free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Serba Serbi

Mengintip Hubungan Dekat Pangeran Sambernyawa dan Raden Mas Garendi di Geger Pecinan

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Yunan Helmy

17 - Sep - 2023, 02:23

Placeholder
Ilustrasi peristiwa Geger Pecinan (1740-1743).

JATIMTIMES - Nama Raden Mas Said dikenang dalam sejarah setelah ia bergabung dengan Pangeran Mangkubumi. Koalisi dua bangsawan Mataram ini benar-benar membuat pasukan gabungan Keraton Surakarta dan Belanda keteteran. 

Selama 16 tahun, Raden Mas Said terlibat dalam 250 pertempuran melawan pasukan gabungan Keraton Surakarta dan Belanda.

Baca Juga : Nasi Goreng, Tempe Orek hingga Capcai Jadi Hidangan Tumis Terbaik Dunia versi TasteAtlas 

Raden Mas Said adalah pangeran pemberontak. Ia sangat mahir strategi perang dan sulit dikalahkan meskipun tubuhnya pendek. Said kemudian lebih sering dipanggil Pangeran Sambernyawa,  julukan yang diberikan Belanda karena ia dianggap sebagai penebar maut (penyambar nyawa) bagi siapa saja musuhnya pada setiap pertempuran.

Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa merupakan Jawa ningrat yang dendam kepada Mataram karena konflik kerajaan. Ayah Said, yakni Pangeran Arya Mangkunegara (putra Amangkurat IV), dibuang VOC ke Srilanka akibat konflik kekuasaan.

Perang panjang antara Mangkubumi-Raden Mas Said dengan Surakarta-Belanda ini berakhir dengan Perjanjian Giyanti 1755 yang membagi Kerajaan Mataram menjadi dua, yakni Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Mangkubumi mendapat wilayah Yogyakarta dan menjadi penguasa pertama dengan gelar Sultan Hamengkubuwono I.

Namun tak banyak yang tahu, sebelum mengibarkan Perang Suksesi Jawa III dan belum menyandang gelar Pangeran Sambernyawa, Raden Mas Said adalah salah satu bangsawan yang ikut terlibat dalam pemberontakan Geger Pecinan yang dipimpin Raden Mas Garendi. Raden Mas Said dan Raden Mas Garendi adalah bangsawan Mataram yang sama-sama memberontak tapi berbeda nasib.

Raden Mas Garendi atau Sunan Kuning adalah putra bungsu Pangeran Teposono. Cucu Amangkurat III ini lahir pada tahun 1726. Sejak kecil, kehidupan Garendi sudah diwarnai dengan politik berdarah. Selain kakeknya yang dibuang jauh ke Srilanka, ayahnya Pangeran Teposono dihukum mati Pakubuwono II karena dicurigai akan melakukan pemberontakan. Hukuman mati untuk Teposono ini jelasnya berlangsung sebelum tahun 1740.

Setelah ayahnya meninggal dunia dan dimakamkan di Setono Gedong Kediri, paman Raden Mas Garendi yaitu Wiramenggala menyelamatkan keponakannya dan melarikan diri meninggalkan istana Mataram di Kartasura.  Garendi lalu memimpin pemberontakan Geger Pecinan (1740-1743) dengan pasukan gabungan Laskar Jawa-Tionghoa. 

Garendi dalam perlawanan ini sempat melengserkan tahta Pakubuwono II. Ia naik tahta dengan gelar Amangkurat V namun berhasil dilengserkan VOC enam bulan kemudian. Pemberontakan ini gagal dan Raden Mas Said jadi salah satu komandan perangnya.

Kiprah Raden Mas Said di Geger Pecinan hampir tidak pernah disebut meskipun ia adalah komandan perang dari kelompok Jawa. Di Geger Pecinan, Raden Mas Said berperang bersama-sama  para komandan perang Geger Pecinan keturunan Tionghoa seperti Kapitan Sepanjang dan Singseh. Raden Mas Said di tahun 1740 berumur 14 tahun dan memiliki 50 rumah tangga sebagai tanah lungguhnya (sumber penghasilan). 

Pangeran Mangkubumi tidak terlibat di Geger Pecinan. Saat peristiwa ini meletus, ia kabur dan berlindung ke Semarang.

Saat Geger Pecinan, Raden Mas Said kemungkinan selalu ada di mana pun Raden Mas Garendi berada. Saat pasukan gabungan  Jawa-Tionghoa berhasil menghancurkan dan mengambil istana Kartasura pada 30 Juni 1742, Said ikut serta di dalamnya. Said juga jadi salah satu pengeran yang ada di Kartasura saat Garendi dinobatkan sebagai Amangkurat V. Saat Garendi menguasai istana, Said menulis surat kepada VOC dan mengabarkan bahwa raja yang mengasingkan ayahnya, yaitu Pakubuwono II, telah diusir dan terkudeta tahtanya.

