JATIMTIMES- Alas Mentaok yang baru seumur jagung dibabat itu tak butuh waktu lama menjadi sebuah desa yang ramai. Desa yang lambat laun semakin besar itu kemudian menjadi sebuah desa bernama Mataram dengan ibukotanya di Kotagede.
Ki Gedhe Mataram (Ki Ageng Pamanahan) adalah tokoh yang jadi “wali kota” pertama Kotagede di bawah kekuasaan Kesultanan Pajang.
Baca Juga : Ternyata Ada Punden Keramat di Tengah Lapangan Golf Ciputra Surabaya
Mentaok adalah hutan yang menjadi cikal bakal Kerajaan Mataram Islam. Lokasi hutan Mentaok membentang dari timur laut hingga tenggara Kota Yogyakarta saat ini, diperkirakan mulai dari daerah Purwomartani di Sleman, daerah Banguntapan di Bantul, hingga Kotagede di Kota Yogyakarta.
Pada zaman dahulu, hutan Mentaok merupakan wilayah bekas Kerajaan Mataram Kuno, kerajaan beragama Hindu-Buddha yang menguasai wilayah Jawa Tengah bagian selatan pada abad 8 hingga abad 10.
Kerajaan Mataram Kuno merupakan sebuah kerajaan agraris yang berkembang melakukan perdagangan di sekitar aliran Sungai Bengawan Solo. Kerajaan Mataram Kuno atau dikenal dengan Bhumi Mataram berdiri pada abad ke-8 sampai abad ke-11. Raja pertama Kerajaan Mataram Kuno adalah Raja Sanjaya dari Wangsa Sanjaya.
Pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno kemudian dikenal terbagi menjadi dua dinasti atau wangsa yaitu Wangsa Sanjaya yang bercorak Hindu dan Wangsa Syailendra yang bercorak Buddha. Kedua wangsa kemudian disatukan dengan berlangsungnya pernikahan antara Rakai Pikatan dengan Pramodawardhani.
Kemunduran Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah kemudian membuat Mpu Sindok memindahkan pusat pemerintahannya ke Jawa timur pada tahun 928. Selain kemunduran, alasan perpindahan ini diduga akibat letusan Gunung Merapi dan mendapat serangan dari Kerajaan Sriwijaya.
Kerajaan Mataram Kuno memiliki beberapa peninggalan. Diantaranya Candi Gedong Songo, Candi Borobudur, Candi Mendut, Candi Plaosan, Candi Prambanan, dan Candi Sambisari. Ada juga peninggalan berupa karya sastra diantaranya Kitab Arjunawiwaha yang ditulis Mpu Kanwa, serta Kitab Bharatayudha, Hariwangsa, dan Gatotkacasraya yang ditulis Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Sumber sejarah Kerajaan Mataram Kuno antara lain Prasasti Canggal, Prasasti Kalasan, Prasasti Balitung dan Prasasti Klurak.
Di Jawa Timur, Kerajaan Mataram Kuno berganti nama menjadi Kerajaan Medang Kamulan. Adapun letak tepat dari Kerajaan Medang Kamulan berada di sekitar muara Sungai Brantas yang dengan Ibu Kota Wutan Mas.
Lokasi Medang Kamulan termasuk Nganjuk sebelah barat, Pasuruan timur, Surabaya utara, dan Malang selatan. Mpu Sindok menjadi raja pertama Medang Kamulan dengan memerintah selama 20 tahun mulai 929 M – 949 M.
Keberadaan Kerajaan Medang Kamulan di Jawa Timur dibuktikan dengan adanya sejumlah prasasti yang ditemukan di Jawa Timur. Dua di antaranya adalah prasasti Paradah dan Anjuk Ladang yang disebut sebagai peninggalan dari Medang Kamulan yang menunjukkan letak ibu kota kerajaan Medang Kamulan.
Kerajaan Medang Kamulan hancur setelah Raja Airlangga sebagai penguasa terakhir pada 1045 membagi kerajaan kepada lima anaknya. Dari lima kerajaan itu, hanya ada dua saja yang dapat dilacak jejaknya saat ini, yaitu Jenggala dan Panjalu.
Kedua kerajaan ini saling berperang. Panjalu berhasil mengalahkan Jenggala. Di kemudian hari Panjalu lebih dikenal dengan nama Kerajaan Kediri. Letak Kerajaan Kediri berada di selatan Sungai Brantas di Jawa Timur.
Kita kembali ke pembahasan Alas Mentaok. Setelah Kerajaan Mataram Kuno memindahkan pusat kerajaannya ke Jawa Timur, akhirnya wilayah pusat kerajaan yang lama menjadi hutan dan disebut Alas Mentaok.
