JATIMTIMES - Mahkamah Agung (MA) memutuskan untuk memotong hukuman mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo dari 9 tahun penjara menjadi 5 tahun penjara. Alasan MA, yakni karena Edhy dinilai berkelakuan baik selama menjadi menteri dengan membuka keran ekspor benur.
Kecaman pun berdatangan atas putusan MA tersebut. Salah satunya yakni datang dari Juru Bicara DPP PSI Ariyo Bimmo.
Baca Juga : Viral Pernikahan Beda Agama di Semarang, PBNU Angkat Bicara hingga Kutip Surat Al-Baqarah
Ariyo Bimmo menilai jika putusan tersebut bisa menjadi preseden buruk, suatu putusan dengan alasan yang mengada-ada.
"Bagaimana mungkin jabatan yang baru diemban sekitar 1 tahun dan kemudian ditangkap ketika selesai membelanjakan uang hasil korupsinya dikatakan telah bekerja dengan baik? Indikatornya apa? Maaf Yang Mulia, ini putusan Mahkamah Agung yang semestinya membentuk yurisprudensi hukum nasional," kata Juru Bicara DPP PSI Ariyo Bimmo dalam keterangan tertulisnya, Kamis (10/3/2022).
Edhy diketahui terjaring OTT KPK sepulang dari Amerika Serikat (AS) pada akhir 2020. Ia menerima suap terkait izin ekspor benur.
PSI melihat putusan itu memperpanjang daftar vonis rendah koruptor yang terjadi sepanjang 2021-2022 mulai Jaksa Pinangki, Djoko Tjandra, Julian Batubara, RJ Lino dan terakhir Azis Syamsuddin yang hanya divonis 3,5 tahun penjara.
"Sirna sudah asa akan hadirnya seorang Artidjo Alkotsar baru di Mahkamah Agung. Ketua Mahkamah Agung harus bekerja keras untuk bisa menghadirkan kembali wajah Mahkamah Agung yang menyeramkan bagi koruptor," tukas Bimmo.
PSI juga melihat putusan ini bermuatan politis, ketika pidana tambahan pencabutan hak politik dikurangi dari 3 tahun (putusan banding), menjadi 2 tahun.
"Duh, semoga tidak pernah terjadi ada menteri yang mantan koruptor. Sementara di negara lain, menteri yang baru terindikasi korupsi mundur, disini harus tertangkap dulu baru diberhentikan. Sangat menyedihkan," tambah Bimmo.
Sementara, ahli psikologi forensik Reza Indragiri Amriel turut mengecam putusan MA. Menurut Reza, korupsi menurunkan kepuasan kerja.
Ketika kepuasan kerja itu turun, maka kinerja pun akan anjlok. Begitu pula, korupsi akan membawa organisasi ke situasi tidak efektif dan kurang produktif.
Konsekuensinya sama yakni performa (kinerja) akan memburuk, baik performa individu maupun performa organisasi.
"Dari situ sulit dipahami, bagaimana logikanya bahwa seorang pejabat divonis bersalah karena melakukan korupsi namun pada saat yang sama disebut berkinerja baik?" kata Reza.
Korupsi, saat dilakukan pejabat negara, sepatutnya diposisikan sebagai kejahatan yang menghapus segala catatan kebaikannya. Integritas selayaknya dijadikan sebagai elemen mutlak dalam penilaian kinerja.
Selama elemen tersebut belum terpenuhi, maka elemen-elemen lainnya tidak lagi menentukan.
"Jadi, bisa dipahami bahwa kinerja baik kementerian sesungguhnya adalah hasil dari kerja para personel birokrasi kementerian itu sendiri, bukan akibat atau kontribusi dari pejabat yang melakukan korupsi," sambung Reza.
Putusan MA ini, justru mengingat Reza pada simpulan getir dari riset University of Sheffield. Bahwa, korupsi ternyata sudah menjadi cara jitu untuk menyiasati aturan main yang rumit.
Baca Juga : MA Korting Hukuman Edhy Prabowo 4 Tahun, ICW: Benar-benar Absurd
"Korupsi membuat urusan menjadi lebih gampang diselesaikan, sehingga kinerja pun membaik. Jadi, memang ironis: alih-alih merusak organisasi, korupsi justru meningkatkan kinerja," pungkas Reza.
Selain itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai alasan Mahkamah Agung (MA) mengkorting hukuman Edhy Prabowo karena baik saat jadi Menteri Kelautan dan Perikanan sebagai absurditas.
Menurut Peneliti ICW Kurnia Ramadhana, jika Edhy berbuat baik maka tidak akan ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"ICW melihat hal meringankan yang dijadikan alasan Mahkamah Agung untuk mengurangi hukuman Edhy Prabowo benar-benar absurd. Sebab, jika ia sudah baik bekerja dan telah memberi harapan kepada masyarakat tentu Edhy tidak diproses hukum oleh KPK," kata Kurnia dalam keterangannya, Rabu (9/3/2022).
Lebih lanjut, Kurnia mengingatkan bahwasanya Edhy adalah seorang pelaku tindak pidana korupsi. Edhy justru telah memanfaatkan jabatannya untuk meraup keuntungan secara melawan hukum.
Oleh sebab itu, ia ditangkap dan divonis dengan sejumlah pemidanaan, mulai dari penjara, denda, uang pengganti, dan pencabutan hak politik.
"Lagi pun, majelis hakim seolah mengabaikan ketentuan Pasal 52 KUHP yang menegaskan pemberatan pidana bagi seorang pejabat tatkala melakukan perbuatan pidana memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya," kata Kurnia.
"Regulasi itu secara spesifik menyebutkan penambahan hukuman sepertiga, bukan justru dikurangi," lanjut Kurnia lagi.
Ia juga mengaky bingung dengan pertimbangan majelis kasasi yang menyebut Edhy telah memberi harapan kepada masyarakat. Hukuman 5 tahun itu, kata Kurnia, kemudian menjadi sangat janggal.
Sebab, hanya 6 bulan lebih berat jika dibandingkan dengan staf pribadi Edhy, Amiril Mukminin.
Terlebih, dengan kejahatan korupsi yang Edhy lakukan yang juga telah melanggar sumpah jabatannya sendiri.