Salah satu pertempuran Raden Mas Said dalam peristiwa Geger Pecinan adalah peperangan di dekat Tembayat pada 14 Juni 1743. Dilaporkan Said waktu itu berada di antara 300 orang pasukan yang dipimpin  Raden Pengulu, salah seorang pemimpin agama di Tembayat. VOC bersama pasukan dari Ternate berhasil membubarkan pasukan Geger Pecinan yang dipimpin Pengulu. Said kemudian lari ke arah timur. Menurut sebuah sumber, Said lari ke Laroh, desa tempat kelahiran Kudanawarsa.

Di Geger Pecinan, Raden Mas Said juga terlibat dalam pertempuran bersama Kapitan Sepanjang  dan Singseh. Pada 24 Agustus 1742, Said dan Singseh berada di Welahan bersama 600 Laskar Tionghoa. Mereka ingin menghadang serbuan VOC ke Tanjung yang berada di daerah Kudus. Dalam pertempuran ini Said bertindak sebagai komandan perang bersama Singseh dan Kapitan Sepanjang.

Masih di Geger Pecinan,  beberapa bulan kemudian pada 20 Desember 1742, Sunan Kuning dan 900 pasukannya sedang mempersiapkan posisi pertahanan di Randhaluwang di Kali Opak sebelah selatan Candi Prambanan.  Sunan Kuning dan pasukannya bertahan untuk menahan serangan Raden Tumenggung Pringgalaya dengan pasukan besar dari Makassar, Mandar dan Ternate.

Raden  Mas Said akhirnya berpisah dengan Singseh dan Kapitan Sepanjang setelah serangan besar VOC pada 3 Juni 1743. Pasukan VOC berkekuatan 1.000 orang dengan di antaranya 223 tentara Eropa berhasil menerjang pertahanan Kapitan Sepanjang dan Said di Randhulawang.  

Said bersama Kapitan Sepanjang dan pasukannya kocar-kacir dan melarikan diri menuju Nguteran, Madiun dan Keduwang di selatan Gunung Lawu. Said juga akhirnya berpisah dengan Garendi setelah situasi menjadi sulit bagi kelompok pemberontak Jawa-Tionghoa.

Di beberapa catatan juga dilaporkan, Garendi yang bergelar Amangkurat V bermaksud menggempur pasukan Belanda di Semarang. Ia mengirim 1.200 prajurit gabungan etnis Jawa dan Tionghoa di bawah pimpinan Raden Mas Said dan Singseh (Tan Sin Ko). 

Baca Juga : Sekolah di China Patok Tarif Biaya untuk Tidur Siang di Jam Istirahat, Segini Harganya

Pada 26 November 1742, Pakubuwono II dibantu Cakraningrat IV dari Madura menyerang Amangkurat V di Istana Kartasura dari arah Bengawan Solo, sementara pasukan Belanda dari arah Ungaran dan Salatiga. Pakubuwono II berhasil merebut kembali Karaton Kartasura dan memaksa Amangkurat V meninggalkan istana Mataram dan mengungsi ke selatan bersama pasukannya.

Perjuangan yang berakhir antiklimaks. Amangkurat V kemudian lari dan kabar dari Belanda menyebutkan tertangkap di Surabaya pada bulan Desember 1743 setelah terpisah dari rombongannya. 

Setelahnya, Amangkurat V atau Raden Mas Garendi dibawa ke Semarang, lalu ke Batavia dan akhirnya dibuang ke Ceylon atau Sri Lanka. Tidak ada yang tahu kapan Raden Mas Garendi wafat. Catatan Belanda menyatakan Garendi wafat saat pembuangan di Srilanka.

Gagalnya Geger Pecinan tidak menyurutkan mental dan semangat Raden Mas Said. Ia bersemedi, menepi sejenak dan kemudian kembali melanjutkan perlawanannya melawan Keraton Surakarta dan VOC. Bayang-bayang ayahnya yang diasingkan dan wafat di negeri seberang terus membayanginya pikirannya dan jadi dendam membara yang memberikan semangat. Ia kemudian bergabung dengan pamannya, yaitu Pangeran Mangkubumi, bergabung dengannya pada 1746 yang mendirikan kedathon di Wonogiri. Kedua tokoh ini kemudian mengibarkan Perang Suksesi Jawa III hingga Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755. Di perang inilah Raden Mas Said pada akhirnya mendapat julukan Pangeran Sambernyawa.

