free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Hiburan, Seni dan Budaya

Pesanggrahan Djojodigdan, Saksi Sejarah Kebesaran Patih Blitar dari Kulonprogo

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Sri Kurnia Mahiruni

22 - Aug - 2023, 21:42

Placeholder
Pesanggrahan Djojodigdan, rumah peninggalan Patih Kabupaten Blitar Raden Ngabehi Bawadiman Djojodigdo

JATIMTIMES - Bangunan tua di Blitar dewasa ini bisa dikatakan berada di ambang kepunahan. Satu persatu bangunan dihancurkan dan diganti dengan bangunan yang lebih modern dengan alasan ekonomi. 

Meskipun banyak bangunan yang telah hancur, ada satu bangunan tua dengan nilai bersejarah yang masih berdiri di Jalan Melati, Kecamatan Kepanjenkidul, Kota Blitar. Bangunan itu adalah Pesanggrahan Djojodigdan, rumah peninggalan patih Kabupaten Blitar Raden Ngabehi Bawadiman Djojodigdo.

Baca Juga : Madrasah Pemilu Indonesia, Kado Spesial Mantan Ketua Bawaslu Kabupaten Blitar untuk Pendidikan Demokrasi

Pesanggarahan Djojodigdan belakangan lebih tersohor sebagai wisata spiritual makam gantung Patih Djojodigdo. Ya, makam sang patih paling hebat dari Blitar itu memang berada di halaman belakang rumah dengan gaya joglo Jawa Tengah. Makam sang patih banyak dikunjungi peziarah dari dalam dan luar Blitar. Makam gantung Patih Djojodigdo adalah maskot wisata religi di Kota Blitar selain Makam Presiden pertama RI Ir Soekarno (Bung Karno).

Rumah Patih Djojodigdo adalah bangunan yang usianya cukup tua. Rumah kediaman sang patih ini dibangun pada tahun 1875 bersamaan dengan pembangunan kantor Bupati Blitar. Dulunya rumah ini adalah kawasan tanah perdikan yang cukup luas yang diberikan kepada Djojodigdo sebagai pejabat Patih Kabupaten Blitar. Saat ini, luas areal Pesanggrahan Djojodigdo hanya sekitar 2,7 hektar saja.

Dalam perkembangannya, rumah kediaman Djojodigdo mengalami pembangunan besar-besaran. Pembangunan itu dilakukan oleh Bupati Rembang Raden Mas Adipati Djojoadiningrat, putera Patih Djojodigdo. Djojoadiningrat tak lain adalah suami dari pahlawan emansipasi wanita Raden Ajeng Kartini. Pesanggrahan Djojodigdo benar-benar adalah rumah bersejarah. Selain jejak kebesaran sang patih, rumah ini adalah petilasan Ibu Kartini di Kota Blitar.

Tiba dan menginjakkan kaki di tempat ini, traveller akan disambut dengan pagar dan pintu gerbang bergaya Keraton Kasunanan Surakarta. Masuk ke dalam rumah ini, traveller serasa memasuki lorong waktu masa lampau. Suasana Jawa awal abad ke-19 benar-benar terasa. Perabot-perabot antik berpadu dengan ornament-ornamen klasik benar-benar memancarkan energi kemegahan masa lalu yang berkarisma.

Rumah ini masih mempertahankan arsitekrur bangunan aslinya. Terdapat kamar-kamar berukuran luas dengan jendela-jendela besar yang menandakan rumah tersebut adalah kediaman bangsawan yang amat disegani di masa lalu. Lukisan besar Sultan Hamengkubuwono II dari Keraton Yogyakarta terpajang di salah satu kamar, salah satu bukti jika Djojodigdo adalah keturunan dari Raja Dinasti Mataram Islam.

Patih Djojodigdo hingga hari ini masih terus diingat oleh warga Blitar. Disamping legenda kesaktiannya karena memiliki ilmu pancasona, kiprah Djojodigdo sebagai patih Kabupaten Blitar memang benar-benar meninggalkan warisan pembangunan yang luar biasa untuk Bumi Penataran. 

Bersama dengan Bupati kedua Blitar KPH Warsoekoesoemo, Djojodigdo berhasil meletakkan dasar-dasar pembangunan infrastruktur di Blitar yang bisa disaksikan oleh generasi hari ini. Jembatan, jalan-jalan protokol, dan bangunan-bangunan kolonial banyak dibangun pada era Bupati Warsoekoesoemo-Patih Djojodigdo. Jabatan patih pada waktu itu adalah administratur tertinggi di bawah bupati.

Raden Ngabehi Bawadiman Djojodigdo lahir pada 29 Juli 1827 di tengah-tengah meletusnya Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro. Diperkirakan Djojodigdo lahir di Kabupaten Kulonprogo. Ia merupakan putra dari Raden Tumenggung Kartodiwirjo dan cucu Raden Tumenggung Kartoprodjo, Bupati Kulonprogo. Djojodigdo juga adalah menantu dari  Raden Mas Ngabehi  Pringgodigdo, Bupati Berbek yang wafat pada tahun 1866 dan dimakamkan di Setono Gedong Kota Kediri.

