JATIMTIMES - Munculnya globalisasi mendorong perkembangan teknologi, telekomunikasi dan transportasi. Kemunculan globalisasi tidak hanya berdampak pada perkembangan teknologi, politik, ekonomi, dan budaya, melainkan berdampak pada dunia mode atau fashion dan lingkungan selama kurun waktu beberapa tahun ini dunia mode telah berkembang secara signifikan.
Sebelumnya, pada masa revolusi industri, fashion merupakan sebuah produk yang mahal, karena fashion dijahit dengan tangan dan sangat detail. Sehingga fashion hanya dinikmati oleh kalangan orang elite dan kaya. Namun pada tahun 1980 globalisasi muncul teknologi-teknologi baru, salah satunya teknologi mesin jahit untuk memproduksi pakaian secara masal dan hemat waktu. Yang mana dengan munculnya mesin jahit ini produksi pembuat sebuah baju dapat dibuat dengan lebih cepat dan murah sehingga nantinya fashion dapat diakses semua kalangan.
Baca Juga : PDAM Kota Batu dan Perhutani Malang Tandatangani Kerjasama Pemanfaatan Air Kawasan Hutan
Dengan adanya globalisasi ini, muncullah brand-brand dagang pakaian seperti H&M, ZARA, SHEIN, UNIQLO dan brand dagang lainnya yang masuk ke Indonesia. Industri fashion di dukung oleh globalisasi, semakin memudahkan pecinta mode untuk mengamati trend fashion dari berbagai dunia yang sedang booming dari masa ke masa. Trend fashion saat ini cenderung sangat cepat silih berganti dimana fenomena ini disebut dengan fast fashion. Fast fashion identik dengan cepatnya pergantian model fashion,bahan baku yang berkualitas buruk, sehingga tidak tahan lama.
Negara berkembang seperti Indonesia, India, Pakistan, Vietnam dan beberapa negara Asia lain banyak dijadikan sebagai sasaran untuk memproduksi barang-barang fast fashion karena minim dan kurang ketatnya regulasi dalam mengatur pembuangan limbah tekstil, disamping alasan upah dan biaya produksi yang rendah dari karyawan-karyawan negara berkembang.
Fast fashion selain memberikan kemudahan akses fashion pada semua kalangan baik ekonomi atas, menengah, hingga kebawah, memiliki dampak yang buruk sepert akibat trend fashion bergerak dengan cepat membuat kemampuan konsumen untuk memiliki lebih banyak pilihan dan dengan demikian berbelanja lebih sering. Terlebih adanya sosial media memberikan akses lebih terhadap perkembangan mode, ditambah dengan adanya isilah Outfit of the day atau OOTD mendorong konsumen menuju perilaku konsumtif terhadap produk fast fashion demi tampil trendy dan up to date.
Di lain sisi produsen industri fast fashion yang hanya mementingkan penjualan dan bisnisnya agar tetap berjalan, sehingga mereka cenderung untuk membuat produk semurah mungkin dan untuk mengurangi biayanya, alternatifnya adalah menurunkan kualitasnya. Dimana dengan kualitas yang buruk maka daya pakai dan simpan produk fast fashion relatif rendah dan cepat rusak. Maka barang-barang produksi fast fashion cepat harus dibuang juka rusak, ini akan meningkatkan sampah tekstil yang mana dapat mencemari lingkungan. seperti yang telah kita ketahui untuk menekan biaya produksi maka industri fast fashion juga akan menggunakan pewarna tekstil yang murah dan berbahaya, sehingga dapat menyebabkan pencemaran air dan beresiko terhadap kesehatan manusia. Polutan yang berupa zat warna yang secara langsung mengancam kesehatan individu, atau senyawa yang menyebabkan degradasi air dan membantu proses pertumbuhan alga yang berbahaya untuk ekosistem yang ada di air tersebut serta terjadinya kontaminasi air tanah.Wilayah sekitar produksi tekstil menghasilkan emisi yang menciptakan polusi asap.
Di Indonesia sendiri telah banyak terjadi pencemaran air sungai yang diakibatkan oleh limbah tekstil. Contohnya Sungai Citarum yang warna dari air sungainya selalu berubah-ubah disebabkan oleh pembuangan limbah tekstil ke sungai tersebut, kemudian Sungai Cileungsi yang tercemar limbah tekstil dengan ditandai warna air sungai yang berubah-ubah bahkan hingga menimbulkan bau menyengat.
Baca Juga : Hubungan Industrial K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) Untuk Para Buruh dan Wisatawan Di Paralayang Batu
Thrifting menurut saya dapat menjadi alternatif dalam mengurangi pembelian fast fashion, selain dengan gerakan slow fashion dan sustainable fashion. Thrifting sendiri merupakan kegiatan membeli pakaian-pakaian pre-loved atau barang bekas yang masih layak untuk digunakan. Thrift shopping belakangan ini semakin populer dan dianggap sebagai salah satu solusi berbelanja dengan manfaat tersendiri, terutama dari sisi lingkungan yang disebabkan oleh fast fashion, karena dengan harga yang lebih murah dan pakaian-pakaian dengan berbagai model, bahkan jika beruntung saat melakukan thrifting kita bisa menemukan baju-baju high fashion dengan harga yang miring.
Penulis: Dwi Indah Herma Saputri, Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang.