JATIMTIMES-Siapa yang tak mengenal Kusni Kasdut, penjahat nomor satu di negeri ini yang dieksekusi mati pada zaman Presiden Soeharto. Kusni adalah sosok kontroversial, dibenci namun juga dikagumi.
Selain kisah kelam hidupnya, asal-usul Kusni selalu menarik untuk diulas dan didiskusikan. Berdasarkan penelusuran penulis, asal usul Kusni Kasdut hingga kini masih banyak dipertanyakan.
Baca Juga : Candi Simping, Makam Pendiri Majapahit di Blitar yang Pertama Kali Ditemukan Orang Belanda
Ada sumber yang menyatakan dia berasal dari Malang dan ada pula yang menyatakan dia berasal dari Blitar dan juga Tulungagung. Di tulisan ini, kita akan mengulas salah satu sumber keterkaitan Kusni berasal dari Blitar, kota tempat peristirahatan terakhir Presiden pertama RI Ir Soekarno (Bung Karno).
Sumber terkait ulasan Kusni Kasdut berasal dari Blitar bisa ditemukan di buku Wong Blitar karya Herry Setyabudi. Bagi orang Blitar, Kusni dianggap sebagai warga asli daerah ini. Bahkan dulu saat masih menjabat, Bupati Blitar Rijanto dalam beberapa sambutannya saat menghadiri dan membuka acara kerap menyatakan jika Kusni Kasdut adalah Wong Blitar. Di tulisan ini kita akan mengulasnya dengan membedah salah satu bab dari buku Wong Blitar karya Herry Setyabudi.
Meskipun hidupnya berakhir di depan regu tembak karena didakwa menjadi penjahat, Kusni Kasdut disebut-sebut adalah Wong Blitar yang ikut serta dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Dalam perang ini, Kusni tampil gagah berani sebagai pejuang, bekal semangat juangnya adalah cerita dari sang ibu mengenai kisah kepahlawanan ayahnya di Blitar. Kusni Kasdut pun lahir sebagai patriot sejati membela negeri berkat cerita ini.
Pada suatu hari, Kusni Kasdut dan rekan-rekan seperjuangannya hendak berangkat ikut perang di Surabaya pada 17 Oktober 1945. Mereka akan bergerilya melalui TKR menuju Surabaya. Sebelum berangkat, Kusni terlebih dahulu berpamitan kepada ibunya yang akrab disapa Mbok Kastun atau Mbok Cilik.
Dalam pertemuan ini, Mbok Cilik bercerita tentang ihwal masa lalu dan kelahiran Kusni Kasdut. Kepada Kusni, Mbok Cilik menuturkan bahwa, ia lahir di Blitar dari seorang ayah yang merupakan seorang Lurah Jati Turi. Cinta ibu Kusni dan suaminya berakhir kandas karena sang ibu tidak mau dimadu, Mbok Kastun kemudian melarikan diri dari Blitar.
Setelah meninggalkan Jati Turi, Mbok Kastun membawa anak-anaknya menetap di Malang, tepatnya di gang jangkrik wetan pasar. Tentunya kisah ini merupakan sisi lain yang sengaja tidak ditonjolkan oleh sang ibu. Sebelum mengetahui cerita ini, Kusni hanya tahu ayahnya meninggal dunia pada tahun 1942 ketika sang lurah dipaksa menjadi Romusha. Ayah Kusni Kasdut dalam cerita ini digambarkan sebagai sosok lurah yang rela berkorban untuk rakyat dan rela menceburkan diri bersama rakyat sebagai Romusha.
Cerita baru tentang ayahnya yang seorang Lurah Jati Turi yang disampaikan sang ibu benar-benar masuk dalam sanubari Kusni Kasdut. Cerita Mbok Cilik tersebut merupakan titik awal yang kemudian menggugah nyali Kusni Kasdut untuk mengikuti jejak perjuangan sang ayah. Kenyataannya, Kusni Kasdut dalam perjuangan revolusi dikenal sangat militan.
