free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Hiburan, Seni dan Budaya

Gigih Melawan Belanda, Sultan HB II dan Pakubuwono VI Dua Raja Jawa yang Dibuang ke Pengasingan

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Nurlayla Ratri

17 - Aug - 2023, 18:00

Placeholder
Sultan Yogyakarta Hamengkubuwono II dan Raja Surakarta Pakubuwono VI dalam sketsa lukisan

JATIMTIMES- Setelah Sultan Agung, hanya ada sedikit dari raja-raja Mataram selanjutnya yang berani melakukan perlawanan kepada Belanda. Hingga akhir abad ke 18, setidaknya ada dua penguasa yang melakukan perlawanan meski harus berakhir tragis. Dua raja itu adalah Sultan Hamengkubuwono II dari Yogyakarta dan Sunan Pakubuwono VI dari Surakarta.

Sultan Hamengkubuwono II dan Pakubuwono VI adalah dua raja yang pernah memerintah di waktu yang sama. Sultan kedua Yogyakarta bahkan mencetak rekor sebagai raja Dinasti Mataram yang tiga kali naik tahta. Dua tokoh ini memiliki kedekatan kekerabatan dengan Pangeran Diponegoro, bangsawan keraton yang memimpin Perang Jawa 1825-1830. Tiga tokoh dari Mataram itu hingga kini dikenal sebagai tokoh yang gigih melawan Belanda. Kecuali Hamengkubuwono II, ia belum dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.

Baca Juga : Momen Haru dan Bangga Rionaldo Stokhorst Saat Sang Putri Terpilih Menjadi Paskibra 

Kita mulai artikel ini dengan membahas Sultan Hamengkubuwono II. Sultan kedua Yogyakarta itu bernama kecil Raden Mas Sundoro. Ia adalah putera dari raja pertama Kesultanan Yogyakarta Sultan Hamengkubuwono I dengan permaisuri Ratu Ageng Tegalrejo. Ia lahir di Gunung Sindoro pada 7 Maret 1750 di tengah-tengah Perang Suksesi Jawa III. Ending dari perang suksesi ini adalah Perjanjian Giyanti 1755 yang memecah Mataram menjadi dua kerajaan, Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Ngayogyakarta.

Lahir di tengah-tengah pertempuran melawan Belanda, Hamengkubuwono II mewarisi darah perjuangan ayahnya Hamengkubuwono I (Pangeran Mangkubumi). Kebencian terhadap bangsa eropa itu diantaranya setelah dinobatkan sebagai putra mahkota, ia mulai melakukan gerakan-gerakan perubahan di dalam keraton dan berupaya melindungi Keraton Yogyakarta Hadiningrat terhadap ancaman VOC. 

Dengan kecerdikannya, RM Sundoro muda berupaya menggagalkan pembangunan Benteng Rustenburg yang diinisiasi oleh Komisaris Nicholas Hartingh sejak tahun 1765. Cara yang dilakukan RM Sundoro adalah dengan mengerahkan pekerja dari keraton untuk membangun tembok baluwarti mengelilingi alun-alun utara dan selatan. RM Sundoro juga meningkatkan pertahanan, caranya adalah dengan menempatkan sebanyak 13 meriam di bagian depan keraton menghadap ke arah benteng milik kompeni.

Sikap anti Belanda ini semakin keras setelah Hamengkubuwono II dinobatkan sebagai penguasa Yogyakarta pada tanggal 2 April 1792. Beberapa sikap anti Belanda yang ditunjukkan Sultan Kedua itu diantaranya,  ia tegas menolak permintaan wakil VOC yang menuntut disejajarkan posisi duduknya di setiap acara pertemuan dengan sultan. Selain itu, tanpa melibatkan VOC, Sri Sultan Hamengku Buwono II menunjuk sendiri patihnya untuk menggantikan Danurejo I yang meninggal dunia pada bulan Agustus 1799.

Di masa awal  Sultan Hamengkubuwono II berkuasa, VOC sendiri sedang dalam periode kemunduran. Sebagai sebuah perusahaan dagang, VOC bangkrut dan oleh karena itu dibubarkan. Pada saat yang hampir bersamaan Kerajaan Belanda jatuh ke tangan Napoleon Bonaparte dari Perancis. Bekas wilayah yang dikuasai VOC kemudian dikendalikan di bawah pemerintah colonial Prancis. Menandai perubahan tersebut, pada tanggal 14 Januari 1808, Herman Willem Daendels ditugaskan menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda di bawah kendali Perancis, menggantikan posisi pimpinan sebelumnya yang dipegang oleh Albertus Henricus Wiese dari Kerajaan Belanda.

