JATIMTIMES - Yogyakarta adalah daerah istimewa paling terkenal di Republik Indonesia dewasa ini. Keistimewaan Yogyakarta tak bisa dilepaskan dari catatan sejarah masa lalu. Sebelum berdirinya NKRI, Yogyakarta sejatinya adalah Negara berdikari, namun ia mendukung penuh berdirinya Negara baru untuk mengusir penjajah dari bumi pertiwi dan mewujudkan kedaulatan Nusantara.
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat adalah sebuah Negara di pulau Jawa yang berdiri atas kesepakatan Perjanjian Giyanti 1755. Yogyakarta adalah kerajaan baru pecahan dari Keraton Surakarta Hadiningrat, kerajaan pewaris Dinasti Mataram Islam yang berpusat di Jawa Tengah.
Baca Juga : iPhone 15 Dipastikan Gunakan Port Pengisian USB-C
Perjanjian Giyanti menyebutkan bahwa Pangeran Mangkubumi diakui sebagai Sultan Ngayogyakarta Hadiningrat dengan wilayah nagara agung sebesar 53.100 cacah. Termasuk di dalamnya daerah Mataram, Pajang, Sukawati, Bagelen, Kedu dan Bumi Gedhe. Dan bagian mancanagara (provinsi luar) sebesar 33.950 cacah meliputi daerah Madiun, Magetan, Caruban, separuh Pacitan, Kertosono, Kalangbret, Ngrowo (Tulungagung), Japan (Mojokerto), Jipang (Bojonegoro), Teras Karas (Ngawen), Sela, Warung (Kuwu Wirasari) dan Grobogan. Beberapa wilayah bahkan saling tumpang tindih dengan wilayah Keraton Surakarta.
Wilayah Keraton Yogyakarta dalam perjalanannya mengalami perubahan akibat serangkaian peristiwa. Meletusnya peristiwa Geger Sepehi dan dibuangnya Sultan Hamengkubuwono II diikuti dengan kontrak politik yang ditandatangani pada tanggal 17 Maret 1813.
Pemerintah Inggris memberikan tanah seluas 4000 cacah kepada Pangeran Notokusumo (adik Sultan Hamengkubuwono II). Pangeran Notokusumo kemudian naih tahta sebagai adipati pertama Pakualaman dengan gelar KGPAA Paku Alam I. Pakualaman bukanlah kerajaan, tapi kadipaten dibawah kekuasaan Keraton Yogyakarta. Wilayah Kadipaten Pakualaman meliputi daerah Parakan di Kedu, sebagian daerah Bagelen, dan sebagian daerah di Klaten. Wilayah kekuasaan Pakualaman diambilkan dari sebagian wilayah mancanegara dan sebagian kecil wilayah di negaragung (wilayah inti kerajaan, pusat ibukota) Kesultanan Yogyakarta.
Wilayah kekuasaan Keraton Yogyakarta kembali berubah dengan meletusnya Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro, putra Sultan Hamengkubuwono III. Belanda mengalami kerugian amat besar akibat perang yang berlangsung selama lima tahun ini.
Setelah perang ini berakhir pada 1830, Belanda memaksa Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman untuk menyerahkan seluruh wilayah mancanegara (provinsi luar) melalui perjanjian yang ditandatangani pada tahun 1831.
Keraton Yogyakarta mengalami revolusi besar-besaran di masa kekuasaan Sultan Hamengkubuwono IX. Raja yang dikenal anti penjajah itu bersama Paku Alam VIII mendukung proklamasi 17 Agustus 1945. Sultan kesembilan dan Paku Alam VIII juga segera mengeluarkan maklumat yang menyatakan bahwa Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman mengakui kemerdekaan Republik Indonesia serta penggabungan Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat ke dalam Republik Indonesia dengan status daerah istimewa. Gabungan dari wilayah kesultanan dan kadipaten inilah yang kemudian hingga hari ini dikenal dengan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Berikut adalah isi dari Amanat 5 September 1945 :
AMANAT
SRI PADUKA INGKENG SINUWUN KANGDJENG SULTAN
Kami Hamengku Buwono IX, Sultan Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat menjatakan:
Bahwa Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia.
Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mulai saat ini berada ditangan kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnja kami pegang seluruhnya.