Dua tahun berselang, yakni tahun 1947 merupakan titik balik bagi Kusni Kasdut atas kebanggaannya sebagai Wong Blitar anak Lurah Jati Turi. Pada suatu kesempatan Kusni Kasdut bersama pasukannya terdesak hingga ke Wlingi. Bagi Kusni Kasdut pertempuran setelah 10 november 1945 sudah tidak lagi heroik, oleh karena itu tidak ada salahnya sejenak untuk beristirahat. Kusni pun memutuskan untuk mengunjungi Blitar guna menggali lebih jauh tanah asal usulnya tersebut.
Jati Turi Blitar, desa itulah yang kemudian ia tuju dan tidak disangka, saat tiba di Jati Turi, Kusni bertemu dengan sang ibu, Mbok Cilik. Tentunya pertemuan itu merupakan suatu kebetulan dan saat-saat istimewa bagi Kusni Kasdut. Bertemu wanita yang telah melahirkannya di tanah kelahiran sungguh peristiwa yang luar biasa. Terlebih lagi, Blitar seperti yang selama ini diceritakan oleh sang ibu mengenai ayahnya Lurah Jati Turi, tentu Kusni berharap akan mendapatkan lebih banyak cerita lagi mengenainya.
Namun, semua cerita itu seakan lenyap dalam waktu sekejap. Di Jati Turi, Mbok Cilik sang ibu mulai membuka jati diri Kusni. Kusni tidak berasal dari Blitar, ia juga bukan orang kelahiran Malang. Ayah Kusni bukanlah Lurah Jati Turi seperti apa yang selama ini diceritakan kepadanya.
Cerita ini bahkan sudah terlanjur menjiwai langkah Kusni dalam perjuangan selama di Surabaya. Ternyata ayah kandung Kusni bernama Wonomejo seorang petani biasa yang miskin. Sebelum menikah dengan Mbok Cilik ibu Kusni, Wonomejo telah berkeluarga dan dikaruniai delapan anak. Wonomejo menikah dengan Mbok Cilik dan dikaruniai dua anak yakni Kusni dan Kuntring. Kusni sendiri lahir tahun 1929.
“Selama hidup ini, ibu ingin membesarkan hatimu, nak. Cerita tentang Lurah Jati Turi itu benar adanya, tetapi dia bukan ayahmu. Aku menceritakannya sebagai ayahmu agar kau bangga,” ungkap Mbok Kastun sambil menangis.
Mendengar penuturan ibunya, hati Kusni Kasdut hancur. Kebanggaan dirinya kepada Desa Jati Turi hancur. Cerita- cerita yang pernah ia banggakan kepada kawan-kawan sesama pejuang di Surabaya kandas dalam sekejap. Dengan hati yang terluka, Kusni pun bertekad mencari kebanggaan dari dalam dirinya sendiri.
Di bawah bayang-bayang kenyataan pilu kenyataan terkait ayahnya, Kusni Kasdut kemudian kembali ke medan pertempuran hingga Belanda angkat kaki dari NKRI. Kembali ke medan juang, Kusni Kasdut seperti bayi yang terlahir kembali. Ia berubah beringas terutama terhadap para tentara Belanda.
Baca Juga : Evaluasi Program Peningkatan Kompetensi Dosen Pemula, Begini Arahan Rektor UIN Malang
Tidak hanya nyawa, harta benda orang-orang Belanda pun ia jarah untuk dibagi-bagikan kepada rakyat yang miskin. Kusni tampaknya ingin mewujudkan tekadnya untuk menciptakan jati dirinya yang sesungguhnya, kendati kebiasaannya itu di masa setelah revolusi justru dikategorikan sebagai tindakan kriminal.