Daendels membuat perubahan mendasar yang menjadikan seluruh kerajaan di bekas jajahan VOC sebagai bawahan dari Kerajaan Belanda. Oleh karena itu, ia mengharuskan Raja Jawa tunduk kepada Raja Belanda. Daendels juga mengeluarkan aturan bahwa hak pengelolaan hutan-hutan di Jawa harus berada di bawah pemerintah kolonial.

Sultan Hamengku Buwono II dengan tegas menolak semua tatanan baru tersebut. Hingga di kemudian hari, Daendels sendiri datang ke Yogyakarta membawa 3300 pasukan untuk menekan Sri Sultan Hamengku Buwono II. Akibat dari tekanan tersebut, Sultan Hamengku Buwono II dipaksa turun tahta dan digantikan oleh putra mahkotanya RM Surojo (Ayah Pangeran Diponegoro) yang naik tahta dengan Sri Sultan Hamengku Buwono III pada tanggal 31 Desember 1810.

Sifat keras Hamengku Buwono II lagi-lagi menempatkannya berhadap-hadapan dengan bangsa asing. Di bawah pimpinan Letnan Gubernur Inggris, Thomas Stamford Raffles, Keraton Yogyakarta diserang oleh prajurit Sepoy asal India pada tanggal 20 Juni 1812. Akibat gempuran tersebut, keraton diduduki, harta benda termasuk ribuan karya sastra Jawa dijarah, Sultan Hamengku Buwono II ditangkap dan kemudian diasingkan ke Pulau Pinang hingga tahun 1815.

Kembalinya Sri Sultan Hamengku Buwono II dari pengasingan ke Pulau Jawa pada tahun 1815 tidaklah lama. Setelah penyerahan kembali jajahan Belanda oleh Inggris pada tanggal 9 Agustus 1816, Belanda segera membahas posisi Sri Sultan Hamengku Buwono II yang dianggap sebagai ancaman besar. Maka pada tanggal 10 Januari 1817, Sultan Hamengku Buwono II kembali dibuang dengan diasingkan ke Ambon.

Sementara, selama kurun waktu tersebut berlangsung, di Yogyakarta sedang dilanda kondisi tidak menentu. Sultan Hamengku Buwono III meninggal dunia dan kemudian digantikan oleh putranya yang bergelar Sultan Hamengku Buwono IV (adik Pangeran Diponegoro).

Tidak bertahta cukup lama, Sultan Hamengku Buwono IV meninggal dan kemudian digantikan oleh putranya yang masih belia sebagai Sultan Hamengku Buwono V. Saat itulah kemudian menyusul perlawanan terbesar sepanjang sejarah pemerintahan Kolonial Belanda, yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro yang tak lain adalah cucu  Sultan Kedua Yogyakarta.

Belanda yang berupaya meredam perlawanan Diponegoro paham, keberadaan Sultan Kedua merupakan ancaman namun juga bisa menjadi penengah karena kharisma dan pituturnya didengarkan oleh semua kalangan bangsawan istana. Maka dengan berbagai pertimbangan, Belanda akhirnya memutuskan untuk memulangkan kembali Sultan Hamengku Buwono II ke Yogyakarta, dan mengangkat kembali sebagai sultan untuk yang ketiga kalinya pada tanggal 20 September 1826.

Pada periode kepemimpinannya yang ketiga ini, usia senja membuat kesehatan Sultan Hamengku Buwono II menurun drastis. Pada tanggal 3 Januari 1828 (15 Jumadilakir 1755), Sultan Hamengku Buwono II mangkat karena sakit. Ia seharusnya dimakamkan di Imogiri namun batal. Jenazahnya dimakamkan di Makam Raja-Raja Mataram di Kotagede karena pada saat itu sedang berkecamuk Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro. Situasi perang  tidak memungkinkan untuk diadakan prosesi pemakaman hingga Imogiri. Saat itu perang sedang dahysat-dahsyatnya. Daerah Bantul dan jalan menuju Imogiri dikuasai pasukan Diponegoro.

Satu lagi raja Jawa yang jadi musuh Belanda adalah Sunan Pakubuwono VI dari Surakarta. Sebagai raja Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Sunan Pakubuwono VI terikat kontrak politik dengan Belanda, seperti halnya kerajaan-kerajaan lainnya di Nusantara. Namun, di sisi lain, nuraninya bergolak. Ingin rasanya ia membantu kerabat jauhnya dari Yogyakarta, Pangeran Diponegoro, yang sedang terlibat konflik militer dengan Belanda dalam rangkaian Perang Jawa yang mulai berkobar sejak 1825.

