JATIMTIMES- Madiun perlahan-lahan menjadi daerah penting di tanah Jawa setelah jatuh dan dikuasai Kesultanan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Pentingnya Madiun bagi Mataram saat itu tak lepas dari sosok Retno Dumilah, putri Madiun yang dipersunting Senopati.
Keturunan Retno Dumilah secara turun temurun menjadi pemimpin tertinggi di Madiun dibawah kekuasaan Mataram yang semakin hari kian menancapkan taringnya di tanah Jawa.
Baca Juga : Berdasarkan Bulan Timbang, Stunting di Kabupaten Malang Turun di Angka 6,7 Persen
Sedikit membahas di ulasan sebelumnya. Setelah menikah dengan Panembahan Senopati, Retno Dumilah bergelar Raden Ayu Jumilah. Pernikahan ini melahirkan tiga orang putra yakni Raden Mas Julig, Raden Bagus (kelak bergelar Pangeran Adipati Juminah, kemudian diangkat sebagai panembahan) dan Raden Mas Keniten (kelak bergelar Pangeran Adipati Martalaya ing Madiun).
Raden Bagus, putra kedua Senopati dengan Retno Dumilah menjadi putra yang paling terkenal. Sumber dari Belanda menyatakan sebutan Pangeran Adipati Juminah dan mungkin sama dengan Kiai Adipati Madiun yang disebut di tempat lain. Namun Sejarawan H.J De Graaf dengan tegas menyebut, Juminah ini adalah sebutan yang sama dengan Blitar. Catatan sejarah juga menyebutkan, Pangeran Adipati Juminah turut serta dalam serangan Mataram ke Batavia pada 1629.
Pangeran Adipati Juminah ditunjuk oleh Senapati sebagai Adipati Madiun setelah usianya cukup dewasa. Dialah bangsawan pertama dari Mataram yang bergelar Pangeran Blitar (Juminah). Sebelumnya, di awal Madiun jatuh ke tangan Mataram, Senopati menunjuk putra kakaknya Pangeran Mangkubumi sebagai bupati Madiun. Keponakan Senopati itu bernama Bagus Petak.
“Yang paling mudah dapat diterima ialah bahwa Senapati pertama-tama mengangkat kemenakannya Bagus Petak atas Madiun, dan baru kemudian menyuruh putranya sendiri Raden Adipati Juminah, setelah cukup dewasa, menggantikan kemenakannya di Madiun,” kata Sejarawan H.J de Graaf dalam buku Awal Kebangkitan Mataram.
Panembahan Adipati Juminah dan keturunanya memerintah Madiun secara turun temurun hingga Perjanjian Giyanti 1755. HJ de Graaf berpendapat, ditunjuknya Panembahan Juminah dan keturunannya sebagai bupati Madiun secara turun temurun ada beberapa sebab. Selain keturunan penguasan Mataram, Panembahan Juminah adalah cucu dari Pangeran Timur, penguasa Madiun yang amat dicintai rakyatnya.
“Mungkin ia (Panembahan Juminah) dan keturunanya memerintah Madiun kembali sebagai penghubung yang cocok antara Kerajaan Mataram dan Kerajaan Madiun, karena ia putra Senapati dan cucu penguasa terakhir yang merdeka atas Madiun,” imbuh H.J De Graaf.
Panembahan Juminah memiliki putra bernama Adipati Balitar (Bupati Madiun 1645-1677) sekaligus cucu dari bangsawan bernama Pangeran Balitar Tumapel (Bupati Madiun 1677-1703). Pangeran Balitar Tumapel tidak lain adalah ayah dari Ratu Mas Blitar yang kemudian bergelar Ratu Pakubuwono, permaisuri Sunan Pakubuwono I. Ratu Mas Blitar memiliki saudara laki laki Pangeran Ario Blitar yang menjabat Bupati Madiun periode 1707-1709.
Ratu Mas Blitar yang juga dikenal sebagai Raden Ayu Puger, cukup berpengaruh di lingkungan Keraton Kartasura pada awal hingga pertengahan abad ke-18. Ratu Mas Blitar merupakan seorang bangsawan Jawa terhormat yang kelak menurunkan raja di Surakarta, Yogyakarta, Mangkunegaran dan Pakualaman. Ratu Mas Blitar juga pernah menjabat singkat sebagai Bupati Madiun, sejarah yang tidak banyak diketahui orang.
Namun sayangnya, ketokohan Ratu Mas Blitar atau Ratu Pakubuwono nampaknya kurang dikenal oleh masyarakat Madiun. Mungkin saja hal tersebut tidak lepas dari masa pemerintahan sang ratu yang hanya pernah menjabat Bupati Madiun dalam kurun waktu yang sangat singkat antara 1703 dan 1704. Selanjutnya, dia mengikuti suaminya Sunan Pakubuwono I (Pangeran Puger) bertahta di Kartasura pada 1704. Setelahnya, ada lagi bupati Madiun keturunan dari Retno Dumilah yang bergelar Pangeran Ario Blitar memimpin daerah ini selama beberapa tahun saja (1704-1709).
