JATIMTIMES - Pemandangan yang tidak biasa terjadi di Gunung Fuji, puncak tertinggi di Jepang.
Terdapat kemacetan lalu lintas manusia, banyak sampah di lereng gunung, dan pendaki yang tidak mengenakan pakaian yang sesuai dengan aturan pendakian. Bahkan ada yang mencoba mendaki dengan sandal.
Baca Juga : Sambut 1.000 Mahasiswa Baru, Unisba Blitar Gelar PKKMB
Melansir laporan CNN International, seorang ranger berpengalaman yang telah bertugas di Gunung Fuji selama tujuh tahun terakhir mengaku kerap menyaksikan kemacetan lalu lintas manusia di Gunung Fuji.
Menurut Sakurai, saat ini jumlah orang yang mendaki Gunung Fuji sangat banyak, bahkan lebih banyak daripada tahun-tahun sebelumnya.
Masalah ini muncul setelah Gunung Fuji ditambahkan ke dalam daftar situs Warisan Dunia UNESCO pada tahun 2013.
Sejatinya, organisasi penasihat UNESCO, International Council on Monuments and Sites (ICOMOS), telah meminta pejabat gunung Fuji untuk mengelola jumlah pengunjung.
Namun, jumlah pengunjung meningkat lebih dari dua kali lipat. Sebelumnya pada 2012 pengunjung hanya dua juta menjadi lima juta pengunjung pada 2015.
Hal inilah yang membuat Gunung Fuji sebagai salah satu pendakian paling populer kelima di dunia.
Pemerintah Prefektur Yamanashi menerangkan jika sejak dimulainya musim pendakian tahun 2023 pada bulan Juli, sekitar 65.000 pendaki telah mencapai puncak. Jumlah tersebut meningkat 17 persen dari tahun 2019.
Pejabat Prefektur Yamanashi menyebut ledakan pariwisata pasca-Covid telah membawa ribuan orang tambahan ke Gunung Fuji, yang terletak di prefektur Yamanashi dan Shizuoka di Jepang.
Apalagi, dengan adanya peringatan 10 tahun penobatan Gunung Fuji sebagai Warisan Dunia UNESCO pada tahun 2023, pihak pemerintah khawatir situasi lingkungan di gunung tersebut mencapai "titik kritis".
Masatake Izumi, seorang pejabat pemerintah prefektur Yamanashi yang juga seorang pakar tentang Gunung Fuji, menyatakan bahwa "overtourism" adalah masalah terbesar yang dihadapi Gunung Fuji. Overtourism sendiri mencakup beberapa masalah, seperti peningkatan sampah, emisi CO2 yang tinggi, dan perilaku sembrono oleh pendaki.
Yasuyoshi Okada, presiden ICOMOS Jepang, mengatakan bahwa untuk menjaga keagungan Gunung Fuji sebagai Warisan Dunia dan melindungi nilainya, perlu mengatasi masalah "overtourism."
Dari sepuluh stasiun pendakian di Gunung Fuji, stasiun kelima (dikenal sebagai "Gogome") berada di tengah-tengah gunung yang tingginya mencapai 3.776 meter. Stasiun ini menerima 90% dari total pengunjung gunung, dan sebagian besar dari mereka menggunakan bus, taksi, dan mobil listrik untuk mencapai stasiun ini.
Stasiun ini dibangun hampir 60 tahun yang lalu selama periode motorisasi di Jepang, dan memberikan akses langsung kepada pengunjung ke titik tengah Gunung Fuji. Ini memungkinkan orang-orang di seluruh negeri untuk merasakan keindahan Gunung Fuji.
Baca Juga : Terbukti Gunakan Zat Terlarang, Paul Pogba Juventus Diberhentikan Sementara
Saat ini, ketika pendaki menuju stasiun kelima melalui jalur ini, mereka akan mendengar sebuah lagu rakyat yang diputar sejenak, saat kendaraan mereka melewati sebuah sensor di jalan. Lagu tersebut ditulis oleh Sazanami Iwaya pada tahun 1911, sebagai lagu untuk merayakan Gunung Fuji sebagai tujuan wisata yang populer dan memuji kebesaran gunung tersebut.
Namun, lirik-lirik lagu itu berbeda jauh dengan kenyataan di lapangan. Menurut para ahli, pengalaman mendaki Gunung Fuji semakin menurun karena kerumunan pendaki.