Mengikuti kata hatinya, Pakubuwono VI akhirnya memilih jalan tengah kendati risikonya sangat besar jika sampai diketahui oleh Belanda. Ia menjalani peran ganda. Di satu sisi, Keraton Surakarta tetap menaati kesepakatan politik dengan Belanda. Tapi di sisi lain, sang raja Jawa secara diam-diam memberi dukungan dan sokongan terhadap perjuangan Pangeran Diponegoro.

Pakubuwono VI terlahir dengan nama Raden Mas Sapardan pada 26 April 1807. Ia adalah putera Pakubuwono V denan permaisuri Raden Ayu Sosrokusumo Dari jalur silsilah, Sapardan masih keturunan Ki Juru Martani, patih pertama dalam Kerajaan Mataram Islam, dari garis darah ibundanya. Sapardan naik tahta dengan gelar Sunan Pakubuwono VI pada 15 September 1823 di usia 16 tahun setelah ayahnya wafat.

Dua tahun memimpin Surakarta Hadiningrat sebagai Raja, Pakubuwono VI langsung dihadapkan pada situasi yang dilematis. Pangeran Diponegoro, putra sulung Sri Sultan Hamengkubuwono III, yang tidak lain adalah raja ke-3 Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, terlibat perseteruan serius dengan Belanda.

Meletusnya perang Jawa membuat nurani Pakubuwono VI bergejolak. Dia kemudian memutuskan untuk membantu perjuangan Pangeran Diponegoro meskipun secara diam-diam berkolaborasi dengan Belanda agar hubungan “diplomatik” tetap terjaga. Sikap dua muka ini dia lakukan demi keamanan istana dan rakyat Surakarta.

Dalam menjalankan strategi ini, sang sunan amat cerdik. Sejarah mencatat terjadi beberapa kali pertemuan antara Pakubuwono VI dan Pangeran Diponegoro. Perjumpaan dua tokoh penting Wangsa Mataram ini benar-benar dirahasiakan. Sikap sang sunan dalam perang Jawa amat tegas, Pakubuwono VI menyatakan kesanggupannya untuk membantu Pangeran Diponegoro yang tidak lain adalah pamannya itu.

Pakubuwono VI sering dikabarkan pergi bertapa ke Gunung Merbabu atau ke pedalaman hutan rimba, yang kemudian memunculkan julukan “Sinuhun Bangun Tapa” bagi sang raja. Namun, sebenarnya ia menemui Pangeran Diponegoro. Dalam pertemuanya, dua tokoh ini membicarakan situasi terkini sekaligus membahas strategi perlawanan terhadap Belanda.

Baca Juga : Karaeng Galesong, Pahlawan dari Kerajaan Gowa yang Istirahat Abadi di Kabupaten Malang

Pangeran Diponegoro sendiri pernah menyusup ke Keraton Surakarta untuk menemui Pakubuwono VI. Kehadiran sang peangeran ke keraton ini dicurigai oleh Belanda. Kecurigaan itu berujung Belanda mengirimkan pasukan penggeledah ke istana. Saat berhasil diketahui oleh pasukan penggeledah, Pakubuwono VI dan Pangeran Diponegoro kemudian pura-pura berkelahi.

“Sandiwara” itu diakhiri dengan akting Diponegoro yang melarikan diri dari istana. Namun demikian setelah peristiwa itu peran ganda Pakubuwono VI terus berlanjut. Beberapa kali pasukan dikirimkan dengan dalih membantu Belanda. Namun, yang terjadi di lapangan tidak seperti itu. Taktik gerilya memberikan peluang bagi pasukan itu untuk bergabung dengan kubu Diponegoro secara diam-diam.

Strategi dua muka Pakubuwono VI akhirnya berakhir pada tahun 1830 setelah Pangeran Diponegoro ditangkap Belanda dengan cara dijebak dalam pertemuan di Magelang. Sang Pangeran kemudian diasingkan ke Manado lalu dipindah ke Makassar hingga meninggal dunia pada 1870.

Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro merupakan salah satu perang yang paling melelahkan bagi Belanda yang kehilangan sekitar 8.000 serdadu Eropa dan 7.000 prajurit lokal. Sementara korban jiwa dari kalangan rakyat mencapai 200.000 orang.

Setelah berhasil menyingkirkan Pangeran Diponegoro, Belanda mulai membidik Pakubuwono VI. Kesalahan raja Surakarta itu dicari-cari karena belum didapatkan bukti keterlibatan Pakubuwono VI dalam Perang Jawa kendati Belanda sudah curiga.