Nama Mataram inilah yang kemudian dipakai oleh Ki Ageng Pamanahan. Ia menamakan Alas Mentaok yang dibabatnya dengan nama Desa Mataram. Nama ini juga yang kemudian dipakai Panembahan Senopati untuk kerajaan yang ia pimpin yaitu Kerajaan Mataram Islam atau Kesultanan Mataram.
Sejarah yang diceritakan secara umum, Ki Ageng Pamanahan dan Danang Sutawijaya membantu Raja Pajang Sultan Hadiwijaya (Joko Tingkir) membunuh Arya Penangsang. Pembunuhan Penangsang ini kemungkinan terjadi pada 1558. Atas keberhasilan ini, Sultan Hadiwijaya kemudian menghadiahkan hutan mentaok (sekarang Kotagede Yogyakarta) kepada Pamanahan.
Sebelum mendapatkan hadian Alas Mentaok, Pamanahan hanyalah seorang prajurit di Kesultanan Pajang. Pamanahan juga seorang petapa dan ia konon mengetahui apa yang pernah diramalkan oleh Sunan Giri Prapen, yakni bahwa kelak di Mataram akan muncul raja-raja besar yang berkuasa atas seluruh tanah Jawa. Pamanahan berharap bahwa keturunannyalah yang akan menjadi raja-raja itu.
Sumber lain menyebutkan, Sunan Giri Prapen pernah meramalkan dan memberitahu kepada Ki Ageng Pamanahan, bakal ada kerajaan besar yang dipimpin oleh anak turunnya. Rupayanya ramalan ini coba ditularkan oleh Pamanahan kepada para anaknya itu. Pamanahan meyakinkan anak turunnya kelak akan menjadi raja-raja besar di Jawa. Hal ini membuat doktrin sang ayah menancap di hati Danang Sutawijaya dengan merancang Kerajaan Mataram sebagai kerajaan dengan dirinya sebagai raja pertamanya. Pesan ini akhirnya mendorong Danang Sutawijaya begitu bersemangat untuk mewujudkan impiannya membangun Mataram sebagai sebuah kerajaan besar.
Dari garis silsilah, Ki Ageng Pamanahan adalah putra dari Ki Ageng Henis, ulama Pajang yang mendirikan masjid tertua Kota Solo di Laweyan. Ki Ageng Henis adalah putra Ki Ageng Selo, tokoh spiritual dari Sela yang hidup di masa Kerajaan Demak. Ki Ageng Selo dikenal dengan kesaktiannya sebagai tokoh yang mampu menaklukkan petir. Ki Ageng Selo menurut silsilah adalah cicit dari Brawijaya V, raja terakhir Majapahit. Jadi jelas, Mataram Islam adalah kerajaan penerus dari Kerajaan Majapahit yang telah runtuh.
Baca Juga : Cak Imin: Kalau Ingin Perubahan, AMIN Harus Menang
Mataram yang awalnya sebuah hutan berkembang pesat menjadi kota dibawah kepemimpinan Ki Ageng Pamanahan. Babad Tanah Djawi mengisahkan, pada zaman itu tanah yang subur membuat rakyat Mataram hidup makmur dengan panen berlimpah-limpah. Air sumur juga tampak bersih dan jernih dan perdagangan berkembang dengan pesat. Banyak orang-orang dari banyak daerah datang dan menetap di Mataram.
Setelah Mataram dari desa berubah menjadi kadipaten dibawah Kesultanan Pajang, Ki Ageng Pamanahan kemudian berganti nama menjadi Ki Gede Mataram. Tidak ada kesulitan yang dialami rakyat Mataram saat itu. Mataram telah menjadi sebuah kota kadipaten yang maju, ramai dan benar-benar memberikan kedamaian dengan arus perubahan sosial yang cepat. Kedamaian Mataram saat itu mungkin seperti yang kita lihat dan rasakan di Daerah Istimewa Yogyakarta saat ini.
Serat Kandha mengabarkan, Ki Ageng Pamanahan mendapatkan piagam kedudukan dari Raja Pajang Sultan Hadiwijaya. Dengan piagam ini, rakyat Mataram mengakui Pamanahan sebagai pemimpin mereka secara legitimasi. Pamanahan kemudian melakukan serangkaian pembangunan. Ia membangun rumah kediamannya dan jalan-jalan ditanami dengan pohon dan buah-buahan.
Ki Ageng Pamanahan kemungkinan memimpin Mataram selama enam tahun. Beberapa laporan menyatakan ia meninggal pada 1584. Hitungan ini karena 1578 adalah tahun berdirinya Keraton Mataram.
Setelah rakyat Mataram mencapai kemakmuran luar biasa dan hidup makmur dengan murah sandang pangan, tak lama kemudian, Ki Ageng Pamanahan meninggal dunia dan dimakamkan di barat Masjid Gedhe Mataram di Kotagede. Makam Ki Ageng Pamanahan itu hingga kini masih ada dan jadi makam keramat yang paling banyak diziarahi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Pamanahan meninggal dunia karena sakit tua. Sebelum wafat, ia berwasiat menyerahkan kepemimpinan Desa Mataram kepada putranya Danang Sutawijaya. Ia menyerahkan segala urusan suksesi kekuasaan kepada Ki Juru Martani.
