JATIMTIMES- Nama Joko Kandung begitu melegenda di kalangan masyarakat Blitar dan Tulungagung. Cerita turun temurun menceritakan Joko Kandung adalah pemimpin tertinggi Kadipaten Blitar di masa silam dengan gelar Adipati Ariyo Balitar III.
Hingga kini tidak diketahui letak Joko Kandung dimakamkan. Bak sebuah dongeng, jejaknya yang paling jelas hanya dapat ditemui di Bukit Alam Kandung yang lokasinya berada di Kecamatan Rejotangan Kabupaten Tulungagung.
Baca Juga : Momen Imlek, LMA Ajak Akhiri Diskriminasi dan Hargai Perbedaan
Dulu di masa Blitar dipimpin Adipati Ariyo Balitar, daerah tersebut masuk dalam wilayah administratif Kadipaten Blitar.
Di tulisan kali ini, JATIMTIMES berupaya menelusuri jejak Adipati Ariyo Balitar III di situs bersejarah bukit Alam Kandung. Lokasi bukit ini berada di kawasan obyek wisata Grojokan Sewu Air Terjun Alam Kandung di Desa Tanen, Kecamatan Rejotangan, Kabupaten Tulungagung.
Lonjakan wisatawan yang luar biasa membuat wisata air terjun ini kini menjadi maskot Kabupaten Tulungagung. Belakangan, pamor obyek wisata air terjun ini mengalahkan pamor situs bersejarah petilasan Joko Kandung yang kemudian menjadi pemimpin Blitar berikutnya dengan gelar Adipati Ariyo Balitar III.
Petilasan Joko Kandung ini lokasinya berada di puncak bukit. Lokasinya berada diujung persawahan warga. Untuk menuju ke lokasi tersebut harus melalui jalan persawahan yang tidak beraspal.
Satu-satunya yang tersisa di lokasi tersebut adalah gantangan burung milik Joko Kandung. Terdapat pula pohon besar dikelilingi batu-batu kuno. Juga sesajen kembang dengan bekas dupa nampak ada di lokasi saat pewarta JATIMTIMES menyambangi lokasi tersebut.
Sejarawan Wisnu Ardiyanto mengatakan bukit Alam Kandung merupakan petilasan dari Raden Joko Kandung atau Adipati Ariyo Balitar III. Dalam buku Arjo Blitar karangan Raden Kartowibowo disebutkan, bukit Alam Kandung bukan hanya tempat pertapaan Raden Joko Kandung.
Namun tempat tersebut dulunya juga merupakan pusat pemerintahan Blitar lama era pemerintahan Adipati Aryo Balitar III. Setelahnya pusat pemerintahan kadipaten dipindahkan ke Srengat.
“Kalau saya pribadi melihat, kisah Aryo Balitar ini bukan legenda, tapi fakta. Kalau dibilang legenda, bukti otentiknya ada. Salah satu bukti otentik itu adalah petilasan Raden Joko Kandung, situs itu bahkan gantangan burung milik Joko Kandung tetap ada, ini merupakan bukti jika kisah ini bukan legenda,” kata Wisnu.
Masih menurut buku Arjo Blitar karangan Raden Kartowibowo, disebutkan pusat pemerintahan Blitar berpindah beberapa kali. Setelah dari Rejotangan, pusat pemerintahan pindah ke Srengat (sekarang Kecamatan Srengat Kabupaten Blitar), lalu ke Kelurahan Blitar dan selanjutnya di utara Alun-alun Kota Blitar yang saat ini berdiri Pendapa Agung Ronggo Hadi Negoro.
“Di Srengat bupati terakhir yang menjabat ya Ndoro Tedjo Kusumo itu, setelah itu pusat pemerintahan Blitar pindah ke Kelurahan Blitar,” terang Wisnu.
Kembali membahas perjuangan Joko Kandung yang heroik. Cerita turun temurun mengisahkan bahwa Joko Kandung menyusun siasat di bukit Alam Kandung untuk menghabisi Ki Ageng Sengguruh.
Dengan burung perkutut putih bersuara merdu, Joko Kandung berhasil menarik hati Ki Ageng Sengguruh dan seisi istana Kadipaten Blitar. Gayung bersambut, Ki Ageng Sengguruh memiliki niat untuk membeli burung perkutut putih milik Joko Kandung.
