JATIMTIMES- Grup musik rock legendaris Indonesia God Bless menorehkan sejarah baru sebagai grup rock tertua yang masih eksis di Indonesia. Eksistensi dari God Bless ini ditandai dengan diluncurkannya album baru bertajuk ‘Anthology 50th Anniversary’. Masih dalam rangkaian perayaan usia setengah abad God Bless, perilisan album ‘Anthology’’ digelar dalam sebuah acara launching bertempat di Bentara Budaya Jakarta, Jakarta Pusat, pada Rabu, 21 Juni 2023.
Hadir dalam perilisan tersebut para personel God Bless saat ini yakni Achmad Albar (vocal), Ian Antono (gitar), Donny Fatah (bass), Abadi Soesman (keyboard), dan Fajar Satritama (drum). Turut bergabung Hendra Lie yang bertindak sebagai Executive Produser Album ‘Anthology 50th Anniversary’’ dan musisi Tohpati selaku penata musik.
Baca Juga : Peduli Kesehatan Mental, Mas Dhito Kunjungi Warga ODGJ di Sanggar Kesehatan Jiwa Baitul Latifa Kediri
‘Anthology’’ berisi 11 lagu terbaik serta satu komposisi instrumental medley yang berasal dari enam album selama 50 tahun karir God Bless di dunia musik. Seluruh lagu telah diaransemen ulang dan direkam bersama iringan orkestra dari Czech Symphony Orchestra yang dikomandoi Tohpati.
Lagu-lagu terbaik God Bless mulai dari Menjilat Matahari, Bla Bla Bla, Huma di Atas Bukit, Kehidupan, Serigala Jalanan, Jalan Pulang, Balada Sejuta Wajah, Musisi, Rumah Kita, Semut Hitam, dan Maret 89, bisa didengarkan di album ini secara megah dengan balutan orchestra. Sayangnya, di album ini tidak ada lagu Selamat Pagi Indonesia, sebuah lagu lama yang diciptakan God Bless untuk mengenang Kusni Kasdut.
Album terbaru God Bless sangat layak mendapat apresiasi, namun bolehlah sejenak kita bergeser ke belakang untuk mengulas lagu berjudul Selamat Pagi Indonesia.Ya, Selamat Pagi Indonesia adalah lagu yang diciptakan secara khusus oleh God Bless untuk mendiang Kusni Kasdut. Lagu ini masuk dalam materi album Cermin yang dirilis pada tahun 1980 dan dirilis ulang dalam album Cermin 7 yang rilis pada tahun 2015 silam.
Selamat Pagi Indonesia adalah lagu yang diciptakan gitaris God Bless Ian Antono bersama Theodore K.S. Lagu ini bernotasi lebar, progresif dan mengena syairnya. Dan tentu akan terasa lebih megah jika direkam ulang dan dibawakan dengan format orkestra. Sekali lagi sayang, lagu ini tidak masuk sebagai materi dalam album terbaru God Bless ‘Anthology 50th Anniversary’.
Tentang Kusni Kasdut, dia adalah seorang penjahat Indonesia yang dikenal karena melakukan perampokan 11 permata di Museum Gajah pada 31 Mei 1961. Pada masa revolusi kemerdekaan ia tergabung tak resmi sebagai laskar rakyat yang bahu membahu bersama TNI.
Setelah perang selesai dan Indonesia kembali berdaulat, Kusni terus mencari pekerjaan. Namun, entah karena ia berharap terlalu tinggi, atau apa, yang ia terima tak lain serangkaian kegagalan. Berbekal pengalaman semasa revolusi ’45, ia pun mencoba mendaftar masuk TNI.
Sayang, ia kembali ditolak saat mendaftar TNI. Tak hanya karena sebelumnya Kusni tak resmi terdaftar dalam kesatuan, ia pun cacat secara fisik. Kaki kirinya sedikit timpang terserempet tembakan yang ia peroleh semasa perang.
Putus asa, Kusni kemudian memilih jadi penjahat. Pelan tapi pasti, satu persatu kejahatan akhirnya dirasakan Kusni sebagai buah manis yang membuatnya ketagihan. Bahkan jeweran dari seorang yang dihormatinya, Subagio, seniornya semasa revolusi, tak mempan.
Parahnya, pengalaman tertangkap Belanda semasa revolusi membuat Kusni memandang penjara sebagai lembaga tempat penyiksaan. Karena itu, untuk menghindari penangkapan yang berujung penjara, ia rela membunuh korbannya bila dirasa terpaksa. Kusni, kemudian seolah monster haus darah.