Satu hari setelah wafatnya Ki Gede Mataram, Ki Juru Martani pergi menghadap Raja Pajang Sultan Hadiwijaya (Joko Tingkir) bersama seluruh keluarga dari Mataram. Ki Juru Martani dan rombongan menunggu Sultan Pajang di bawah pohon beringin kurung yang berada di Alun-alun Pajang. Melihat abdinya datang menunggu, Sultan Pajang memanggil dan kemudian Ki Juru Martani menyampaikan berita duka wafatnya Ki Gede Mataram.
Setelah menerima laporan dari Ki Juru Martani, Sultan Hadiwijaya kemudian menunjuk Danang Sutawijaya sebagai petinggi kerajaan dan pemimpin baru Desa Mataram. Sebagai pemimpin dan petinggi baru di Mataram, Danang Sutawijaya mendapatkan gelar baru yaitu Senapati Ing Alaga Sayidin Panatagama. Di masa awal berkuasa ini, Senopati (Danang Sutawijaya) belum memakai gelar panembahan. Gelar panembahan digunakan setelah Senopati sebagai raja Mataram Islam yang pertama berhasil menguasai Pajang beberapa tahun setelah pengangkatan ini.
Sebagai penguasa baru di bawah kekuasaan Pajang, Senopati mendapatkan keistimewaan. Diantaranya ia tak perlu menghadap Sultan di Istana Pajang di tahun pertama berkuasa. Di tahun pertama ini ia diberikan keleluasaan untuk menggunakan waktunya dengan bersenang-senang dan membangun daerah kekuasaanya agar semakin maju dan besar.
Seperti yang sudah diramalkan Sunan Giri Prapen, bahwa akan muncul raja –raja besar di Jawa benar-benar menjadi sebuah kenyataan. Raja besar pertama itu adalah Panembahan Senopati, raja pertama Mataram Islam. Dengan ambisi dan kecerdikannya, Senopati berhasil membawa Mataram yang mulanya hanya sebuah kadipaten dibawah Pajang menjadi kerajaan yang perlahan-lahan semakin besar dan menguasai Jawa. Mataram kemudian memberontak dan melepaskan diri dari Pajang dan mendeklarasikan diri menjadi kerajaan baru di Jawa yaitu Kerajaan Mataram Islam.
Mataram Islam semakin besar dan berkembang setelah wafatnya Joko Tingkir. Menariknya, Kerajaan Pajang yang tidak stabil akibat perang saudara akhirnya berhasil dikuasai setelah serangan yang dilakukan Senopati. Senopati menyerang Pajang bersama Pangeran Benowo (putra Sultan Hadiwijaya/Joko Tingkir). Benowo kemudian mendeklarasikan diri menjadi Sultan Pajang berikutnya.
Beberapa hari setelah pengangkatan Benowo menjadi sultan, Senopati pulang ke Mataram dan diangkat oleh rakyatnya sebagai Panembahan. Panembahan merupakan gelar bangsawan ningrat jawa yang artinya orang yang disembah atau sebagai junjungan (bahasa Melayu: Yang Dipertuan), berasal dari kata manembah artinya menyembah. Umumnya gelar Panembahan levelnya berada di bawah gelar Sultan (Raja Besar) dan berada diatas Pangeran.
Hanya setahun berkuasa, Benowo memilih turun tahta dan menyerahkan Negara Pajang kepada Panembahan Senopati. Pajang akhirnya sah menjadi bawahan Mataram. Benowo kemudian pergi meninggalkan Pajang dan berkeliling Jawa menyebarkan Agama Islam. Senopati merasa sangat sedih namun ia terus menjalankan ambisinya menguasai seluruh Jawa dengan serangkaian ekspedisi penaklukan. Senopati akhirnya berhasil menyatukan wilayah-wilayah yang melepaskan diri dari Kerajaan Pajang.
Di bawah kepemimpinan Panembahan Senopati, desa-desa tumbuh menjadi kota yang makmur dan ramai. Tidak butuh waktu lama, banyak kerajaan-kerajaan di Jawa yang takluk dan bergabung dengan Mataram Islam. Kerajaan-kerajaan itu antara lain, antara lain Kedu, Bagelen, Pajang, dan Mangiran, kemudian sebagian wilayah bang Wetan yaitu Blora, Madiun, Pasuruan, Ponorogo serta sebagian wilayah Utara Jawa yaitu Jepara, Demak, dan Pati. Mataram Islam terus berkembang menjadi Negara yang besar. Ramalan Sunan Giri Prapen terbukti benar.