JATIMTIMES- Raja pertama Keraton Yogyakarta Sultan Hemengkubuwono I terkenal sebagai pemimpin yang memiliki banyak kelebihan. Selain ahli perang, pendiri Negara Yogyakarta ini juga seorang yang saleh dan menguasai ilmu kesusastraan Jawa.
Posturnya yang gagah, tegap, tampan, dan lawan abadi kompeni, Hamengkubuwono I benar-benar raja yang kemiripannya mendekati Sultan Agung, raja terbesar Dinasti Mataram Islam.
Baca Juga : MTsN 1 Kota Malang Gelar Bakti Kelulusan dan Baksos Idul Adha di MI Nurul Huda 2
Sultan Hamengkubuwono I bernama muda Pangeran Mangkubumi. Dia adalah putra Sunan Amangkurat IV dengan isteri selir Mas Ayu Tedjawati. Mangkubumi menghabiskan masa mudanya di Keraton Kartasura yang pada masa itu menjadi pusat surganya kebudayaan. Tak heran jika kemudian Mangkubumi memiliki minat tinggi di bidang sastra, kesenian, budaya dan agama.
Mangkubumi juga adalah bangsawan yang menyukai mistis ghaib. Kesaktian Mangkubumi ini juga melegenda di kiprahnya saat memimpin Perang Suksesi Jawa III. Dengan kekuatan supranaturalnya yang hebat, pangeran yang kemudian menjadi sultan pertama Yogyakarta ini melibas musuh-musuhnya dengan kekuatan ghaib.
Dilansir dari buku Samber Nyawa karya M.C Ricklefs, pasukan pemberontak dibawah komando Mangkubumi tidak selalu meraih kemenangan dalam Perang Giyanti, sebutan lain Perang Suksesi Jawa III. Di pertengahan tahun 1750, perang yang tak kunjung usai telah menyebabkan Jawa tidak hanya hancur oleh perang, tapi juga penyakit cacar.
Laporan dari Belanda melalui Van Hohendorff menyebutkan, desa di dataran tinggi Jawa dan Surakarta hampir seluruhnya ditinggalkan dan tidak bisa dihuni.Penyakit cacar ini telah mengakibatkan lebih dari 300 orang meninggal dunia. Penyakit cacar ini tak hanya menjangkiti orang eropa, tapi juga orang Jawa. Salah satu orang Jawa yang terjangkit penyakit ini adalah Pangeran Mangkuningrat, adik Pangeran Sambernyawa.
Lemah dan tak berdaya akibat penyakit cacar, Mangkuningrat kemudian dirawat di Kabanaran, markas dari barisan pemberontak yang dipimpin Mangkubumi. Mengetahui parahnya kondisi saudaranya, Sambernyawa kemudian bergegas datang ke Kabanaran.
Setiba di Kabanaran, Sambernyawa melihat dengan mata kepalanya sendiri, Mangkuningrat diobati hanya dengan sirih dikombinasi pinang, gambir dan kapur. Mangkubumi menemui Sambernyawa dan berkata tidak usah mengkhawatirkan kondisi adiknya. Mangkubumi kemudian memerintahkan Sambernyawa kembali ke medan tempur. Mangkuningrat yang sakit itu akhirnya bertahan hidup.
Menurut Babad Giyanti, penyakit cacar yang mewabah di tengah-tengah meletusnya Perang Suksesi Jawa III ini ada akibat ritual ghaib yang dilakukan Pangeran Mangkubumi. Tujuan Mangkubumi menyebarkan wabah ini adalah untuk membalaskan dendam kepada musuh yang telah mengalahkan pasukannya dalam pertempuran.
Setelah kekalahannya dalam pertempuran, Mangkubumi mengirim pasukannya melintasi Sungai Progo. Mereka kemudian diperintahkan untuk menunggu dia di sana. Mangkubumi kemudian pergi dengan melakukan penyamaran dengan hanya ditemani dua orang pelayan dan sepuluh anggota kavaleri.
Tempat selanjutnya yang dituju Mangkubumi adalah Saribit, yang letak lokasinya dekat Delanggu di Sungai Kemiri antara Kartasura dan Yogyakarta. Mangkubumi kemudian melanjutkan perjalanan ke arah Piji, yang lokasinya berada di tempat yang lebih tinggi dari sungai di lereng Merapi, lokasi terakhir ini adalah tempat berkumpulnya pasukan VOC dan Madura.