Izumi, pejabat dari Yamanashi, menjelaskan bahwa saat ini pengunjung tidak dapat lagi membawa mobil pribadi hingga stasiun kelima kecuali kendaraannya listrik. Hal ini menyebabkan adanya peningkatan jumlah bus yang mengangkut pengunjung kelompok besar ke stasiun tersebut. Selain itu, jumlah pendaki yang banyak juga memberikan tekanan pada fasilitas toilet dqn pos medis yang terbatas di gunung.
Menurut Tomoyo Takahashi, karyawan dana konservasi Gunung Fuji meminta pendaki untuk menyumbang 1.000 yen ($7) untuk menjaga kebersihan gunung tersebut. Dia menggambarkan suasana di Gunung Fuji seperti "Disneyland", karena terlalu banyak orang. Ia juga mengusulkan agar ada biaya masuk wajib yang jauh lebih tinggi, untuk memastikan hanya pengunjung yang benar-benar menghargai warisan Gunung Fuji yang datang.
Pengalaman pendakian di Gunung Fuji juga semakin menurun, terutama bagi pendaki yang lebih berpengalaman. Kiyotatsu Yamamoto, seorang spesialis taman nasional dan Gunung Fuji di Universitas Tokyo, mengatakan bahwa kemacetan dan kerumunan pendaki di jalur gunung merupakan sumber ketidakpuasan utama bagi para pendaki. Hal ini disebabkan oleh pendaki yang ingin menyaksikan matahari terbit yang berkumpul di dekat puncak. Sehingga memerlukan waktu empat jam untuk mendaki, yang sebelumnya bisa ditempuh dalam dua jam.
Selama beberapa tahun terakhir, telah diambil langkah-langkah untuk melindungi Gunung Fuji. Misalnya, sukarelawan dari Fujisan Club, sebuah organisasi nirlaba yang berkomitmen untuk menjaga kelestarian Gunung Fuji. Selain itu, ada juga kegiatan pembersihan di lereng gunung, dengan partisipasi 74.215 orang yang berhasil mengumpulkan 850 ton sampah antara tahun 2004 dan 2018.
Tahun lalu, kelompok ini bahkan mulai melakukan patroli sampah dengan sepeda listrik yang dilengkapi kamera untuk mengumpulkan data GPS dan membuat peta yang mengidentifikasi jenis dan jumlah sampah di area tersebut. Upaya ini adalah yang pertama di dunia dalam melakukan patroli sampah menggunakan teknologi sepeda listrik dan kecerdasan buatan.
Untuk meningkatkan pengalaman pengunjung, pejabat membatasi jumlah pendaki hingga 4.000 per hari untuk jalur Yoshida yang populer. Namun, dalam praktiknya, hal ini sulit diterapkan karena taman nasional dan situs Warisan Dunia di Jepang tidak memiliki gerbang yang dapat menghalangi pengunjung. Ini berarti untuk menerapkan pembatasan seperti itu, diperlukan undang-undang dan peraturan pemerintah daerah yang memakan waktu.
Yamamoto telah mengusulkan sistem, di mana hanya pengunjung yang telah memesan tempat parkir atau pendaki yang telah melakukan pemesanan di salah satu dari sembilan pondok yang mendapatkan izin untuk mendaki Gunung Fuji. Selain itu, Izumi berpendapat bahwa pemerintah daerah harus mengubah cara orang mengakses gunung tersebut secara fundamental.
Salah satu opsi yang dipertimbangkan adalah membangun sistem kereta ringan di atas jalan Fuji Subaru Line untuk mencegah mobil dan bus dari akses ke stasiun kelima. Izumi berpendapat bahwa pengendalian kerumunan akan menjadi lebih mudah ketika orang harus membeli tiket kereta, dan pemerintah daerah dapat menetapkan jadwal keberangkatan dan kedatangan.
Izumi juga mengusulkan ide untuk mengadakan kuliah di dalam kereta, di mana orang bisa belajar tentang Gunung Fuji dan cara mendaki dengan benar. Dalam situasi saat ini, Izumi merasa bahwa perlu segera mengatasi masalah "overtourism" di Gunung Fuji, daripada hanya menunggu perbaikan di masa depan.