Perjanjian Giyanti tidak menyelesaikan masalah karena Sambernyawa tidak puas dengan pembagian wilayah.  Ia pun memilih untuk tetap berperang dengan lawannya yang kini ada tiga, yakni Keraton Surakarta, Keraton Yogyakarta, dan Belanda. Sambernyawa resmi mengakhiri pertempurannya dalam Perjanjian Salatiga pada 1757. Perjanjian terebut berisi VOC dan Pakubuwono III dan mengangkat Sambernyawa sebagai adipati Mangkunegaran dan memberinya status pangeran merdeka dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Arya Adipati Mangkunegara I.

Adapun wilayah kekuasaan Kadipaten Mangkunegaran adalah Kedaung, Matesih, Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Pajang sebelah utara dan Kedu. Saat ini Kadipaten Mangkunegaran masih ada, tapi sudah tidak lagi memiliki kekuasaan atas rakyatnya. Tugas dan fungsi dari Kadipaten Mangkunegaran saat ini adalah merawat dan menjaga kebudayaan Jawa.

Kesimpulan dari tulisan ini adalah, ada dua pangeran Mataram yang sama-sama bernasib pilu di masa kecilnya, yaitu Raden Mas Garendi dan Raden Mas Said. Keduanya sama-sama mewarisi dendam dan kemudian memberontak dengan harapan ingin memperbaiki nasibnya. Garendi sempat bernasib baik karena menjadi raja, namun enam bulan kemudian dilengserkan, tertangkap dan dikabarkan mati tragis di pengasingan. Sedangkan Raden  Mas Said, meskipun perjuangannya tidak sampai mengantarnya menjadi raja, Mangkunegaran yang  ia dirikan atas hadiah dari suksesnya pemberontakan di kemudian hari berkembang menjadi kerajaan kecil tapi paling modern dan berpengaruh di Jawa.

Kadipaten Mangkunegaran sejak era kekuasaan Mangkunegara I (Pangeran Sambernyawa) mengambil kebijakan yang cukup berani. Mangkunegaran menjalin kerja sama dengan para pengusaha dari Eropa untuk menanam berbagai tanaman yang bisa menghasilkan keuntungan. 

Kebijakan ini pada akhirnya membuat Jawa pada waktu itu menjadi surga bagi Hindia Belanda. Berbagai jenis tanaman diproduksi di Jawa yang membuat bangsa penjajah menjadi kaya-raya. Mangkunegara IV adalah tokoh pembaharu kebijakan ini. Ia membuat sistem baru manajemen perkebunan dengan pola yang lebih modern dan menguntungkan penguasa pribumi.

Dengan kepintarannya, Mangkunegara IV membawa Mangkunegaran tampil sebagai kekuatan baru di bidang ekonomi. Ia mendirikan Pabrik Gula Colomadu dan Tasikmadu. Pabrik Gula Colomadu didirikan pada tahun 1861 di Malang Jiwan yang terletak di sebelah barat Mangkunegaran. Sedangkan Pabrik Gula Tasikmadu didirikan pada tahun 1871 di sebelah timur Mangkunegaran, yakni di Kabupaten Karanganyar. 

Dalam menjalankan pabrik ini, Mangkunegara IV menerapkan pola manajemen ala Eropa. Pola yang sama juga diterapkan Mangkunegara IV untuk perkebunan kopi dan tanah-tanah yang dikuasainya.

Pabrik dan perkebunan milik Mangkunegaran benar-benar maju pesat dan berkembang menjadi perusahaan paling modern di Jawa pada waktu itu. Menariknya lagi, Mangkunegara IV selain memperkerjakan warga lokal juga memperkerjakan manajer non-Jawa. Perusahaan-perusahaan milik Mangkunegaran benar-benar jadi perusahaan profesional setelah Mangkunegara IV perlahan-lahan menggantikan sistem apanese yang tradisional dengan sistem gaji. Dampak dari sistem manajemen ini benar-benar luar biasa, para pekerja hidup makmur dan produksi gula serta kopi dari Mangkunegaran berhasil menembus pasar Eropa dan internasional. Mangkunegaran pun berjaya dan kaya raya.

Di bawah kepemimpinan Mangkunegara IV, Kadipaten Mangkunegaran menjadi Negara kecil yang komplet dan paling modern di Jawa. Dikatakan komplet karena selain berdaya di bidang ekonomi, Mangkunegaran juga memiliki pasukan elit Legiun Mangkunegaran. Di masa itu, Legiun Mangkunegaran adalah pasukan tempur paling kuat di Asia Tenggara pada zaman keemasannya.

 


Topik

Serba Serbi Sejarah Mataram Kerajaan Mataram Keraton Surakarta Keraton Yogyakarta



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Yunan Helmy