JATIMTIMES - Paradigma hukum di Indonesia akan segera berubah. Hal itu seiring dengan lahirnya Undang-Undang No.1/2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP Nasional.
Demi memperdalam ilmu hukum 'baru' itu, Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) Jawa Timur menggelar kegiatan Penataran Hukum Pidana Nasional. Kegiatan itu diselenggarkan di Malang pada Selasa (29/8/2023).
Baca Juga : Antisipasi Kebakaran di Gunung Arjuno, Personel Gabungan Lakukan Pemantauan Melalui Aplikasi dan Drone
“Penataran ini untuk mentransformasikan pemahaman terhadap hadirnya KUHP baru. Karena kan sekarang per Januari 2023, kita punya KUHP Nasional,” kata Prof Tongat, Ketua DPD Mahupiki Jatim.
Menurut Tongat, KUHP baru itu adalah produk dari anak bangsa yang ditunggu kurang lebih 60 tahun lamanya. KUHP Nasional sendiri rencananya akan diterapkan pada tahun 2026 mendatang, dan saat ini masih dalam tahap pengenalan.
Untuk itu, pihaknya menghadirkan berbagai kalangan baik akademisi, praktisi hukum pidana hingga masyarakat pengamat hukum dari berbagai daerah di Indonesia dalam kegiatan Penataran KUHP Nasional tersebut.
“Kegiatan ini diikuti oleh peserta yang datang dari Sabang sampai Merauke, dari Papua sampai Aceh. Mereka berasal dari berbagai institusi, mulai para akademisi, kepolisian, kejaksaan, LBH, advokat hingga kelompok masyarakat,” ucap Tongat.
Dia menyebutkan bahwa KUHP baru ini dirancang dengan mengedepankan nilai dan norma bangsa Indonesia. Untuk itu, dia menilai bahwa hukum pidana nasional ini secara politis, filosofis dan yuridis cukup strategis untuk diterapkan.
“Penggantian KUHP lama ini strategis untuk mengganti produk perundang undangan yang secara filosofis dianggap tidak mencerminkan value bangsa. Karena KUHP lama itu kan warisan kolonial. Yang lama dibangun atas nilai individual dan yang baru ini atas dasar nilai masyarakat kita,” tutur Tongat.
Tongat yang juga merupakan Dekan Fakultas Hukum UMM itu menilai bahwa KUHP baru ini secara sosiologis juga dianggap sebagai refleksi cerminan norma masyarakat Indonesia. Sebab menurutnya, ada perubahan signifikan antara KUHP lama dan KUHP Nasional ini.
Baca Juga : Gugatan Perludem Soal Keterwakilan Perempuan di Pemilu 2024 Dikabulkan MA
“Contoh kecil soal zina, zina di KUHP lama tidak bisa menjangkau semua perbuatan zina karena perbuatan itu diterapkan bagi yang sudah kawin. Untuk yang masih lajang misal sama- sama mau dan berhubungan seksual, di KUHP lama bukan zina,” papar Tongat.
“Tentu ini tidak sesuai dengan nilai- nilai bangsa kita. Sehingga konsep zina juga berubah. Sekarang di KUHP baru, semua hubungan seksual di luar nikah baik sudah kawin atau belum, itu ya zina. Karena di agama apapun ya sama, melarang zina,” imbuh Tongat.
Meski menanti kehadiran KUHP baru, Tongat mengaku bahwa setiap produk masih memiliki kelemahan, tak terkecuali KUHP Nasional ini. Oleh karena itu, ia berharap agar produk tersebut dievaluasi dan diperbaiki bersama agar paradigma hukum pidana nasional tidak bergeser.
“Sebagai karya anak bangsa, tentu kami mengapresiasi hadirnya KUHP baru ini. Tetapi dengan catatan, segala kelemahannya harus diperbaiki bersama sama karena tak ada produk Undang- Undang yang lahir sempurna,” beber Tongat.
“Mengutip pendapat Satjipto Rahardjo, Undang-Undang itu sebetulnya sudah cacat sebelum lahir. Karena Undang- Undang tidak mungkin bisa mencover semua keinginan dan kehendak seluruh masyarakat,” tandasnya.