JATIMTIMES - Dengan sejarahnya yang panjang, Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat melahirkan banyak tokoh yang berjuang mengusir bangsa asing yang menjajah negeri ini. Perjuangan Kesultanan Yogyakarta telah dimulai oleh Sultan Hamengkubuwono I bersama-sama kompatriotnya, Raden Ronggo Prawirodirdjo I, mati-matian bertempur melawan VOC dalam Perang Giyanti yang berlangsung selama 8 tahun.
Perjuangan melawan bangsa asing itu kemudian dilanjutkan lagi oleh sejumlah penguasa dan bangsawan Keraton Yogyakarta. Sultan Hamengkubuwono II, Raden Ronggo Prawirodirdjo III, Pangeran Diponegoro, Sentot Alibasyah Abdul Mustopo Prawirodirdjo, dan terakhir Sultan Hamengkubuwono IX melanjutkan misi mengusir penjajah dari negeri ini . Nama terakhir, yaitu Sultan Hamengkubuwono IX, adalah penguasa Yogyakarta yang mendukung berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Baca Juga : Waketum Gerindra: Cawapres Prabowo Idealnya dari NU
Sultan Hamengkubuwono IX memiliki nama kecil Gusti Raden Mas Dorodjatun. Ia adalah penguasa kesembilan Kesultanan Yogyakarta yang dinobatkan sebagai Sultan Yogyakarta pada 18 Maret 1940. Penobatan ini setelah sebelumnya Dorodjatun melakukan perjanjian kontrak politik dengan proses yang cukup alot dan panjang dengan Gubernur Hindia Belanda di Yogyakarta Dr Lucien Adam.
Ada cerita menarik di balik penobatan Dorodjatun sebagai penguasa kesembilan Yogyakarta. Dikisahkan pada waktu itu Dorodjatun dikirimkan ayahnya, Sultan Hamengkubuwono VIII, menempuh pendidikan ke Belanda bersama beberapa saudaranya. Dorodjatun berhasil menyelesaikan Gymnasium dan kemudian melanjutkan pendidikan di Rijkuniversitet di Leiden. Di Rijkuniversitet ia mendalami ilmu hukum tata negara.
Dorodjatun juga dikenal aktif mengikuti klub debat yang dipimpin Profesor Schrieke. Pada masa pendidikan di Belanda ini pula Dorodjatun berkenalan dan kemudian menjadi sahabat karib Putri Juliana yang di kemudian hari menjadi Ratu Belanda.
Pada tahu 1939 peta politik dunia bergerak sangat dinamis. Tanda-tanda meletusnya Perang Dunia II semakin jelas. Di tahun-tahun ini, Dorodjatun yang tengah menempuh studi di Belanda mendadak dipanggil pulang oleh ayahnya, Sultan Hamengkubuwono VIII.
Dorodjatun akhirnya pulang ke Yogyakarta dan disambut oleh ayahnya. Dalam pertemuan itu, sultan kedelapan menyerahkan Keris Kyai Joko Piturun kepada Dorodjatun.
Kyai Joko Piturun sebenarnya adalah atribut bagi putra mahkota, sehingga yang mengenakan bisa dianggap sebagai calon penerus tahta. Seperti sebuah wasiat, selang beberapa ari kemudian Sultan Hamengkubuwono VIII wafat dan dimakamkan di makam raja-raja Mataram di Pajimatan Imogiri. Saat itu Dorodjatun masih muda, usianya baru 28 tahun.
Dorodjatun bersiap menuju singgasana, namun ternyata perjalanannya tidak semudah yang dibayangkan. Sejak Sultan Hamengkubuwono II lengser, Belanda leluasa campur tangan dalam urusan internal keraton. Campur tangan itu termasuk setiap calon raja baru di Kesultanan Yogyakarta wajib menandatangani kesepakatan terlebih dulu dengan Pemerintah Hindia Belanda. Dorodjatun menolak dengan kesepakatan yang ditawarkan Hindia Belanda.
Dorodjatun berdebat panjang dengan Gubernur Hindia Belanda Yogyakarta Dr Lucien Adam. Secara usia, Lucien Adam lebih senior. Usianya waktu itu 60 tahun.