Dari pembahasan diatas, menarik kiranya kita menelisik para bangsawan yang memakai gelar Balitar dan Blitar, tokoh-tokoh yang berasal dari garis keturunan Retno Dumilah dari Madiun. Benarkah Retno Dumilah, putri dari Pangeran Timur itu memiliki keterkaitan dengan Blitar?, sebuah daerah berusia tua di wilayah Jawa Timur. Di tulisan ini kita akan membahasnya.
Dilansir dari buku Awal Kebangkitan Mataram karya H.J De Graaf, setelah mengangkat dirinya menjadi Raja pertama Kesultanan Mataram dengan gelar Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama, Panembahan Senopati juga memberikan gelar-gelar kebangsawanan dan kenaikan pangkat untuk anggota keluarga, saudara, putra-putranya dan patihnya. Beberapa pengangkatan itu diantaranya memakai gelar Pangeran Singasari, Pangeran Puger dan Pangeran Juminah. Menurut De Graaf, Juminah dimaksudkan adalah sama dengan sebutan Blitar.
“Dengan demikian, kita memperoleh nama tiga daerah yang berdekatan, tetapi tidak begitu berarti sehingga orang bertanya mengapa pangeran-pangeran terkemuka itu dinamakan justru menurut daerah-daerah yang pada abad XVII penduduknya langka sekali,” ungkap De Graaf.
Dari tiga nama pangeran diatas, ada yang memakai nama daerah termasyhur di masa kerajaan terdahulu, yaitu Singasari, kerajaan sebelum pendahulu Majapahit. Menurut De Graaf, pemakaian nama ini untuk gelar pangeran di Mataram rupanya ada maksud Senopati ingin melebihi para penguasa di ujung timur Jawa dengan menyematkan saudaranya dengan gelar yang diketahui lebih tua dan lebih asli daripada Majapahit.
Setelah Singosari, mengartikan Blitar dan Puger lebih sulit lagi bagi gelar pangeran di Mataram. Kedua daerah yang disebut terakhir ini merupakan daerah yang tidak berarti pada abad XVII. Kedua daerah ini menurut De Graaf, tidak memiliki sejarah yang kuat dan hidup, karenanya tidak disebut dalam pararaton.
“Mungkin Senapati ingin membuat tiruan Kerajaan Mataram di Jawa Timur, seperti bentuknya pada 1588, yaitu dengan Mataram yang sebenarnya di tengah, dan diapit oleh Bagelen serta Pajang. Begitulah Singasari di Timur diapit oleh Blitar dan Puger. Jadi dengan pengangkatan Pangeran Singasari, Pangeran Blitar dan Pangeran Puger, Senapati mungkin bermaksud menyatakan haknya atas suatu daerah yang serupa dengan apa yang sudah dimilikinya di Jawa Tengah. Dengan demikian, pengangkatan seperti itu dapat dianggap sebagai semacam program pemerintahan, ya mungkin juga sebagai suatu pernyataan perang,” papar De Graaf dalam buku Awal Kebangkitan Mataram.
Terkait dengan daerah Blitar yang banyak digunakan sebagai gelar Pangeran Kerajaan Mataram dan penguasa Madiun namun tidak satupun yang pernah ada yang menjabat bupati di Blitar di zaman Kesultanan Mataram, dijelaskan secara panjang lebar dan terinci oleh De Graaf. Menurut De Graaf, mengambil nama suatu daerah sama sekali tidak berarti bahwa orang itu berkuasa di daerah tersebut. Kemudian ternyata bahwa para pemegang gelar ini memerintah di daerah-daerah yang berlainan dari daerah yang namanya mereka pakai. Seperti Pangeran Blitar yang secara turun temurun menjadi bupati di Madiun, daerah asal Retno Dumilah, permaisuri Panembahan Senopati.
“Menarik perhatian bahwa tidak seorang pun dari para pembesar ini memakai nama Kediri. Sehubungan dengan hal ini kemudian ternyata ada sesuatu yang istimewa. Apakah Senapati tidak mau menyakiti hati para pembesar yang mungkin bisa jadi sekutunya,” lanjut De Graaf.
Gelar yang diberikan Senopati kepada para pembesar itu kemudian memainkan peranan penting untuk kejayaan Mataram.Sejarah mencatat, Pangeran Blitar, Pangeran Singasari, Pangeran Puger dan Pangeran Purbaya selama pengepungan kedua atas Batavia pada 1629 dengan sengaja berada di barisan paling depan. Dan setelah kegagalan serangan ke Batavia itu, keempat pangeran itu tidak diberikan hukuman. Kondisi ini berkebalikan dengan tokoh-tokoh yang tidak begitu tinggi kedudukannya dan gelarnya tidak begitu mentereng, mereka dihukum mati oleh Sultan Agung.