Pada 31 Mei 1961, ibukota Negara di Jakarta gempar. Tak lain karena Museum Nasional Jakarta (Gedung Gajah) dirampok gerombolan Kusni Kadut. Ibarat film, Kusni yang menggunakan jeep dan mengenakan seragam polisi, menyandera pengunjung dan menembak mati seorang petugas museum. Dalam aksi nekat itu ia membawa lari 11 butir permata koleksi museum. Segera Kusni Kadut jadi buronan terkenal.
Sekian tahun buron, Kusni tertangkap ketika mencoba menggadaikan permata hasil rampokannya di Semarang. Petugas pegadaian curiga karena ukurannya yang tidak lazim. Akhirnya ia ditangkap, dijebloskan ke penjara dan divonis mati atas rangkaian kejahatannya.
Meskipun hidupnya berakhir di depan regu tembak karena didakwa menjadi penjahat, Kusni Kasdut disebut-sebut adalah Wong Blitar yang ikut serta dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Dalam perang ini, Kusni tampil gagah berani sebagai pejuang, bekal semangat juangnya adalah cerita dari sang ibu mengenai kisah kepahlawanan ayahnya di Blitar. Kusni Kasdut pun lahir sebagai patroit sejati membela negeri berkat cerita ini.
Pada suatu hari, Kusni Kasdut dan rekan-rekan seperjuanganya hendak berangkat ikut perang di Surabaya pada 17 Oktober 1945. Mereka akan bergerilya melalui TKR menuju Surabaya. Sebelum berangkat, Kusni terlebih dahulu berpamitan kepada ibunya yang akrab disapa Mbok Kastun atau Mbok Cilik. Dalam pertemuan ini, Mbok Cilik bercerita tentang ihwal masa lalu dan kelahiran Kusni Kasdut. Kepada Kusni, Mbok Cilik menuturkan bahwa, ia lahir di Blitar dari seorang ayah yang merupakan seorang Lurah Jati Turi. Cinta ibu Kusni dan suaminya berakhir kandas karena sang ibu tidak mau dimadu, Mbok Kastun kemudian melarikan diri dari Blitar.
Setelah meninggalkan Jati Turi, Mbok Kastun membawa anak-anaknya menetap di Malang, tepatnya di gang jangkrik wetan pasar. Tentunya kisah ini merupakan sisi lain yang sengaja tidak ditonjolkan oleh sang ibu. Sebelum mengetahui cerita ini, Kusni hanya tahu ayahnya meninggal dunia pada tahun 1942 ketika sang lurah dipaksa menjadi Romusha. Ayah Kusni Kasdut dalam cerita ini digambarkan sebagai sosok lurah yang rela berkorban untuk rakyat dan rela menceburkan diri bersama rakyat sebagai Romusha.
Cerita baru tentang ayahnya yang seorang Lurah Jati Turi yang disampaikan sang ibu benar-benar masuk dalam sanubari Kusni Kasdut. Cerita Mbok Cilik tersebut merupakan titik awal yang kemudian menggugah nyali Kusni Kasdut untuk mengikuti jejak perjuangan sang ayah. Kenyataannya, Kusni Kasdut dalam perjuangan revolusi dikenal sangat militan.
Dua tahun berselang, yakni tahun 1947 merupakan titik balik bagi Kusni Kasdut atas kebanggaannya sebagai Wong Blitar anak Lurah Jati Turi. Pada suatu kesempatan Kusni Kasdut bersama pasukannya terdesak hingga ke Wlingi. Bagi Kusni Kasdut pertempuran setelah 10 november 1945 sudah tidak lagi heroik, oleh karena itu tidak ada salahnya sejenak untuk beristirahat. Kusni pun memutuskan untuk mengunjungi Blitar guna menggali lebih jauh tanah asal usulnya tersebut.
Baca Juga : Kisah Mangkunegara II Perjuangkan Harta Warisan Pangeran Sambernyawa yang Dirampas Koruptor Belanda
Jati Turi Blitar, desa itulah yang kemudian ia tuju dan tidak disangka, saat tiba di Jati Turi, Kusni bertemu dengan sang ibu, Mbok Cilik. Tentunya pertemuan itu merupakan suatu kebetulan dan saat-saat istimewa bagi Kusni Kasdut. Bertemu wanita yang telah melahirkannya di tanah kelahiran sungguh peristiwa yang luar biasa. Terlebih lagi, Blitar seperti yang selama ini diceritakan oleh sang ibu mengenai ayahnya lurah jati Turi, tentu Kusni berharap akan mendapatkan lebih banyak cerita lagi mengenainya.