Kisah ini diceritakan Babad Giyanti dalam sebuah laporan dokumenter:
30. Pada malam hari ia beristirahat di Saribit
Berniat untuk menjalankan hukum Islam (shari’a)
Dengan menyamar ia berjalan
Hanya bersama dua pelayan
Membawa sebuah batu gerinda using
Dan di dalam rongga, termuat
Tulisan yang dibungkus dalam dluwang (Kertas Jawa yang terbuat dari kulit pohon)
31.Tiba di barat Piji,
Benda ini dikubur di tenga sungai,
Batu gerinda yang sudah using dan juga
Dluwang yang di dalamnya ada tulisan
Ini dengan segera didoakan
Oleh Yang Mulia Raja (Mangkubumi)
Dengan 12 pengulangan doa (raka’at)
31.Kedua pelayannya terheran-heran :
“Ya, benar, Yang Mulia.”
Mereka kembali ke timur
Dan tiba di Saribit ketika matahari terbit
Dari sana ia pergi
Dengan hanya sepuluh penunggang kuda
Ke barat progo….
33. … Tiga hari
34.Sesudah penguburan
Oleh Raja Kabanaran (Mangkubumi)
Batu gerinda yang telah didoakan itu,
Hukuman ilahi datang menyerang
Semua pasukan (musuh) di barisan mereka:
Jika mereka sakit pada sore hari, mereka mati pagi
Keesokan harinya.
Jika mereka sakit pada pagi hari, mereka musnah pada sore harinya
….
35. Madura dan Kompeni:
Tak satupun terlewatkan oleh
Demam, panas-dingin penyakit mereka
Begitulah catatan yang disampaikan Babad Giyanti. Pasukan VOC dan Madura yang mengalahkan pasukan pemberontak akhirnya meninggal dunia akibat penyakit cacar. Konon wabah cacar itu disebarkan secara ghoib oleh Mangkubumi yang terkenal sakti dan menguasai ilmu mistis. Mangkubumi adalah sosok pemimpin yang lengkap. Selain tangguh dan jago perang, ia juga seorang pemimpin yang cerdas, pintas dan sakti mandaraguna. Tak heran memang jika ia dikagumi rakyat Mataram dan disegani musuh-musuhnya.
Peperangan Suksesi Jawa III dimulai pada 11 Desember 1749 hingga 13 Februari 1755. Dalam perang tersebut, rakyat Mataram memberikan dukungan penuh kepada Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa) yang berjuang melawan kolonialisme Belanda dan sekutunya Keraton Kasunanan Surakarta.
Baca Juga : Anies Bersalaman dengan Putra Raja Salman, PDIP Balas Posting Foto Ganjar Diundang Kerajaan Arab
Puncak dari perang yang melelahkan ini adalah Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755. Perjanjian ini sepakat memecah Mataram menjadi dua kerajaan, Kasunanan Surakarta yang dipimpin Pakubuwono III dan kerajaan baru Kesultanan Yogyakarta yang dipimpin Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengkubuwono I.
Semangat perjuangan Pangeran Sambernyawa tidak kendor. Dia kemudian seorang diri memimpin perang melawan Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Pangeran Mangkubumi (Hamengkuwono I) adalah mertua sekaligus paman dari Pangeran Sambernyawa. Dalam perang ini Pangeran Sambernyawa memandang Pangeran Mangkubumi berkhianat dan dirajakan oleh VOC. Selama kurun waktu 16 tahun, Laskar Pangeran Sambernyawa melakukan pertempuran sebanyak 250 kali.
Perdamaian yang diharapkan oleh VOC akhirnya terwujud.Perdamaian tersebut diformalkan Sunan Pakubuwono III dengan Pangeran Sambernyawa dalam perjanjian Salatiga Pada 17 Maret 1757. Pertemuan berlangsung di Desa Jemblung, Kabupaten Wonogiri.Perjanjian tersebut hanya melibatkan Sunan Paku Buwono III dan saksi utusan Sultan Hamengku Buwono I dan VOC.
Perjanjian Salatiga menyepakati Pangeran Sambernyawa atau Raden Mas Said diangkat sebagai Adipati Miji alias mandiri dengan gelar KGPAA Mangkunegara I. Wilayah kekuasaan Mangkunegara I meliputi wilayah Kedaung, Matesih, Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Pajang sebelah utara dan Kedu. Wilayah kekuasaan Mangkunegara I ini kemudian dikenal dengan nama Kadipaten Mangkunegaran.