JATIMTIMES -Alas Mentaok yang baru seumur jagung dibabat itu tak butuh waktu lama menjadi sebuah desa yang ramai. Desa yang lambat laun semakin besar itu kemudian menjadi sebuah desa bernama Mataram dengan ibukotanya di Kotagede. Ki Gedhe Mataram (Ki Ageng Pamanahan) adalah tokoh yang jadi “wali kota” pertama Kotagede di bawah kekuasaan Kesultanan Pajang.
Panembahan Senopati adalah putra Ki Ageng Pamanahan, pendiri perdikan Mentaok yang jadi cikal bakal Kerajaan Mataram Islam. Sejarah yang diceritakan secara umum, Ki Ageng Pamanahan dan Sutawijaya membantu Raja Pajang Sultan Hadiwijaya (Joko Tingkir) membunuh Arya Penangsang. Atas keberhasilan ini, Sultan Hadiwijaya kemudian menghadiahkan hutan mentaok (sekarang Kotagede Yogyakarta) kepada Pamanahan.
Baca Juga : Jelang Pemilu 2024, Kemenag Beri Pesan Jangan Pilih yang Pernah Pecah Belah Umat
Pamor Desa Mataram dengan ibukotanya di Kotagede itu semakin melesat setelah wafatnya Ki Gedhe Mataram. Sang pengganti yaitu Danang Sutawijaya berambisi besar dan berhasil membawa Mataram menjadi sebuah Negara baru bercorak agraris yang mendapat perhatian dan diperhitungkan di tanah Jawa. Sutawijaya dengan ambisinya ingin menguasai seluruh Jawa.
Sebelum Sutawijaya mengambil alih kekuasaan Mataram, di bawah kepemimpinan Ki Gede Mataram, Desa Mataram mencapai kemakmuran luar biasa. Rakyat Mataram hidup makmur dengan murah sandang pangan. Tak lama kemudian, Ki Gede Mataram meninggal dunia dan dimakamkan di barat Masjid Gedhe Mataram di Kotagede. Makam Ki Gede Mataram itu hingga kini masih ada dan jadi makam keramat yang paling banyak diziarahi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Ki Gede Mataram meninggal dunia karena sakit tua pada 1575. Sebelum wafat, ia berwasiat menyerahkan kepemimpinan Desa Mataram kepada putranya Danang Sutawijaya. Ia menyerahkan segala urusan suksesi kekuasaan kepada Ki Juru Martani.
Satu hari setelah wafatnya Ki Gede Mataram, Ki Juru Martani pergi menghadap Raja Pajang Sultan Hadiwijaya (Joko Tingkir) bersama seluruh keluarga dari Mataram. Ki Juru Martani dan rombongan menunggu Sultan Pajang di bawah pohon beringin kurung yang berada di Alun-alun Pajang. Melihat abdinya datang menunggu, Sultan Pajang memanggil dan kemudian Ki Juru Martani menyampaikan berita duka wafatnya Ki Gede Mataram.
Setelah menerima laporan dari Ki Juru Martani, Sultan Hadiwijaya kemudian menunjuk anak angkatnya Danang Sutawijaya sebagai petinggi kerajaan dan pemimpin baru Desa Mataram. Sebagai pemimpin dan petinggi baru di Mataram, Danang Sutawijaya mendapatkan gelar baru yaitu Senapati Ing Alaga Sayidin Panatagama. Di masa awal berkuasa ini, Senopati belum memakai gelar panembahan. Gelar panembahan digunakan setelah Senopati sebagai raja Mataram Islam yang pertama berhasil menguasai Pajang beberapa tahun setelah pengangkatan ini.
Sebagai penguasa baru di bawah kekuasaan Pajang, Senopati mendapatkan keistimewaan. Diantaranya ia tak perlu menghadap Sultan di Istana Pajang di tahun pertama berkuasa. Di tahun pertama ini ia diberikan keleluasaan untuk menggunakan waktunya dengan bersenang-senang dan membangun daerah kekuasaanya agar semakin maju dan besar.
Seperti yang sudah diramalkan Sunan Giri Prapen, bahwa Senopati akan jadi raja besar benar-benar menjadi sebuah kenyataan. Dengan ambisi dan kecerdikannya, Senopati berhasil membawa Mataram yang mulanya hanya sebuah desa menjadi kerajaan yang perlahan-lahan semakin besar dan menguasai Jawa. Mataram kemudian memberontak dan melepaskan diri dari Pajang dan mendeklarasikan diri menjadi kerajaan baru di Jawa yaitu Kerajaan Mataram Islam.
Sebuah cerita yang berkembang, perang antara Pajang dan Mataram diawali dengan hukuman mati yang diterima Raden Pabelan, keponakan Senopati. Pada suatu hari, Pabelan yang terkenal playboy dan ganteng menyelinap ke dalam keputren bertemu dengan Sekar Kedathon, putri Joko Tingkir yang terkenal cantik jelita. Kejadian ini diketahui Joko Tingkir. Merasa dipermalukan, Joko Tingkir kemudian menghukum mati Pabelan.