Bahwa perhubungan antara Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia, bersifat langsung dan Kami bertanggung djawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
Kami memerintahkan supaja segenap penduduk dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mengindahkan Amanat Kami ini.
Ngajogjakarta Hadiningrat, 28 Puasa Ehe 1876 atau 5-9-1945
HAMENGKU BUWONO IX
AMANAT
SRI PADUKA KANGDJENG GUSTI PANGERAN ADIPATI ARIO PAKU ALAM
Kami Paku Alam VIII Kepala Negeri Paku Alaman, Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat menjatakan:
Bahwa Negeri Paku Alaman jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia.
Baca Juga : Pendaftaran CPNS Dibuka Bulan Ini, Begini Cara Bikin Akun SSCASN
Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Paku Alaman, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Paku Alaman mulai saat ini berada ditangan Kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnja Kami pegang seluruhnja.
Bahwa perhubungan antara Negeri Paku Alaman dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia, bersifat langsung dan Kami bertanggung djawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
Kami memerintahkan supaja segenap penduduk dalam Negeri Paku Alaman mengindahkan Amanat Kami ini.
Paku Alaman, 28 Puasa Ehe 1876 atau 5-9-1945
PAKU ALAM VIII
Presiden Soekarno menyambut baik dukungan Keraton Yogyakarta kepada pemerintah RI dengan memberikan penghargaan. Sehari berselang, tepatnya 6 September 1945, Pemerintah RI memberikan Piagam Kedudukan yang ditandatangani Presiden Soekarno pada 19 Agustus 1945. Piagam tersebut diperuntukkan secara khusus kepada Sultan Hamengkubuwono IX dan Paku Alam VIII.
Piagam kedudukan itu sejatinya sudah disiapkan Soekarno sejak lama sejak satu hari pasca Sulan Jogja mengucapkan selamat atas Kemerdekaan dan lahirnya RI, namun baru diserahkan apda 6 September 1945. Piagam tersebut diserahkan oleh dua utusan pemerintah, yaitu Menteri Negara Mr. Sartono dan Mr. Alexander Andries Maramis.
Berikut isi Piagam Kedudukan 19 Agustus 1945 :
“Kami Presiden Republik Indonesia menetapkan: Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalaga Abdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah ingkang kaping IX ing Ngayogyakarta Hadiningrat, pada kedudukannya, dengan kepercayaan bahwa Sri Paduka Kanjeng Sultan akan mencurahkan segala pikiran, tenaga, jiwa dan raga untuk keselamatan daerah Yogyakarta sebagai bagian Republik Indonesia. Jakarta, 19 Agustus 1945, Presiden Republik Indonesia. Soekarno”.
Pasca penggabungan Keraton Yogyakarta dengan Pemerintah RI ini Sultan Hamengkubuwono IX terus membantu dan menunjukkan komitmennya untuk kedaulatan dan kemajuan RI. Saat meletus Agresi Militer Belanda II, Sultan Hamengkubuwono IX juga menawarkan serta mempersilahkan pemerintahan RI dijalankan di Yogyakarta. Penawaran tersebut diikuti dengan kebijakan pemindahan ibu kota Negara dari Jakarta ke Yogyakarta pada tahun 1946. Saat itu di tengah-tengah masa sulit akibat perang, Keraton Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman menanggung seluruh biaya operasional pemerintah pusat. Bahkan, Ketika ibu kota dikembalikan dari Yogyakarta ke Jakarta, Sultan Hamengkubuwono IX masih memberikan bantuan keuangan sebesar 6 juta gulden kepada pemerintah Indonesia.
Karier politik Sultan Hamengkubuwono IX terus melesat pasca Belanda mengakui angkat kaki dan mengakui kedaulatan RI pada 27 Desember 1949. Dengan kharisma, kecerdasan dan kemahirannya dalam pemerintahan, Sultan Hamengkubuwono IX tercatat memegang banyak jabatan penting di lingkaran pemerintaan RI. Diantaranya ia pernah menjabat sebagai Menteri Pertahanan, Menteri Koordinator Ekonomi Keuangan dan Industri, Wakil Perdana Menteri, hingga Wakil Presiden, mendampingi Presiden Soeharto. Nama Hamengkubuwono IX juga terus diingat hingga hari ini sebagai Bapak Pramuka Indonesia.