Namun, semua cerita itu seakan lenyap dalam waktu sekejap. Di Jati Turi, Mbok Cilik sang ibu mulai membuka jati diri Kusni. Kusni tidak berasal dari Blitar, ia juga bukan orang kelahiran Malang. Ayah Kusni bukanlah Lurah Jati Turi seperti apa yang selama ini diceritakan kepadanya. Cerita ini bahkan sudah terlanjur menjiwai langkah Kusni dalam perjuangan selama di Surabaya. Ternyata ayah kandung Kusni bernama Wonomejo seorang petani biasa yang miskin. Sebelum menikah dengan Mbok Cilik ibu Kusni, Wonomejo telah berkeluarga dan dikruniai delapan anak. Wonomejo menikah dengan Mbok Cilik dan dikaruniai dua anak yakni Kusni dan Kuntring. Kusni sendiri lahir tahun 1929.
“Selama hidup ini, ibu ingin membesarkan hatimu, nak. Cerita tentang Lurah Jati Turi itu benar adanya, tetapi dia bukan ayahmu. Aku menceritakannya sebagai ayahmu agar kau bangga,” ungkap Mbok Kastun sambil menangis.
Mendengar penuturan ibunya, hati Kusni Kasdut hancur. Kebanggaan dirinya kepada Desa Jati Turi hancur. Cerita- cerita yang pernah ia banggakan kepada kawan-kawan sesama pejuang di Surabaya kandas dalam sekejap. Dengan hati yang terluka, Kusni pun bertekad mencari kebanggaan dari dalam dirinya sendiri, tekad yang di kemudian hari merubah dirinya menjadi penjahat nomor satu di negeri ini.
Kejahatan Kusni Kasdut menjadi kisah paling kelam di negeri ini. Setelah tertangkap di Semarang dan diadili, Kusni akhirnya menghadap regu tembak pada 16 Februari 1980.
Sebelum dieksekusi mati, beberapa hal yang diminta Kusni dipenuhi. Ia menikmati sembilan jam terakhirnya di ruang kebaktian Katolik LP Kalisosok, dikelilingi anggota keluarganya: Sunarti (istri keduanya), Ninik dan Bambang (anak dari istri pertama), Edi (menantu, suami Ninik) dan dua cucunya, serta anak Ninik. Kusni juga menikmati jamuan makan terakhir dengan lauk capcai, mie dan ayam goreng.
Peristiwa terakhir Kusni Kasdut menuju regu tembak inilah yang diabadikan God bless dalam lagu Selamat Pagi Indonesia. Seperti sebuah documenter, di lagu ini God Bless memotret jika Kusni yang penjahat itu memiliki rasa cinta yang sangat tinggi kepada Indonesia. Meskipun dia menjadi perampok dengan julukan Robin Hood nya Indonesia, namun Kusni Kasdut memiliki rasa nasionalisme yang sangat tinggi seperti yang dilukiskan dalam bait-bait lagu Selamat Pagi Indonesia ini :
Sayap burung berkepak
Menembud embun pagi
Terbang menerjanh keheningan gerbang dini
Terperanjat mendengar
Derap langkahnya yang begitu tenang
Melangkah menuju keabadian
Rumpun bambu bergoyang
Gemrisik dan melambai
Seakan memberi kata selamat jalan
Rumput-rumput nan hijau
Bermandi embun tunduk dengan pilu
Menatap dia pergi pagi ini
Langkahnya..
Berderap dan pandangannya menatap ke depan
Tegakkan..
Dadanya seakan dia mwnantang perang
Di bibirnya terlukis senyum
Yang yakin akan kebenaran
Matanya berbinar dalam keredupan
Mulutnya bergerak menyusun doa terakhir baginya
Yang meluncur menembus himpitan sepi
Kemanakah kucari
Kebenaran…
Kedamaian…
Kasih sayang…
Kemana…
(Kemana akan kucari)
Surya merekah pagi
Membuka tabir hari
Tapi dia takkan kuasa melihat lagi
Seandainya kuasa membuka
Mulit mungkin akan berkata
(Selamat Pagi Indonedia, Cintaku)