JATIMTIMES - Meskipun sudah cukup lama diperkenalkan sebagai makamnya pendiri Kerajaan Majapahit Raden Wijaya, namun pamor Candi Simping nampaknya masih belum begitu menarik minat banyak orang untuk mengunjunginya.
Entah apa penyebab orang enggan datang ke candi ini, mungkinkah karena candi ini kurang indah secara estetika karena tak berbentuk?
Baca Juga : Berikan Pelayanan Terbaik, Dispendukcapil Kabupaten Blitar Rekam e-KTP Warga Binaan LPKA
Ataukah pamor Candi Simping ini kurang terangkat karena kurangnya promosi ke luar daerah khususnya oleh pemerintah. Pertanyaan-pertanyaan tersebut sepertinya susah untuk dijawab.
Candi Simping adalah tempat bersejarah yang terletak di Desa Sumberjati, Kecamatan Kademangan, Kabupaten Blitar. Lokasi candi ini berjarak sekitar lima belas kilometer dari pusat Kota Blitar.
Bukti-bukti sejarah menyatakan candi ini adalah tempat pendarmaan Raja pertama Majapahit Raden Wijaya. Sebagian abu dari sang raja pertama disimpan di candi ini.
Di candi ini dulu pernah ditemukan arca Harihara, dewa gabungan Siwa dan Wisnu sebagai penggambaran Raden Wijaya. Arca Harihara yang masih dalam kondisi bagus dan utuh ini sekarang disimpan di Museum Nasional Republik Indonesia, Jakarta.
Raden Wijaya, sang proklamator Kerajaan Majapahit wafat pada tahun1309 Masehi dan abunya didarmakan di Candi Simping. Penegasan tentang keberadaan candi ini tertulis dalam Kitab Negarakertagama Pupuh XLVII/3 bagian yang ketiga, yang berbunyi:
“Tahun Saka Surya mengitari bulan (1231 Saka atau 1309 M), Sang Prabu (Raden Wijaya) mangkat, ditanam di dalam pura Antahpura, begitu nama makam dia, dan di makam Simping ditegakkan arca Siwa”
Bangunan Candi Simping saat ini sudah tidak utuh lagi, yang tersisa hanyalah reruntuhan. Namun aura dan nuansa Majapahit masih bisa dirasakan di candi ini.
Sehari-hari orang yang berkunjung ke situs bersejarah ini juga tidak banyak. Menurut pengelola, dalam satu bulan orang yang berkunjung ke tempat ini hanya sekitar 400 hingga 500 orang. Cukup sedikit bila dibandingkan dengan Candi Penataran dan candi-candi lain.
Pemerhati Budaya Blitar Herry Setyabudi menilai Candi Simping tidak begitu diminati sebagai tujuan wisata karena bentuknya yang tidak utuh lagi.
Ditambah akses yang sulit, kurangnya publikasi dan kurangnya kepedulian dari orang yang gembar-gembor mempromosikan daerah membuat Candi Simping semakin terlupakan.
Padahal menurut dia, Candi Simping merupakan representasi kebesaran nusantara di masa lalu.
“Bung Karno menyatukan nusantara terinspirasi dari Gadjah Mada dengan sumpah palapanya. Bicara sumpah palapa kita tidak bisa lepas dengan Raden Wijaya, sang pendiri Majapahit. Lalu kenapa orang-orang jarang ke Simping?, Jengis Khan saja tidak diketahui kuburannya dan tidak ada artefak yang ditinggalkan tapi harum namanya. Inilah hal yang harus dipikirkan bersama oleh orang-orang yang konon katanya peduli dengan Blitar,” kata Herry.
Bentuk Candi Simping sendiri saat ini cukup memprihatinkan.
Dikutip dari http://www.duniazie.com, saat ini Candi Simping hanya berupa lantai pondasinya atau kaki candi saja. Batu-batu candinya sendiri telah ditata rapi di pinggir areal candi. Beberapa telah direkonstruksi ulang, seperti puncak candi yang diletakkan di sudut areal candi dengan tinggi sekitar dua meter.
Sementara bangunan utuhnya telah runtuh. Candi ini terbuat dari bahan dasar batu andesit, berbeda dengan candi-candi yang ditemukan di wilayah Trowulan.
Candi Simping menghadap ke arah barat dengan ukuran panjang 10,5 meter dan lebar 8,2 meter. Di sisi barat ada tangga (flight step) yang dulu digunakan sebagai jalan masuk ke ruang candi.
Menurut sketsa dari Balai Purbakala, rekonstruksi Candi Simping tergambar bentuk candi yang ramping tinggi ke atas dengan ketinggian sekitar 18 meter.
