JATIMTIMES - Permohonan Uji Materi Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (Permendikbudristek 30/2021) ditolak oleh Mahkamah Agung.
Hal itu seperti dijelaskan dalam sistem informasi atau website yang dimiliki oleh Mahkamah Agung, di mana tertulis dalam amar putusan, "Tolak permohonan hak uji materiil". Putusan itu telah keluar sejak 14 April 2022, dengan hakim 1 Dr H Yodi Martono Wahyunadi SH MH, Hakim 2 Ia Sudaryono SH MH dan Hakim 3 Prof Dr Supandi SH Mhum.
Baca Juga : Serahkan SK CPNS Baru, Bupati Blitar Sampaikan Pesan Core Values BerAKHLAK
Selain itu, ditolaknya Permendikbudristek 30/2021 itu juga sempat diunggah oleh akun Twitter @GunRomli yang merupakan akun resmi dari Kader Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Dalam unggahannya pada 18 April 2022, Romli mengunggah capture gambar dari situs resmi Mahkamah Agung. Pada caption, ia menuliskan "Selamat uji materi Permendikbudristek soal Pencegahan Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan DITOLAK Mahkamah Agung. Hakim waras! Yang mengajukan bisa jadi mendukung kekerasan seksual di Kampus," tulisnya sekaligus men-tag akun @Kemdikbud_RI.
Unggahannya pun mendapat beragam jawaban dari para netizen di Twitter. Akun @fauziah_sifa28 menuliskan komentar, "kabar baik bagi para kamu perempuan. ❤?". Kemudian akun @Arief_2792, "menuliskan komentar, Alhamdulillah ditolak". Dan ada lagi akun @HambaliAselu, "Yg mengajukan lembaga adat dari provinsi yang banyak LGBTnya yak?" tanyanya dalam komentar.
Seperti diketahui sebelumnya, uji materi tersebut diajukan oleh Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatera Barat, terhadap Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia.
Hal tersebut sebelumnya juga sempat mendapatkan penolakan dari Komnas Perempuan. Dijelaskan sebelumnya sesuai dilansir dari suaradotcom, terdapat tiga dasar pendapat Komnas Perempuan untuk merekomendasikan penolakan pada permohonan uji materiil tersebut.
Pertama, pemohon tidak memenuhi kriteria untuk mengajukan keberatan atas Permendikbudristek 30/2021 karena tidak mampu membuktikan kualifikasinya antara sebagai masyarakat hukum adat atau badan hukum publik, tidak memiliki kerugian hak warga negara, tidak memiliki hubungan sebab akibat antara kerugian dan obyek permohonan dan pembatalan obyek permohonan tidak akan menghentikan tindakan kekerasan seksual.
Kedua, termohon telah memenuhi Prosedur Formal Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yaitu Permendikbudristek 30/2021 diterbitkan sesuai kewenangan dan telah memenuhi proses menerima saran dan masukan baik secara lisan maupun tertulis dari kelompok masyarakat yang akan menjadi sasaran pemberlakuan obyek permohonan.
Dan yang ketiga adalah adanya frasa "tanpa persetujuan korban" atau "tidak disetujui oleh korban" adalah untuk:
Baca Juga : Sederet Serangan Amien Rais ke Jokowi dan Luhut Pandjaitan, Rezim Paranoid hingga Mabuk Kuasa
(i) membedakan antara kekerasan dengan aktivitas seksual lainnya yang ditindaklanjuti oleh Tim Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual.
(ii) mengenali siapa pelaku dan siapa korban, sehingga kemudian dapat ditentukan pemberian layanan pemulihan dan sanksi dari aktivitas seksual yang dimaksud.
(iii) mendidik civitas akademika, khususnya peserta didik perempuan, untuk menolak permintaan seksual berkaitan dengan relasi kuasa yang ada di lingkungan Pendidikan.
(iv) mendidik civitas akademika bahwa terdapat aktivitas-aktivitas dalam relasi kuasa yang tidak disukai, tidak diinginkan, menyerang atau tidak disetujui seseorang sehingga seharusnya relasi yang terbangun adalah relasi dengan budaya penghormatan terhadap tubuh dan seksualitas setiap orang.
(v) sejalan dengan prinsip dan norma HAM internasional sebagaimana dimandatkan PBB yang menekankan "persetujuan korban" sebagai inti dari kekerasan seksual berbasis gender.