Satu langkah misinya berhasil, Joko Kandung mengabulkan keinginan Ki Ageng Sengguruh untuk membeli burung perkutut putih miliknya asalkan Sengguruh yang bergelar Adipati Aryo Balitar II bersedia mengabulkan permintaannya agar Joko Kandung tetap memelihara burung perkutut putih itu di istana Kadipaten Blitar.
Baca Juga : Musim Durian di Tulungagung, Ini Tips Memilih Agar Dapat Buah yang Legit
Permintaan tersebut dikabulkan, bahkan Ki Ageng Sengguruh juga mengangkat Joko Kandung menjadi anak angkatnya. Sebagai anak angkat, Joko Kandung juga diperkenankan untuk memilih senjata yang menjadi kesukaan untuk dimilikinya.
Pilihan Joko Kandung jatuh pada sebilah keris tanpa sarung yang diberi nama Keris Cepret. Singkat certia, Joko Kandung dengan basa basi menanyakan sejarah dan riwayat mengapa keris itu tidak memiliki sarung.
Ki Ageng Sengguruh pun kemudian bercerita panjang lebar. Diceritakannya bahwa keris itu adalah milik Adipati Aryo Balitar I (Nilo Suwarno). Keris itu direbut dan dipergunakan Sengguruh untuk membunuh Nilo Suwarno. Setelah Nilo Suwarno terbunuh, Sengguruh mengambil alih kepemimpinan Kadipaten Blitar dengan gelar Adipati Aryo Balitar II.
Tidak menunggu waktu, setelah mendengar penjelasan Ki Ageng Sengguruh, Joko Kandung mengambil Keris Cepret dan mengatakan kepada Adipati Ki Ageng Sengguruh bahwa dialah anak dari Nilo Suwarno atau Adipati Ariyo Blitar I. Hari itu juga, Joko Kandung menuntut balas kematian ayahnya.
Akhirnya Ki Ageng Sengguruh tewas di tangan Joko Kandung dengan senjata pusaka Keris Cepret (keris tanda pemegang jabatan Adipati yang sah). Setelah hari pembalasan itu, Joko Kandung merebut kembali jabatan Adipati dan dianugerahi menjadi Adipati Ariyo Blitar III.
”Sengguruh ini makamnya ada di Rejotangan barat Stasiun Kereta Api. Makamnya berada di luar baluwarti Kraton Kadipaten, karena saat itu dia lari dikejar-kejar hendak dibunuh oleh Joko Kandung. Keberadaan makam Sengguruh ini juga bukti jika kisah babad Ariyo Balitar ini benar-benar bukan hanya legenda, tapi fakta,” tegas Wisnu.
Berbeda dengan versi sejarah babad Ariyo Balitar yang ditulis Raden Kartowibowo dan disampaikan Sejarawan Wisnu Ardiyanto, dimana Joko Kandung memindahkan pusat pemerintahan ke Srengat setelah berhasil membunuh Sengguruh. Cerita turun temurun Rejotangan menyatakan Joko Kandung tidak meneruskan jabatannya dan diserahkan kepada orang lain.
Babad Rejotangan menyatakan Joko Kandung lebih memilih tinggal di alas atau hutan yang berada di perbukitan nan jauh dan memiliki sendang yang sangat indah. Belakangan orang-orang Rejotangan menyebut sendang yang indah itu dengan sebutan ’Sendang Joko Kandung’.
Buku Arjo Blitar karya Raden Kartowibowo juga menyatakan angka tahun Raden Joko Kandung memerintah Kadipaten Blitar. Dalam bukunya, Raden Kartowibowo mengisahkan pada tahun 1677 Joko Kandung dipanggil Raja Amangkurat II di istana Kraton Kasultanan Mataram di Kartasura. Bukti-bukti ini seakan menegaskan jika keberadaan tokoh Joko Kandung benar-benar ada.
”Eyang Karto (Raden Kartowibowo) menyatakan bahwa pada tahun 1677 Joko Kandung atau Ariyo Balitar III dipanggil ke Kraton Mataram oleh Sunan Amangkurat. Saat itu pusat pemerintahan Blitar berada di Srengat,” jelas Wisnu.