free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Serba Serbi

Kisah Sahabat Nabi yang Memenggal Kepala Ayahnya

Penulis : Mutmainah J - Editor : Yunan Helmy

13 - Sep - 2023, 20:49

Placeholder
Ilustrasi sahabat nabi, Abu Ubaidah. (Foto dari internet)

JATIMTIMES - Sahabat Rasulullah ini memiliki nama lengkap Amir bin Abdullah bin Jarrah Al-Fihry Al-Quraiys, namun lebih dikenal dengan Abu Ubaidah bin Jarrah. Dia merupakan salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yang memiliki kisah menyentuh hati.

Dalam perjuangannya membela Islam, Abu Ubaidah harus tega membunuh ayah kandungnya sendiri. Lantas, bagaimana kisah Abu Ubaidah bisa membunuh ayah kandungnya?

Baca Juga : Apa Itu Rabu Wekasan dalam Hukum Islam?

Dilansir dari akun Tiktok @SAHABAT NABI, dalam kehidupannya sebagai Muslim, Abu Ubaidah mengalami masa penindasan yang kejam dari kaum Quraisy di Makkah sejak permulaan sampai akhir. Dia turut menderita bersama kaum Muslimin lainnya. Walau demikian, Abu Ubaidah tetap teguh menerima segala macam cobaan, tetap setia membela Rasulullah SAW dalam tiap situasi dan kondisi apa pun.

Diketahui, Abu Ubaidah merupakan kelompok pertama sahabat yang masuk Islam. Dia masuk Islam atas ajakan Abu Bakar Ash-Shiddiq, sehari setelah Abu Bakar masuk Islam. Waktu menemui Rasulullah SAW, Abu Ubaidah bersama-sama dengan Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Mazh'un, dan Arqam bin Abi Arqam untuk mengucapkan syahadat di hadapan beliau. Oleh sebab itu, mereka tercatat sebagai pilar pertama dalam pembangunan mahligai Islam yang agung dan indah.

Saat Perang Badar terjadi, Abu Ubaidah termasuk salah satu Muslim yang berada di barisan terdepan. Dia bertempur dengan gagah berani, tak bergeming oleh ancaman kematian yang nyata di depan mata. Oleh karenanya, banyak pasukan Quraisy yang takut berhadapan langsung dengan Abu Ubaidah, kecuali satu orang yang senantiasa membuntuti dan mengejarnya ke mana pun dia pergi. Orang itu satu-satunya yang Abu Ubaidah sendiri enggan berhadapan langsung dengannya. 

Namun kali itu, pertempuran dengan orang tersebut tak dapat dielakkan lagi.  Keduanya berhadapan satu sama lain dan saling menghunuskan pedang. 

Tak ada pilihan lain bagi Abu Ubaidah di tengah kecamuk perang yang dahsyat tersebut kecuali menuntaskan pertempuran itu. Maka ia melancarkan serangan telak dan mematikan tepat di kepala orang tersebut sehingga tubuhnya jatuh ke tanah dan dia pun meninggal saat itu juga.

Jangan tanya siapa orang yang Abu Ubaidah senantiasa enggan berhadapan dengannya itu. Sungguh, itu  pengalaman terberat yang pernah dialami seorang insan, bahkan hampir tak mungkin walaupun sekadar dibayangkan. Pria yang tersungkur mati itu tak lain adalah Abdullah bin Jarrah, ayah  Abu Ubaidah.

Sebagai seorang anak, tentu tidak pernah terbersit sedikit pun di kepala Abu Ubaidah untuk mengakhiri hidup ayah kandungnya. Tetapi, dalam sebuah perang kebenaran melawan kebatilan, pilihan yang ada baginya amatlah jelas meski tak mudah untuk dijalani. 

Pada hakikat kehidupan yang lebih dalam, Abu Ubaidah tidaklah sedang memerankan seorang anak yang membunuh ayahnya, melainkan sebuah representasi dari kebenaran yang harus menumpas habis benih-benih kekafiran yang ada dalam diri ayahnya.

Berkaitan dengan peristiwa ini  Allah SWT menurunkan sebuah ayat Al-Qur’an sebagai berikut: “Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Meraka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung. (Q.S. Al-Mujaadilah [58]: 22).

Baca Juga : Mengenal Wadi, Cara Pengawetan Ikan ala Suku Dayak dan Banjar yang Bisa Tahan hingga Setahun

Ayat di atas tidak menyebabkan Abu Ubaidah membusungkan dada. Bahkan menambah kokoh imannya kepada Allah dan ketulusannya terhadap agama. 

Orang yang mendapat gelar ‘kepercayaan umat Muhammad” ini ternyata menarik perhatian orang-orang besar, bagaikan besi berani menarik logam di sekitarnya. 

Muhammad bin Ja’far menceritakan, “Pada suatu ketika para utusan kaum Nasrani datang menghadap kepada Rasulullah. Kata mereka, “Ya, Aba Qasim! Kirimlah bersama kami seorang sahabat Anda yang Anda pandang cakap menjadi hakim tentang harta yang menyebabkan kami berselisih sesama kami. Kami senang menerima putusan yang ditetapkan kaum muslimin.” 

Jawab Rasulullah, ‘Datanglah nanti petang, saya akan mengirimkan bersama kalian “orang kuat yang terpercaya” 

Sesudah selesai salat Duhur, Rasulullah menengok ke kanan dan ke kiri. Saya agàk menonjolkan diri supaya Rasulullah melihat saya. Tetapi beliau tidak melihat lagi kepada kami. Setelah beliau melihat Abu Ubaidah bin Jarrah, beliau memanggil seraya berkata kepadanya, ‘Pergilah engkau bersama mereka. Adili dengan baik perkara yang mereka perselisihkan.” 

Maka pergilah Abu ‘Ubaidah dengan para utusan Nasrani tersebut, menyandang gelar “orang kuat yang terpercaya”.


Topik

Serba Serbi Abu Ubaidah kisah Sahabat Rasul kajian Islam



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Mutmainah J

Editor

Yunan Helmy