JATIMTIMES - Di momentum International Women's Day (IWD) 2022 yang berlangsung setiap 8 Maret, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) membeberkan catatan kasus Kekerasan Berbasis Gender terhadap Perempuan (KBGtP) selama 10 tahun ke belakang.
Komisioner Komnas Perempuan Prof Alimatul Qibtiyah menjelaskan, dalam catatannya selama 10 tahun terakhir terdapat 2.247.594 kasus KBGtP di Indonesia. Jika dilihat secara rinci, sejak 2012 terdapat 135.170 kasus. Kemudian pada 2013 mengalami peningkatan menjadi 180.7446 kasus.
Baca Juga : Berada di Level 3, Pemberhentian PTM di Kota Blitar Diperpanjang Satu Pekan
Setelah itu, 2014 juga mengalami peningkatan yakni terdapat 185.4588 kasus. Kemudian 2015 terdapat 204.7944 kasus, tahun 2016 sempat mengalami penurunan hingga 1663.116 kasus. Lalu 2017 kembali mengalami peningkatan menjadi 230.81 kasus.
Memasuki 2018 KBGtP mengalami peningkatan lagi, yakni menjadi 280.185 kasus. Lalu 2019 meningkat menjadi 302.686 kasus. Kemudian masuk pandemi Covid-19 di 2020 jumlah KBGtP menurun drastis menjadi 226.062 kasus. Namun, 2021 jumlah KBGtP kembali meningkat hingga sebanyak 338.496 kasus.
Khusus pada pandemi Covid-19, persentase kenaikan KBGtP mencapai 50 persen. Terlebih lagi, pada data pengaduan yang diterima Komnas Perempuan tercatat pada tahun 2020 ada 2.134 pengaduan dan 2021 meningkat menjadi 3.838 pengaduan KBGtP.
Alimatul pun menyebutkan beberapa latar belakang pelaku kasus KBGtP di Indonesia. Mulai dari pejabat publik, Aparatur Sipil Negara (ASN), anggota TNI/Polri, hingga tenaga medis.
"Kekerasan berbasis gender terhadap perempuan yang dilakukan oleh kelompok yang seharusnya jadi pelindung, tauladan dan pihak yang dihormati ini sekitar sembilan persen dari jumlah total pelaku," ungkap Alimatul dalam keterangan yang diterima JatimTIMES.com, Selasa (8/3/2022).
Perempuan yang merupakan Guru Besar Bidang Ilmu Kajian Gender UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini menuturkan, hal itu disebabkan deretan profesi para pelaku yang menempati sembilan persen dalam kasus KBGtP memiliki kekuasaan patriarkis.
Lanjut Alimatul, termasuk relasi keluarga, ekonomi hingga kekuasaan jabatan dan pengaruh yang dimiliki oleh para pelaku KBGtP. Menurutnya, hal ini menyebabkan terjadinya impunitas.
Di mana korban tidak mendapatkan dukungan penyelesaian kasus pada sistem peradilan pidana. Kebenaran kekerasan yang dialami para korban dibantah dan disangkal. "Mengakibatkan korban bungkam dan meminta mutasi ke kota lain," kata Alimatul.
Selain itu, pada rekapitulasi catatan kasus KBGtP 2021, Komnas Perempuan juga telah fokus menangani kasus di tiga ranah berbeda. Yakni terhadap perempuan disabilitas, kekerasan dengan pelaku anggota TNI/Polri, serta kekerasan seksual di lingkungan pendidikan.
Alimatul menyebutkan, untuk korban perempuan disabilitas di 2021 ini sebanyak 22 kasus untuk disabilitas intelektual dan perempuan dengan disabilitas ganda sebanyak 13 kasus.
Selain itu, untuk kekerasan dengan pelaku merupakan anggota TNI/Polri, pihaknya menyampaikan bahwa deretan jumlah kasus di 2021 hampir berimbang. Yakni untuk anggota TNI sebanyak 117 kasus dan anggota Polri sebanyak 145 kasus.
Baca Juga : Kasus Covid-19 Kota Batu Tinggi, Varian Delta Dominasi Angka Kematian
Sedangkan untuk fokus terakhir yakni kekerasan seksual di lingkungan pendidikan jumlahnya pun terlihat fluktuatif. 2020 sebanyak 17 kasus, sedangkan 2021 sebanyak sembilan kasus. Di mana kasus tertinggi di dominasi oleh perguruan tinggi yakni dengan 35 kasus.
"Disusul pesantren atau pendidikan berbasis Agama Islam di urutan kedua yakni 16 persen dan untuk SMA/SMK terdapat 15 persen," kata Alimatul.
Sementara itu, pihaknya juga membeberkan sebanyak 9 Provinsi di Indonesia dengan kasus KBGtP terbanyak di 2021. Yakni Jawa Barat 900 kasus, DKI Jakarta 611 kasus, Jawa Timur 307 kasus, Sumatera Utara 100 kasus, Jawa Tengah 85 kasus, Sumatera Selatan 61 kasus, Sumatera Barat 33 kasus, Riau 26 kasus, Lampung 22 kasus.
Lebih lanjut, pihaknya juga membeberkan penanganan dan penyelesaian kasus yang hanya tercapai 15 persen dari total pengaduan yang masuk ke Komnas Perempuan.
Beberapa kendala yang dialami oleh jajaran Komnas Perempuan yakni dalam substansi hukum yang terlihat dari penggunaan basis hukum dan pasalnya. Lalu, terkait keterbatasan infrastruktur yang dibutuhkan, beberapa di antaranya seperti Sumber Daya Manusia (SDM), fasilitas penunjang dan anggaran.
"Penyelesaian lebih banyak secara hukum (12 persen) dibandingkan dengan cara non hukum (3 persen). Bahkan banyak kasus tidak ada informasi penyelesaiannya (85 persen)," beber Alimatul.
Jika direkap dalam catatan harian, Komnas Perempuan per harinya dapat menerima 16 kasus KBGtP dengan berbagai macam jenis kekerasan yang dilakukan oleh para pelaku. Di antaranya, perbudakan seksual, ranah siber, percobaan perkosaan, pencabulan, persetubuhan, martial rape, eksploitasi seksual, pelecehan seksual, incest dan perkosaan.
"Di tengah peningkatan pelaporan kasus KBGtP yang juga semakin kompleks, daya penanganan kasus yang sangat terbatas ini dikhawatirkan akan menyebabkan stagnansi dalam kapasitas penanganan kasus," pungkas Alimatul.