JATIMTIMES - Belakangan ini, Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Zaytun Indramayu, Jawa Barat tengah menjadi sorotan publik. Ponpes tersebut disorot lantaran memiliki banyak kontroversi. Diduga karena ponpes memberikan pendidikan ajaran sesat kepada para santrinya.
Bahkan sejak Kamis (22/6/2023) lalu, masyarakat melakukan demo di Ponpes Al-Zaytun, hingga ricuh. Beragam ulama hingga tokoh agama yang berkomentar soal ajaran yang dianut oleh Ponpes Al Zaytun.
Baca Juga : Siapkan Anggota Pramuka dalam Tugas Kemanusiaan, Mbak Cicha Gelar Diksar Brigade Penolong
Salah satunya pengamat sosial politik, Dr KH As'ad Said Ali. Dalam penjelasannya yang mengutip catatan yang terpublikasi dari ngopibareng.id, Ponpes Al Zaytun menganut ajaran Isa Bugis. Di mana sejatinya ajaran itu merupakan pemahaman Islam berdasarkan “Sinkretisme" dan “Eklektisisme”.
Sinkretisme merupakan suatu faham yang menggabungkan atau menyampurkan ajaran berbagai agama menjadi “ajaran baru". Sedangkan eklektisisme merupakan pola pikir yang sejalan dengan sinkretisme yaitu suatu faham yang mengambil berbagai pendapat atau teori yang dianggapnya benar untuk digabung menjadi suatu “pendapat baru".
Lebih lanjut, pria yang saat ini menjabat sebagai Mustasyar PBNU periode 2022-2027 mengatakan bahwa sebelum mendirikan Ponpes, Panji Gumilang (PG) adalah komandan wilayah 9 (KW 9) Darul Islam/Negara Islam Indonesia (DI/NII). Setelah tertangkapnya Kartosuwirya pada 1962, DI/NII dilarang sehingga otomatis KW 9 juga bubar.
Setelah dibubarkan, banyak anggota eks-DI/NII termasuk Panji Gumilang yang kemudian direkrut oleh aparat intelijen dan kemudian dilibatkan dalam meredam agresivitas PKI sejak 1965.
Bermula dari kegiatan perlawanan terhadap PKI inilah, Panji Gumilang (PG) berkenalan dengan para perwira militer/intelijen. Di mana ia satu sisi memanfaatkan kedekatan dengan militer untuk tujuan mendirikan Ponpes Al Zaytun di Indramayu.
Sementara dari sisi aparat keamanan dan intelijen memanfaatkan PG untuk melawan komunis, juga sebagai upaya mencegah aktivitas DI/NII kembali mengangkat senjata.
"Sejak semula, Panji Gumilang (PG) memang tertarik mendalami agama Islam khususnya ajaran Isa Bugis. Pada awal 1970an PG menjadikan pengikutnya eks DI/NII sebagai pengikut ajaran Isa Bugis terutama di daerah Cisaat, Sukabumi. Akibatnya terjadi konflik dengan masyarakat sekitar yang menolak kegiatan mereka dan menganggapnya sebagai aliran sesat," ungkap As'ad Said Ali.
Dari beberapa hal demikian, disimpulkan bahwa ajaran Ponpes Al Zaytun yang berlabel Islam, namun secara esensial oleh pemeluk Islam umumnya dianggap menyimpang dari Islam atau sebagai aliran sesat.
Baca Juga : Polisi Dalami Kasus Pencurian di Toko Frenz Indonesia
Sejak ajaran PG mulai didakwahkan di Cisaat, Sukabumi pada akhir 1960-an hingga awal 1970- an telah mendapat reaksi penolakan dari masyarakat. Oleh karenanya, PG memindahkan pusat dakwahnya ke Indramayu dalam bentuk pesantren yang dikenal dengan “Al-Zaytun".
"Barangkali pemerintah pada masa awal Orde Baru mengizinkan Al-Zaytun dengan lebih mendasarkan pada kepentingan keamanan cq menjinakkan DI/NII, tetapi abai terhadap ajaran agama yang bercorak sinkretisme yang di kemudian hari menjadi masalah politik," ungkap As'ad Said Ali.
"Ketika menjabat sebagai Wakil Kepala BAKIN, saya diajak oleh Ka BAKIN berkunjung ke ponpes tetapi dengan berbagai alasan saya menghindar karena mengantisipasi munculnya “bom waktu" di kemudian hari," sambungnya.
Menurut As'ad Said Ali, mengatasi kemungkinan meledaknya bom waktu tak bisa diprediksi. Pasalnya alumni Ponpes Al Zaytun tersebar di seluruh daerah.
"Sedangkan pada sisi lain reaksi masyarakat justru akan semakin besar seperti tercermin dari tuntutan MUI yang menghendaki pemerintah menyatakan ajaran PG sebagai “aliran yang menyimpang”. Dengan demikian lebih bijaksana terutama dengan semakin dekatnya tahun politik menjelang pilpres dan pileg, jika pendapat MUI tersebut dipertimbangkan," pungkas As'ad Said Ali.