JATIMTIMES - Puluhan wartawan yang tergabung dalam PWI, IJTI, dan AJI di Banyuwangi berupaya lebih melek mitigasi bencana. Langkah ini sebagai bentuk kepedulian dan keprihatian atas terjadinya musibah bencana alam yang datang bertubi-tubi melanda dunia, termasuk di Kabupaten Banyuwangi.
Hal tersebut diwujudkan dengan digelarnya diskusi bertemakan “Jurnalis Melek Mitigasi di Balik Eksotisme Banyuwangi” di ruang rapat khusus DPRD Kabupaten Banyuwangi pada Kamis (22/12/2022).
Baca Juga : Jadi Atensi Pimpinan, Polres Malang Kerahkan 500 Personel di Ops Lilin Semeru 2022
Diskusi dimaksudkan untuk menambah pengetahuan wartawan dalam mitigasi bencana. Diskusi menghadirkan narasumber General Manager Geopark Ijen Abdillah Baraas dan Plt Kepala Pelaksana (Palaksa) BPBD Banyuwangi Mujito.
Menurut Abdillah Baraas, keindahan alam yang ada di dunia, termasuk potensi wisata alam yang ada di Kabupaten Banyuwangi, tidak lepas dari adanya fenomena alam yang sering disebut bencana.
“Contohnya Gunung Ijen yang terkenal dengan kawahnya atau bluefire-nya itu tercipta karena adanya letusan yang dahsyat pada ratusan tahun silam,” ujarnya.
Namun, lanjut Baraas, dalam menghadapi terjadinya fenomena-fenomena alam tersebut, umat manusia harus lebih arif dan bijak.
Baraas menambahkan, Indonesia adalah negeri yang rawan bencana geologis gempa bumi, banjir, tanah longsor, erupsi gunung api, puting beliung, tsunami dan lain sebagainya.
“Begitu juga di Banyuwangi. Yang penting adalah bagaimana caranya kita mengurangi risiko dan mempunyai rencana keadaan darurat untuk meminimalkan dampak terjadinya bencana,” ujar alumni ITB Bandung itu.
Seperti halnya peristiwa tsunami di Pancer, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi, pada tahun 1994 silam. Ratusan korban jiwa melayang karena diduga kurangnya pengetahuan akan bencana tsunami.
Untuk itu, perlu adanya program sosialiasi untuk lebih memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada masyarakat agar terjadinya fenomena alam yang mungkin akan terulang tidak mengakibatkan banyak korban jiwa.
“Karena yang harus diselamatkan ini sebenarnya manusianya, dalam tanda kutip harus lebih arif dan bijak hidup berdampingan dengan alam. Kalau alam bisa mencari jalannya sendiri,” tambah pria berkacamata tersebut.
Tokoh asal Genteng itu mencontohkan kearifan lokal masyarakat di Pulau Simeulue, Aceh. Mereka mampu membaca fenomena alam pantai yang dapat menyelamatkan banyak masyarakat dari bencana tsunami Aceh yang dahsyat pada tahun 2004 silam.
Baca Juga : Kemendagri Bocorkan Hasil Pertemuan Bupati Meranti dengan Kemenkeu
“Masyarakat di sana meneriakkan semong saat ada tanda-tanda tsunami. Teriakan semong ini merupakan peringatan dini yang diartikan adanya situasi di mana air laut surut dan masyarakat harus lari ke bukit,” jelasnya.
Semong Ini adalah pengetahuan yang diperoleh dari leluhur belajar dari kejadian bencana yang pernah terjadi puluhan tahun lalu.
Semong bagi masyarakat Pulau Simeulue disosialisasikan turun-temurun melalui dongeng dan legenda oleh tokoh masyarakat sehingga istilah ini jadi melekat dan membudaya di hati masyarakat pulau itu.
“Dengan pengetahuan yang dimiliki orang Simeulue, banyak masyarakat pesisir pantai lainnya di Aceh terselamatkan saat tsunami terjadi. Padahal secara geografis, letaknya sangat dekat dengan pusat gempa. Mereka memaksa orang untuk lari ke gunung,” ujarnya.
Sementara itu, Plt Palaksa BPBD Banyuwangi Mujito menegaskan bahwasanya Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banyuwangi telah memiliki mitigasi bencana meskipun belum sempurna dan butuh penambahan-penambahan.
“Hal itu dapat dilihat sudah banyak terpasangnya rambu-rambu proses evakuasi jika terjadinya bencana di daerah rawan sekaligus penanggulangannya,” ujarnya.
Hadir dalam acara diskusi ini, Sonny T. Danaparamita, anggota Komisi VI DPR RI; perwakilan Kodim 0825 Banyuwangi, Lanal dan Polresta Banyuwangi. Utusan dari Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan KB, kelompok sadar wisata (pokdarwis), pelaku wisata dan relawan bencana.