Namun Dorodjatun tegas tidak mau mengalah karena beberapa hal. Di antaranya Dorodjatun tidak setuju jabatan patih merangkap pegawai kolonial. Ia berpandangan hal ini akan memunculkan konflik kepentingan.Dorodjatun juga tidak setuju, dewan penasihatnya ditentukan oleh Belanda. Ia juga menolak pasukan/prajurit keraton mendapat perintah langsung dari Belanda.
Empat bulan sudah Kesultanan Yogyakarta tidak memilii sultan. Setelah berdiam diri cukup lama, secara tiba-tiba Dorodjatun tiba-tiba berubah sikap. Ia mau menerima semua usulan yang diajukan Lucien Adams.
Berubahnya sikap Dorodjatun yang semula alot menjadi lunak itu benar-benar membuat heran diplomat Hindia Belanda. Kontrak politik dengan Belanda yang berisi 17 bab dan terdiri dari 59 pasal ditandatangani Dorodjatun pada 12 Maret 1940. Anehnya, kontrak tersebut ditandatangi tanpa dibaca lagi. Kontrak politik tersebut akan belaku setelah Dorodjatun naik tahta sebagai sultan Yogyakarta.
Setelah melalui perjalanan yang panjang dan berliku, pada Senin Pon 18 Maret 1940 Dorojatun akhirnya dinobatkan dengan dua gelar sekaligus. Ia dinobatkan sebagai putra mahkota dengan gelar Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara Sudibja Radja Putra Narendra Mataram dan dilanjutkan penobatannya sebagai raja dengan gelar Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kandjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah Kaping IX. Di hari yang istimewa, hari saar ia menyadang gelar dultan Yogyakarta, sang penguasa tanah Mataram itu mengeluarkan kalimat yang dikenang oleh semua orang hingga saat ini, “Saya memang berpendidikan barat tapi pertama-tama saya tetap orang Jawa”.
Pada akhirnya terkuak, dalam suatu kesempatan Sultan Hamengkubuwono IX menyampaikan rahasia di balik keputusannya menandatangani kontrak politik dengan Belanda. Ia berkisah bahwa keputusan itu ia lakukan setelah menerima bisikan yang menyuruhnya untuk menandatangani saja kesepakatan yang diajukan pihak Belanda. Wisik atau bisikan itu memberi tahukan masa depan yang baik, bahwa Belanda tidak lama lagi akan pergi dari bumi Mataram. Wisik itu berbunyi :
Wis, Tholé, tèkena waé. Landa bakal lunga saka bumi kéné. (Sudahlah, Nak, tanda tangani saja. Belanda akan pergi dari bumi sini.) |
Wisik tersebut benar-benar terjadi dalam kenyataan. Selang dua tahun kemudian tepatnya pada 8 Maret 1942, Belanda menyerah kepada Jepang di Indonesia dengan tanpa syarat. Dan yang terjadi kemudian, pendudukan Jepang di Indonesia hanya berlangsung selama 3 tahun saja. Pemberontakan PETA di Blitar yang dipimpin Supriyadi dan Proklamasi 17 Agustus 1945 membawa bangsa Indonesia ke alam kemerdekaan.
Keraton Yogyakarta, negara berdikari sebelum berdirinya NKRI itu mengalami revolusi besar-besaran di masa kekuasaan Sultan Hamengkubuwono IX. Raja yang dikenal anti-penjajah itu bersama Paku Alam VIII (Adipati Kadipaten Pakualaman) mendukung proklamasi 17 Agustus 1945. Sultan kesembilan dan Paku Alam VIII juga segera mengeluarkan maklumat yang menyatakan bahwa Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman mengakui kemerdekaan Republik Indonesia serta penggabungan Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat ke dalam Republik Indonesia dengan status daerah istimewa. Gabungan dari wilayah kesultanan dan kadipaten inilah yang kemudian hingga hari ini dikenal dengan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Berikut adalah isi dari Amanat 5 September 1945 :
AMANAT
SRI PADUKA INGKENG SINUWUN KANGDJENG SULTAN
Kami Hamengku Buwono IX, Sultan Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat menjatakan:
Bahwa Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia.
Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mulai saat ini berada ditangan kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnja kami pegang seluruhnya.
Bahwa perhubungan antara Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia, bersifat langsung dan Kami bertanggung djawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
Kami memerintahkan supaja segenap penduduk dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mengindahkan Amanat Kami ini.
