto, kemudian diikuti dua wayang yang lain. Menurut cerita lisan, dua wayang lainnya tidak diberi nama karena hanya untuk menemani wayang krucil Kiai Bonto di alam gaib. Setelah dicuci, wayang kemudian diangkat agar diketahui penonton di bawah.
Setelah prosesi siraman selesai, bunga bekas siraman Kiai Bonto tadi dijadikan satu dimasukkan ke gentong yang sudah bercampur dengan air. Bunga yang sudah dicampur air tadi dibagi-bagikan kepada seluruh pengunjung dengan cara sirat-siratan atau mengguyurkannya dari atas. Prosesi ini mirip dengan Jamasan Gong Kiai Pradah di Alun-alun Lodoyo.
Bagi orang yang percaya, air bekas siraman wayang Kiai Bonto dapat menyembuhkan penyakit, mendatangkan rezeki, bikin awet muda, dan segera mendapatkan jodoh bagi yang masih bujangan. Ada pula masyarakat yang percaya air bekas siraman wayang Kiai Bonto dapat menyuburkan tanaman serta mencegah tanaman dari penyakit atau hama.
Wayang Mbah Bonto yang dikeramatkan masyarakat Blitar Selatan saat ini disimpan di rumah Musiman, seorang kamituwo dongkol (mantan perangkat desa). Wayang keramat tersebut disimpan dalam sebuah kotak kayu.Wayang Mbah Bonto sepintas terlihat seperti Semar, tokoh punakawan dalam dunia pewayangan. Dua wayang lainnya berbentuk seperti Buto dan Pragata.
Masih menurut cerita lisan yang berkembang di kalangan masyarakat setempat, wayang Kiai Bonto dalam waktu tertentu suka menjelma menjadi macan putih. Tidak sedikit penduduk di desa setempat yang melihat dan bertemu dengan macan putih jelmaan Kiai Bonto.
Berdasarkan penelusuran, wayang Kiai Bonto di Blitar Selatan ternyata ada keterkaitan dengan Gong Kiai Pradah di Lodoyo. Dua pusaka ini merupakan harta pusaka Kerajaan Mataram Islam yang dibawa Pangeran Prabu dari Kartasura.
Dikisahkan kala itu Pangeran Prabu berseteru dengan Pakubuwono I yang merupakan saudara tirinya. Pangeran Prabu ingin membunuh Pakubuwono I dan mengkudeta dari tahtanya. Saat Pakubuwono I dinobatkan sebagai raja, Pangeran Prabu ternyata sakit hati. Peristiwa ini mungkin terjadi pada tahun 1704, saat suksesi kekuasaan di Mataram dari Sunan Amangkurat III ke Sunan Pakubuwono I.
Pangeran Prabu dihakimi setelah tertangkap basah hendak melakukan kudeta. Pangeran Prabu menyesali perbuatannya dan meminta maaf kepada Pakubuwono I. Pangeran Prabu diampuni dan kemudian menyingkir ke Jawa Timur dan menetap di Lodoyo Kabupaten Blitar. Di tempat baru ini Pangeran Prabu bertapa hutan belantara dan kemudian menyebarkan syiar Agama Islam.
Dalam perjalananya ke Jawa Timur, Pangeran Prabu membawa pusaka Bendil Kiai Bicak dan seperangkat wayang krucil. Dalam perjalanannya yang panjang itu ia akhirnya tiba di hutan Lodoyo yang pada waktu itu sangat angker dan banyak dihuni binatang buas. Dalam perjalanan ini Pangeran Prabu ditemani istrinya Putri Wandansari dan abdi setianya Ki Amat Tariman.
“Selain pusaka Kiai Bicak, Pangeran Prabu juga membawa wayang krucil. Pusaka Kiai Bicak itu yang sekarang kita kenal dengan Gong Kiai Pradah. Sedangkan wayang krucil itu dikenal dengan nama Kiai Bonto,” jelas Kepala Dinas Pariwasata dan Kebudayaan Kabupaten Blitar, Suhendro Winarso.
Cerita lisan tentang gong keramat di Lodoyo dan wayang krucil di Kabupaten Blitar itu juga terdapat kemiripan dengan kisah dalam Babad Alit. Dalam Babad Alit, tokoh yang bernama Pangeran Prabu identik dengan tokoh Penggawa Suroloyo. Suroloyo konon adalah negeri mitos yang berada diatas awan. Nama Suroloyo itu kini dikenal sebagai nama puncak tertinggi di perbukitan Menoreh, namanya Puncak Suroloyo. Dalam mitos lainnya, Suroloyo identik dengan kerajaan terbesar di Jawa yang pernah ada, yaitu Kerajaan Mataram Islam.
Babad Alit mengisahkan, penggawa itu terusir dari Suroloyo dan dibuang ke daerah Jawa bagian timur. Daerah tujuan Penggawa Suroloyo itu adalah hutan lebat, angker dan dihuni binatang buas. Ia pergi dari Suroloyo dengan membawa sebuah bende (gong kecil) dan wayang kesayangannya. Kisah dari Babad Alit tersebut ada kemiripan dengan cerita lisan yang berkembang di Blitar. Di Blitar, Pangeran Prabu membawa serta wayang krucil yang saat ini dirawat dengan baik di Blitar Selatan. Sama seperti gong peninggaalannya, wayang krucil tersebut juga dijamas dan dikeramatkan masyarakat.
Masih menurut Babad Alit, di hutan angker itu Penggawa Suroloyo tinggal dibawah pohon elo yang doyong. Setelah berhasil dibabat, hutan di Jawa Timur itu kemudian diberi nama Lodoyo (elo-dhoyong). Penggawa Suroloyo juga memiliki kesaktian, diantaranya ajian dan mantra yang membuat manusia bisa menjelma menjadi harimau. Kisah ini juga terdapat kesamaan dengan cerita lisan di Blitar. Di Blitar, diceritakan pada zaman dahulu ada orang Lodoyo yang bisa merubah diri menjadi harimau dan disebut dengan istilah macan malihan.
Simbol harimau juga ditemukan di Makam Pangeran Prabu yang lokasinya berada di pinggiran Sungai Lodoyo dan tak jauh dari Alun-alun. Tepat di depan pintu makam Pangeran Prabu terdapat dua patung harimau yang ukurannya cukup besar. Patung harimau itu mungkin itu adalah simbol dari macan malihan.