Di satu sisi, Senopati terpantau lama tidak menghadap Joko Tingkir di Pajang. Situasi ini membuat Mataram dan Senopati dicap makar dan Pajang berencana menyerang Mataram di Kotagede.
Kesultanan Pajang akhirnya benar-benar menyerang Mataram. Joko Tingkir dengan baju kebesarannya sebagai Sultan Pajang naik gajah memimpin pasukannya menggempur Mataram. Saat perang terjadi, Gunung Merapi yang letaknya tidak jauh dari posisi mereka, tiba-tiba meletus. Laharnya turun melewati Sungai Opak dan menghantam tenda-tenda milik prajurit Joko Tingkir.
Baca Juga : Kisah Inspiratif Muhamaad Maarif dari Blitar, Rawat Puluhan Lansia dan ODGJ untuk Menebus Dosa
Versi lain menyebutkan, melihat Pajang menyerang Mataram dengan kekuatan besar, Senopati menabuh pusaka Bendil Kiai Becak. Bendil tersebut ditabuh berkali-kali dan mengeluarkan daya magis. Seluruh pasukan Pajang merasa pusing dan muntah-muntah. Tidak kuat berperang, pasukan Pajang akhirnya pergi meninggalkan Mataram. Perang saudara antara Pajang dengan Mataram itu berlangsung di kawasan Prambanan yang lokasinya cukup dekat dengan Kotagede.
Dalam versi ini juga digambarkan Senopati memukul Bendil Kiai Bicak berulang ulang di tengah suasana erupsi Gunung Merapi dan kobaran api yang berasal dari jerami yang sengaja dibakar. Situasi yang kian mencekam membuat Sultan Pajang dan pasukannya kabur meninggalkan arena perang. Mataram berhasil mengalahkan Pajang.
Saat perjalanan pulang, Joko Tingkir dan pasukannya mampir ziarah ke makam Sunan Tembayat di Klaten. Anehnya, saat didatangi oleh penguasa Pajang itu gerbang makam tidak bisa dibuka. Joko Tingkir melihat anehnya kejadian ini sebagai pertanda jika umurnya tidak akan lama lagi. Tak lama kemudian, Joko Tingkir jatuh dari gajah yang dinaikinya. Pasca kejadian ini kondisi kesehatannya terus menurun.
Setelah sampai di Pajang, Joko Tingkir memanggil anak-anaknya satu persatu. Satu dari putra itu adalah Pangeran Benowo sang putra mahkota Kesultanan Pajang. Kepada Benowo, Joko Tingkir berpesan agar Benowo dan saudara-saudaranya tidak menaruh dendam kepada Senopati. Karena apapun yang telah diperbuat, Senopati adalah anak angkat Joko Tingkir. Dikisahkan setelah peristiwa ini, Joko Tingkir alias Sultan Hadiwijaya wafat dan dimakamkan di Desa Butuh, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Butuh adalah tempat pemakaman Ibu Joko Tingkir yaitu Ratu Mas Cempaka.
Mataram Islam semakin besar dan berkembang setelah wafatnya Joko Tingkir. Menariknya, Kerajaan Pajang yang tidak stabil akibat perang saudara akhirnya berhasil dikuasai setelah serangan yang dilakukan Senopati. Senopati menyerang Pajang bersama Pangeran Benowo (putra Sultan Hadiwijaya/Joko Tingkir). Benowo kemudian mendeklarasikan diri menjadi Sultan Pajang berikutnya. Beberapa hari setelah pengangkatan Benowo menjadi sultan, Senopati pulang ke Mataram dan diangkat oleh rakyatnya sebagai Panembahan. Panembahan merupakan gelar bangsawan ningrat jawa yang artinya orang yang disembah atau sebagai junjungan (bahasa Melayu: Yang Dipertuan), berasal dari kata manembah artinya menyembah. Umumnya gelar Panembahan levelnya berada di bawah gelar Sultan (Raja Besar) dan berada diatas Pangeran.
Hanya setahun berkuasa, Benowo memilih turun tahta dan menyerahkan Negara Pajang kepada Panembahan Senopati. Pajang akhirnya sah menjadi bawahan Mataram. Benowo kemudian pergi meninggalkan Pajang dan berkeliling Jawa menyebarkan Agama Islam. Senopati merasa sangat sedih namun ia terus menjalankan ambisinya menguasai seluruh Jawa dengan serangkaian ekspedisi penaklukan. Senopati akhirnya berhasil menyatukan wilayah-wilayah yang melepaskan diri dari Kerajaan Pajang.
Di bawah kepemimpinan Panembahan Senopati, desa-desa tumbuh menjadi kota yang makmur dan ramai. Tidak butuh waktu lama, banyak kerajaan-kerajaan di Jawa yang takluk dan bergabung dengan Mataram Islam. Kerajaan-kerajaan itu antara lain, antara lain Kedu, Bagelen, Pajang, dan Mangiran, kemudian sebagian wilayah bang Wetan yaitu Blora, Madiun, Pasuruan, Ponorogo serta sebagian wilayah Utara Jawa yaitu Jepara, Demak, dan Pati. Mataram Islam terus berkembang menjadi Negara yang besar.