Ngajogjakarta Hadiningrat, 28 Puasa Ehe 1876 atau 5-9-1945
HAMENGKU BUWONO IX
AMANAT
SRI PADUKA KANGDJENG GUSTI PANGERAN ADIPATI ARIO PAKU ALAM
Kami Paku Alam VIII Kepala Negeri Paku Alaman, Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat menjatakan:
Bahwa Negeri Paku Alaman jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia.
Baca Juga : Gus Choi Larang Warganya untuk Berpartai, PBNU: Silakan Ekspresikan Politik tapi Jangan Pakai Simbol NU
Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Paku Alaman, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Paku Alaman mulai saat ini berada ditangan Kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnja Kami pegang seluruhnja.
Bahwa perhubungan antara Negeri Paku Alaman dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia, bersifat langsung dan Kami bertanggung djawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
Kami memerintahkan supaja segenap penduduk dalam Negeri Paku Alaman mengindahkan Amanat Kami ini.
Paku Alaman, 28 Puasa Ehe 1876 atau 5-9-1945
PAKU ALAM VIII
Presiden Soekarno menyambut baik dukungan Keraton Yogyakarta kepada pemerintah RI dengan memberikan penghargaan. Sehari berselang, tepatnya 6 September 1945, Pemerintah RI memberikan Piagam Kedudukan yang ditandatangani Presiden Soekarno pada 19 Agustus 1945. Piagam tersebut diperuntukkan secara khusus kepada Sultan Hamengkubuwono IX dan Paku Alam VIII.
Piagam kedudukan itu sejatinya sudah disiapkan Soekarno sejak lama sejak satu hari pasca Sulan Jogja mengucapkan selamat atas Kemerdekaan dan lahirnya RI, namun baru diserahkan apda 6 September 1945. Piagam tersebut diserahkan oleh dua utusan pemerintah, yaitu Menteri Negara Mr. Sartono dan Mr. Alexander Andries Maramis.
Berikut isi Piagam Kedudukan 19 Agustus 1945 :
“Kami Presiden Republik Indonesia menetapkan: Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalaga Abdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah ingkang kaping IX ing Ngayogyakarta Hadiningrat, pada kedudukannya, dengan kepercayaan bahwa Sri Paduka Kanjeng Sultan akan mencurahkan segala pikiran, tenaga, jiwa dan raga untuk keselamatan daerah Yogyakarta sebagai bagian Republik Indonesia. Jakarta, 19 Agustus 1945, Presiden Republik Indonesia. Soekarno”.
Pasca penggabungan Keraton Yogyakarta dengan Pemerintah RI ini Sultan Hamengkubuwono IX terus membantu dan menunjukkan komitmennya untuk kedaulatan dan kemajuan RI. Saat meletus Agresi Militer Belanda II, Sultan Hamengkubuwono IX juga menawarkan serta mempersilahkan pemerintahan RI dijalankan di Yogyakarta. Penawaran tersebut diikuti dengan kebijakan pemindahan ibu kota Negara dari Jakarta ke Yogyakarta pada tahun 1946. Saat itu di tengah-tengah masa sulit akibat perang, Keraton Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman menanggung seluruh biaya operasional pemerintah pusat. Bahkan, Ketika ibu kota dikembalikan dari Yogyakarta ke Jakarta, Sultan Hamengkubuwono IX masih memberikan bantuan keuangan sebesar 6 juta gulden kepada pemerintah Indonesia.
Karier politik Sultan Hamengkubuwono IX terus melesat pasca Belanda mengakui angkat kaki dan mengakui kedaulatan RI pada 27 Desember 1949. Dengan kharisma, kecerdasan dan kemahirannya dalam pemerintahan, Sultan Hamengkubuwono IX tercatat memegang banyak jabatan penting di lingkaran pemerintaan RI. Diantaranya ia pernah menjabat sebagai Menteri Pertahanan, Menteri Koordinator Ekonomi Keuangan dan Industri, Wakil Perdana Menteri, hingga Wakil Presiden, mendampingi Presiden Soeharto. Nama Hamengkubuwono IX juga terus diingat hingga hari ini sebagai Bapak Pramuka Indonesia dan Pahlawan Nasional.