Belanda kemudian menangkap orang kepercayaan Pakubuwono VI sekaligus juru tulis keraton bernama Mas Pajangswara, ayah pujangga kenamaan Ranggawarsita. Ayah dan anak ini adalah abdi setia Pakubuwono VI yang turut membantu perjuangan Pangeran Diponegoro.

Meskipun dipaksa untuk membocorkan rahasia yang pernah terjalin antara Pakubuwono VI dan Pangeran Diponegoro, Pajangswara tetap bungkam hingga akhirnya tewas karena disiksa. Oleh Belanda, mayatnya kemudian dibuang ke tengah laut.

Belanda yang sudah putus akal kemudian bermuslihat. Kepada Pakubuwono VI, mereka mengatakan bahwa Pajangswara telah membongkar rahasia tersebut. Atas dasar tipu-daya itulah, Belanda kemudian menangkap Pakubuwono VI dan mengasingkanya ke Ambon, Maluku, sebagai orang buangan, pada 8 Juni 1830.

Tahta Surakarta lantas dialihkan kepada orang pilihan Belanda, yaitu Raden Mas Malikis Solikin yang tidak lain adalah adik dari Sunan Pakubuwono V alias paman dari Sunan Pakubuwono VI. Raden Mas Malikih naik tahta dengan gelar Sunan Pakubuwono VII.

Pakubuwono VI cukup lama menjalani kehidupan di tanah pengasingan hingga akhirnya wafat pada 2 Juni 1849. Menurut laporan resmi Belanda, Pakubuwono VI tewas dalam kecelakaan di laut. Penjelasan versi Belanda ini diterima selama bertahun-tahun dan jasad Pakubuwono VI dimakamkan di Ambon.

Kejanggalan atas penyebab kematian Pakubuwono VI baru terungkap ketika makamnya dibongkar untuk dipindahkan ke makam raja-raja Mataram di Imogiri, Yogyakarta, pada 1957.

Di jasadnya, ditemukan ada lubang di dahi tengkorak Pakubuwono VI. Lubang itu berukuran seukuran peluru senapan. Temuan mengejutkan itu tak pelak mengarah kepada dugaan kuat bahwa Pakubuwono VI meninggal dunia bukan karena kecelakaan, tapi lantaran luka tembak.

Beberapa tahun berselang setelah pemindahan makam Sunan Pakubuwono VI dari Ambon ke Imogiri, Presiden Sukarno menetapkan Sri Susuhunan Pakubuwono VI sebagai pahlawan nasional melalui surat keputusan tertanggal 17 November 1964.

Berbeda dengan Pakubuwono VI, Sultan  Hamengkubuwono II  adalah tokoh pejuang yang belum dianugrahi gelar pahlawan nasional. Jika melihat sepak terjangnya melawan Belanda, gelar pahlawan nasional sangat pantas diberikan untuk Sultan Kedua Yogyakarta.

Sejarah telah mengakui, Sultan Hamengkubuwono II adalah seorang raja yang tegas dan tidak mau menyerah terhadap tekanan bangsa asing. Sebagai seorang raja Jawa, Hamengkubuwono II konsisten menjunjung tinggi dan membela kewibawaan kekuasaan Jawa yang terwujud dalam tradisi.

Ketika tradisi Jawa yang menjadi idealismenya terancam oleh tindakan bangsa penjajah, Hamengkubuwono II tidak segan melawannya meskipun musuhnya jauh lebih kuat. Pengasingan tidak menjadikan mentalnya ciut, ia justru terus berupaya melawan bangsa asing dengan segala cara dan sekuat tenaga hingga ajal menjemputnya.

Dan yang perlu dipertegas lagi, Hamengkubuwono II dan Pakubuwono VI hanya sedikit dari pemimpin Jawa yang diasingkan ke tanah seberang karena kegigihannya melawan bangsa asing. Di luar dua tokoh ini, ada banyak pemimpin Jawa yang diasingkan karena keberaniannya melawan Belanda. Diantaranya Raja Kartasura Sunan Amangkurat III, Raden Mas Garendi/Amangkurat V (cucu Amangkurat III), Pangeran Arya Mangkunegara (ayah Pangeran Sambernyawa), Cakraningrat IV (pemimpin Madura Barat) dan trio pemimpin Perang Jawa 1825-1830 yaitu Pangeran Diponegoro, Sentot Ali Basyah Abdul Mustopo Prawirodirdjo dan Kiai Mojo.


Topik

Hiburan, Seni dan Budaya Sultan Hamengkubuwono II Pakubuwono VI Belanda Mataram sejarah



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Nurlayla Ratri