Dari beberapa sumber disebutkan, Raden Tumenggung Kartodiwirjo ayah Djojodigdo merupakan simpatisan Pangeran Diponegoro. Saat meletus Perang Jawa , Kartodiwirjo yang saat itu menjabat bupati Kulonprogo memberikan dukungan kepada sang pangeran. Keputusan ini berdampak terhadap berkahirnya karier pemerintahan Kartodiwirjo sebagai bupati Kulonprogo. Setelah Perang Jawa berakhir dengan tertangkapnya Diponegoro pada 1830, Kartodiwirjo ikut jadi target orang yang diburu Belanda.

Djojodigdo menjadi patih di Kabupaten Blitar mendapingi Bupati KPH Warsokoesoemo yang terlebih dulu menjabat sejak 3 Mei 1869. Djojodigdo dilantik sebagai patih pada 8 September 1877. Ia menjabat patih ketika Blitar sudah tidak lagi menjadi bagian wilayah Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Sejak 31 Desember 1830, Blitar dan daerah-daerah lain di wilayah Mancanegara Timur (Jawa Timur) resmi masuk dalam wilayah kekuasaan Hindia Belanda.

Baca Juga : Mbangun Desa, Unisba Blitar Terjunkan 646 Mahasiswa KKN di Sutojayan

Duet Bupati Warsokoesoemo dan Patih Djojodigdo diharapkan Belanda menjadi pembawa perubahan bagi Kabupaten Blitar yang hancur lebur. Harapan ini karena pemerintahan bupati Blitar sebelumnya yakni Raden Adipati Ronggo Hadi Negoro sangat penuh dengan konspirasi dan skandal korupsi. Kabupaten Blitar pada waktu itu masih merupakan kabupaten baru di Hindia Belanda, dan pemerintahannya benar-benar jadi sorotan publik akibat skandal pemerintahan yang korup.

Bawadiman Djojodigdo adalah bangsawan keturunan dari Keraton Mataram. Ia adalah orang yang cerdas, ahli ilmu bela diri dan sepak terjangnya benar-benar memberikan pengaruh yang positif bagi perkembangan Kabupaten Blitar pasca skandal korupsi besar di era pemerintahan Ronggo Hadi Negoro. Duet Warsoekoesoemo-Djojodigjo  mampu berjalan harmoni seirama dan bisa bekerja baik dengan pegawai negeri Belanda. 

Selain mampu jadi penghubung penguasa kolonial, Djojodigdo juga menjadi motor bagi lahirnya kebijakan-kebijakan dan pengambilan keputusan untuk kemajuan pembangunan Kabupaten Blitar pada waktu itu. Djojodigdo sangat pantas disebut sebagai Bapak Pembangunan Blitar. Stasiun Kereta Api Blitar adalah proyek strategis yang diresmikan pada 16 Juni 1884 saat Djojodigdo menjadi patih.

“Djojodigdo sadar akan keadaan. Belanda tidak mungkin bisa berdiri tanpa orang-orang pribumi oleh sebab kondisi (Jawa dan Blitar) sudah sedemikian kritis (dampak Perang Diponegoro). Pun demikian sebaliknya, orang-orang Jawa , khususnya para penguasa Jawa sudah terlanjur lumpuh dan kehabisan tenaga untuk mempertahankan sikap dendamnya kepada Belanda. Oleh karenanya tidak ada salahnya untuk berkolaborasi dengan sang mantan musuh untuk kepentingan yang lebih besar, yakni membangun puing-puing peradaban yang hampir roboh,” jelas pendiri Blitar Heritage, Herry Setyabudi.

Djojodigdo memiliki empat istri dan 30 orang anak. Kesuksesan Djojodigdo berkarier di pemerintahan juga diikuti oleh anak-anaknya. Djojodigdo tidak pernah menempuh pendidikan formal, namun ia mengirimkan anak-anaknya untuk mendapatkan pendidikan terbaik di tempat-tempat khusus pendidikan yang disediakan pemerintah. Beberapa putra Djojodigdo yang paling terkenal sebut saja Raden Ngabehi Pringgokosoemo (Jaksa Nganjuk) dan KRMAA Singgih Djojo Adhiningrat (Bupati Rembang). Nama terakhir yakni Singgih Djojo Adhiningrat adalah suami dari pahlawan emansipasi wanita Raden Ajeng Kartini.

Di masyarakat Blitar hingga saat ini, ketokohan Patih Djojodigdo masih terus diingat dan diceritakan lisan seperti kisah legenda. Di luar kiprahnya sebagai patih, orang-orang lebih banyak menceritakan Patih Djojodigdo secara fantasi sebagai orang yang sakti dan memiliki ajian pancasona. Makamnya yang berada di Jalan Melati Kota Blitar banyak diziarahi orang dan tersohor dengan sebutan makam gantung. Hal demikian tentu sah-sah saja karena orang Jawa sejak dulu kala dikenal menyukai cerita-cerita yang berbau mistik.

Djojodigjo juga sering dikait-kaitkan dengan Rampogan Macan. Tradisi kuno ala gladiator Jawa yang hidup di Blitar pada akhir abad 18 hingga awal abad 19. Tradisi ini memainkan pertarungan antara manusia dengan harimau Jawa di Alun-alun Blitar.


Topik

Hiburan, Seni dan Budaya Djojodigjo blitar sejarah blitar



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Sri Kurnia Mahiruni