Setelah perang bekarhir dan Indonesia kembali berdaulat, Kusni terus mencari pekerjaan. Namun, entah karena ia berharap terlalu tinggi, atau apa, yang ia terima tak lain serangkaian kegagalan. Berbekal pengalaman semasa revolusi ’45, ia pun mencoba mendaftar masuk TNI.
Sayang, ia kembali ditolak. Tak hanya karena sebelumnya Kusni tak resmi terdaftar dalam kesatuan, ia pun cacat secara fisik. Kaki kirinya sedikit timpang terserempet tembakan yang ia peroleh semasa perang. Kenyataan yang kemudian merubah arah hidup Kusni Kasdut.
Kusni yang bernama asli Waluyo kemudian berteman dengan Bir Ali. Ali seorang laki-laki asal Cikini kecil (sekarang wilayah sekitar Hotel Sofyan), mantan suami penyanyi Ellya Khadam. Nama lengkapnya Muhammad Ali, dijuluki Bir Ali karena kesukaannya menenggak bir sebelum melakukan aksi. Kelak, Ali menjalani hukuman mati pada 16 Februari 1980 karena membunuh Ali Badjened, seorang Arab kaya raya, saat merampok rumahnya.
Parahnya, pengalaman tertangkap Belanda semasa revolusi membuat Kusni memandang penjara sebagai lembaga tempat penyiksaan. Karena itu, untuk menghindari penangkapan yang berujung penjara, ia rela membunuh korbannya bila dirasa terpaksa. Kusni, kemudian yang bekas pejuang itu berubah menjadi monster haus darah.
Berbekal sepucuk pistol, pada tahun 1960-an Kusni bersama Bir Ali merampok dan membunuh seorang Arab kaya raya bernama Ali Badjened. Ali Badjened dirampok sore hari ketika baru saja keluar dari kediamannya di kawasan Awab Alhajiri, Kebon Sirih. Dia meninggal saat itu juga akibat peluru yang ditembakkan Ali dari atas jeep. Perampokan itu pada masa itu sangat menggegerkan.
Berselang satu tahun, pada 31 Mei 1961, Jakarta kembali gempar. Tak lain karena Museum Nasional Jakarta (Gedung Gajah) dirampok gerombolan Kusni Kasdut. Ibarat film, Kusni yang menggunakan jeep dan mengenakan seragam polisi, menyandera pengunjung dan menembak mati seorang petugas museum. Dalam aksi nekat itu ia membawa lari 11 butir permata koleksi museum. Segera Kusni Kadut jadi buronan terkenal.
Sekian tahun buron, Kusni tertangkap ketika mencoba menggadaikan permata hasil rampokannya di Semarang. Petugas pegadaian curiga karena ukurannya yang tidak lazim. Akhirnya ia ditangkap, dijebloskan ke penjara dan divonis mati atas rangkaian kejahatannya.
Pada masanya, Kusni adalah penjahat spesialis barang antik. Kisahnya sebagai sosok penjahat berdarah dingin ternyata tidak hanya dikenang oleh para korban atau keluarga korban. Ia juga sempat dijuluki Robin Hood Indonesia, karena ternyata hasil rampokannya sering dibagi-bagikan kepada kaum miskin.
Di hari-hari terakhir hidupnya, Kusni bertobat dan menyesali kesalahan-kesalahan yang pernah ia lakukan. Itu karena perkenalannya di penjara dengan seorang pemuka agama Katolik. Ia pun memutuskan menjadi pengikut setia, dan dibaptis dengan nama Ignatius Kusni Kasdut.
Sebelum dieksekusi mati, beberapa hal yang diminta Kusni dipenuhi. Ia menikmati sembilan jam terakhirnya di ruang kebaktian Katolik LP Kalisosok, dikelilingi anggota keluarganya: Sunarti (istri keduanya), Ninik dan Bambang (anak dari istri pertama), Edi (menantu, suami Ninik) dan dua cucunya, anak Ninik. Kusni juga menikmati jamuan makan terakhir dengan lauk capcai, mie dan ayam goreng.