JATIMTIMES - Mahkamah Agung (MA) memutuskan untuk mengurangi hukuman pidana penjara mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo selama 4 tahun. Sehingga Edhy harus menjalani hukuman 5 tahun penjara dari yang sebelumnya 9 tahun penjara.
"Memperbaiki putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengenai pidana yang dilakukan kepada terdakwa dan lamanya pidana tambahan. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Edhy Prabowo dengan penjara selama 5 tahun dengan pidana denda sebesar Rp 400 juta dengan ketentuan bila denda tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan," kata Juru Bicara Mahkamah Agung Andi Samsan Nganro.
Baca Juga : Terdakwa Pembunuh Sadis Mantan Istri Siri di Malang Dituntut Hukuman 20 Tahun Penjara
Putusan kasasi itu diputuskan pada 7 Maret 2022 oleh majelis kasasi yang terdiri atas Sofyan Sitompul selaku ketua majelis, Gazalba Saleh, dan Sinintha Yuliansih Sibarani masing-masing selaku anggota.
"Menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 2 tahun terhitung sejak terdakwa selesai menjalani pidana pokok," ujar Andi.
Bukan tanpa alasan, ada sejumlah hal yang menjadi pertimbangan majelis kasasi memutuskan untuk mengurangi vonis Edhy tersebut.
"Bahwa putusan Pengadilan Tinggi yang mengubah putusan Pengadilan Negeri kurang mempertimbangkan keadaan yang meringankan terdakwa, sehingga perlu diperbaiki dengan alasan bahwa pada faktanya terdakwa sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan RI sudah bekerja dengan baik dan telah memberi harapan yang besar kepada masyarakat khususnya nelayan," demikian disebutkan hakim.
Menurut hakim, Edhy telah mencabut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 56/PERMEN-KP/2016 tanggal 23 Desember 2016 dan menggantinya dengan Permen Kelautan dan Perikanan No 12/PERMEN-KP/2020.
"Dengan tujuan adanya semangat untuk memanfaatkan benih lobster guna kesejahteraan masyarakat, yaitu ingin memberdayakan nelayan karena lobster di Indonesia sangat besar," lanjut hakim.
Lebih lanjut dalam pertimbangannya, hakim kasasi menyebut Permen Kelautan dan Perikanan No 12/PERMEN-KP/2020 itu mensyaratkan pengekspor untuk mendapat benih bening lobster (BBL) dari nelayan kecil penangkap BBL.
Tanggapan KPK
Terkait pengurangan hukuman terhadap Edhy, KPK pun angkat bicara. KPK mengatakan pihaknya menghormati putusan Mahkamah Agung (MA) yang memotong masa hukuman mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo. MA menyunat hukuman Edhy dari 9 tahun menjadi 5 tahun.
"Kami menghormati setiap putusan peradilan, termasuk putusan kasasi MA terhadap mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo," ujar Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Kamis (10/3/2022).
Diketahui, KPK menuntut Edhy pidana 5 tahun penjara. Kemudian Pengadilan Tipikor menjatuhkan vonis yang sama sesuai dengan tuntutan.
Namun vonis tersebut diperberat oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menjadi 9 tahun. Dan saat ini, vonis Edhy kembali menjadi 5 tahun sesuai putusan MA.
Meski vonis MA terhadap Edhy Prabowo tak berbeda dengan tuntutan yang dilayangkan jaksa KPK, Ali menyatakan KPK belum bersikap atas putusan tersebut. Ia menyebut pihaknya masih akan menunggu salinan putusan lengkap dari MA.
"Saat ini kami belum menerima pemberitahuan resmi putusan dimaksud. Segera setelah kami terima akan kami pelajari putusan lengkapnya tersebut," kata Ali.
Baca Juga : Sidang Kasus Kekerasan Seksual SPI Malang, Keterangan Saksi Disebut Berubah-Ubah
Menurutnya, pemberantasan korupsi butuh komitmen kuat dari seluruh elemen masyarakat. Terlebih komitmen dari para penegak hukum, termasuk lembaga peradilan.
ICW anggap putusan MA absurd
Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai alasan Mahkamah Agung (MA) mengkorting hukuman Edhy Prabowo karena baik saat jadi Menteri Kelautan dan Perikanan sebagai absurditas.
Menurut Peneliti ICW Kurnia Ramadhana, jika Edhy berbuat baik maka tidak akan ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"ICW melihat hal meringankan yang dijadikan alasan Mahkamah Agung untuk mengurangi hukuman Edhy Prabowo benar-benar absurd. Sebab, jika ia sudah baik bekerja dan telah memberi harapan kepada masyarakat tentu Edhy tidak diproses hukum oleh KPK," kata Kurnia dalam keterangannya, Rabu (9/3/2022).
Lebih lanjut, Kurnia mengingatkan bahwasanya Edhy adalah seorang pelaku tindak pidana korupsi. Edhy justru telah memanfaatkan jabatannya untuk meraup keuntungan secara melawan hukum.
Oleh sebab itu, ia ditangkap dan divonis dengan sejumlah pemidanaan, mulai dari penjara, denda, uang pengganti, dan pencabutan hak politik.
"Lagi pun, majelis hakim seolah mengabaikan ketentuan Pasal 52 KUHP yang menegaskan pemberatan pidana bagi seorang pejabat tatkala melakukan perbuatan pidana memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya," kata Kurnia.
"Regulasi itu secara spesifik menyebutkan penambahan hukuman sepertiga, bukan justru dikurangi," lanjut Kurnia lagi.
Ia juga mengaky bingung dengan pertimbangan majelis kasasi yang menyebut Edhy telah memberi harapan kepada masyarakat. Hukuman 5 tahun itu, kata Kurnia, kemudian menjadi sangat janggal.
Sebab, hanya 6 bulan lebih berat jika dibandingkan dengan staf pribadi Edhy, Amiril Mukminin.
Terlebih, dengan kejahatan korupsi yang Edhy lakukan yang juga telah melanggar sumpah jabatannya sendiri.