Sepintas, bentuk candi mirip Candi Sawentar dan Candi Kidal. Dan karena ketiadaan dana, Candi Simping ini tak pernah direkonstruksi. Padahal, Kitab Negarakertagama mencatat bahwa Raja Hayam Wuruk pernah merenovasi candi ini pada tahun 1285 Saka (1363 M).
Baca Juga : Retno Dumilah, Ratu Madiun yang Beristirahat Abadi di Kotagede
Sebagai informasi, setiap tahun pada akhir musim dingin atau setelah panen, Raja Majapahit Hayam Wuruk (1350-1389) yang bergelar Sri Rajasanagara berkeliling hingga ke luar ibu kota.
Beliau pergi menggunakan pedati yang ditarik sapi dan diiringi rombongan. Perjalanan tersebut tercatat dalam Kitab Nagarakertagama karya Mpu Prapanca, pujangga yang turut serta dalam perjalanan tersebut.
Salah satu bagian terpenting dari teks ini adalah menguraikan perjalanan Hayam Wuruk dengan tujuan untuk berkunjung ke daerah-daerah kekuasaan Majapahit pada waktu itu, khususnya di wilayah Jawa Timur.
Tempat-tempat di Blitar yang dikunjungi Hayam Wuruk itu antara lain Candi Palah (Candi Penataran), Candi Simping, Jimbe dan Lawang Wentar (Candi Sawentar).
Dalam teks di Kitab Negarakertagama tercatat bahwa Hayam Wuruk sempat berkunjung ke wilayah Blitar sebanyak dua kali. Di antaranya pada tahun Saka tiga badan dan bulan (1283) Waisaka, yang tercatat dalam kutipan Negarakertagama pupuh 61.
“Ndan ri çakha tri tanu rawi riɳ weçaka, çri natha muja mara ri palah sabhrtya, jambat siɳ ramya pinaraniran / lanlitya, ri lwaɳ wentar mmanuri balitar mwaɳ jimbe”.
Artinya: Tahun Saka tiga badan dan bulan (1283) Waisaka, baginda raja berangkat menyekar ke Palah dan mengunjungi Jimbe untuk menghibur hati. Di Lawang Wentar, Blitar menenteramkan cita.
Kunjungan Hayam Wuruk ke Blitar waktu itu lebih bersifat keagamaan dan bertujuan memuja leluhur. Hal itu ditandai oleh kegiatan dan kunjungannya ke tempat-tempat suci guna menghormati leluhur dinasti Majapahit.
Tempat-tempat yang mendapat perhatian khusus antara lain Candi Palah (Candi Penataran), Jimbe, Lawang Wentar (Candi Sawentar), dan di Balitar sendiri untuk menentramkan cita.
Dari Blitar, Hayam Wuruk bersama rombongan melanjutkan perjalanan ke arah selatan hingga tiba di Lodaya. Di sana Hayam Wuruk sempat bermalam beberapa hari dan juga menikmati pemandangan indah di pantai selatan.
Setelah itu, tempat terakhir yang dikunjungi Hayam Wuruk adalah Candi Simping. Di sana sang raja ingin memperbaiki candi makam leluhur. Melihat Candi Simping yang merupakan pendarmaan Raden Wijaya agak miring ke barat, Hayam wuruk memerintahkan pasukannya untuk menegakkan kembali menaranya agak ke timur.
Perbaikan tersebut disesuaikan dengan bunyi prasasti yang dibaca lagi, diukur panjang lebarnya, dan di sebelah timur sudah ada tugu. Selain itu, sebuah pura di gurung-gurung diambil halamannya untuk sebagai denah candi makam leluhurnya tersebut.
Selain itu, dalam Negarakertagama pupuh 70 dijelaskan secara khusus baginda raja kembali mengunjungi Candi Simping. Pada tahun Saka angin delapan utama (1285), Hayam Wuruknmengunjungi Simping demi pemindahan makam kakeknya tersebut. Semua lengkap dengan segala persajian menuut adat. Upacara tersebut dipimpin oleh Rajaparakrama.
Sekembalinya dari Simping, Hayam Wuruk segera masuk ke pura. Beliau terpaku mendengar Adimenteri Gajah Mada sedang jatuh sakit. Raja Hayam Wuruk sangat sedih kerena Gajah Mada pernah mencurahkan tenaga untuk keluhuran Jawa, di Bali, serta Kota Sadeng untuk memusnahkan musuh.
Penggalan kisah tersebut merupakan rangkaian perjalanan Hayam Wuruk ke wilayah Blitar yang tercantum di Kitab Negarakertagama.
Selain itu, para pakar beranggapan bahwa Hayam Wuruk sering melakukan kunjungan ke wilayah Blitar. Pasalnya, pada waktu itu Blitar dipercaya sebagai tanah kaum brahmana yang telah disucikan oleh para pendahulu Majapahit.