JATIMTIMES - Aksi demo dari sekelompok Mahasiswa yang tergabung dalam AMTI (Aliansi Mahasiswa Tulungagung Indonesia), untuk menuntut 100 hari kerja Wakil Bupati (Wabup) Tulungagung yang belum nampak di masyarakat, mendapat komentar dari salah satu praktisi hukum di Tulungagung Hery Widodo, SH.
Pria yang juga merupakan pengacara senior ini mengungkapkan, jika ingin memberikan pembelajaran kepada pemerintah dan menginginkan sebuah perubahan, seharusnya menguji UU tentang Pemerintahan Daerah ke Mahkamah Konstitusi, tidak hanya melakukan aksi demonstrasi.
Baca Juga : MK Tolak Gugatan Ketentuan Presidential Threshold 20 Persen, Berikut Pertimbangannya
"Seharusnya diuji ke MK, harus diperjelas, semua masyarakat termasuk mahasiswa bersatu untuk melakukan upaya gugatan di MK tehadap pasal-pasal yang menyangkut tentang kewenangan Wabup yang diatur dalam Pasal 66 UU No.14 Tahun 2015," kata Hery di Rumah Dinas Wabup Tulungagung, Kamis (24/2/2022) sore.
Menurut Hery, jika melihat dan berpijak pada UU Pemerintahan Daerah yang mengalami 5 kali perubahan, sejak UU No.22 Tahun 1999 diubah menjadi UU No.32 Tahun 2004, diubah lagi menjadi UU No.18 Tahun 2008, kemudian diubah menjadi UU No.23 Tahun 2014 dan terakhir menjadi UU No.14 Tahun 2015.
Disitu dijelaskan apa yang menjadi kewenangan dan kewajiban dari Wabup atau Wakil Kepala Daerah sifatnya hanya sebatas pendelegasian dan atributif, yang dalam teori kewenangan hanya dalam hal itu.
"Dikembalikan sejak semula, bahwa UU terkait dengan pemerintahan daerah ini banyak menimbulkan pro dan kontra, banyak persoalan-persoalan yang ambigu sehingga pada akhirnya menjadikan kesalahpahaman di masyarakat bawah," ucapnya.
Oleh karena itu, lanjut Hery, masyarakat tidak bisa berharap banyak ke pemerintah. Jika mahasiswa ingin memberikan pembelajaran pada pemerintahan, seharusnya juga menilai UU tentang pemerintahan daerah. Kemudian juga harus dilihat secara utuh norma-norma yang terkandung dalam UU itu.
Hery menjelaskan, permasalahan UU mestinya juga merupakan kewajiban dari para anggota legislatif untuk melakukan sosialisasi, batasan-batasan apa saja yang ada didalamnya, dan mestinya harus ada referensi yang disampaikan kepada Pemerintah Pusat dengan dasar permasalahan yang sering terjadi dibawah, bahkan sering terjadinya perpecahan antara Bupati dan Wakil Bupati.
Baca Juga : Bela Menag Yaqut, GP Ansor Bakal Laporkan Balik Roy Suryo ke Polisi
"Ini tidak lepas dari permasalahan yang ada dalam UU pemerintahan daerah, ini sudah ada 5 kali ada perubahan tetapi sama sekali tidak ada hal yang mampu menjelaskan bagaimana kewenangan, bagaimana pendelegasian, darimana atibutif yang pasti terhadap wakil kepala daerah," jelasnya.
Sebagai praktisi hukum, Hery menegaskan, ketidakpahaman masyarakat tentang UU ini, memberikan tafsir dan anggapan seakan-akan ada pemisah terkait hak dan kewajiban dari wakil kepala daerah atau Wabup yang diatur secara berbeda.
Namun jika dilihat secara utuh UU tersebut, didalamnya tidak ada perbedaan pembatasannya kecuali sifatnya hanya atributif dan pendelegasian, terlepas dari itu tidak ada atau tidak diatur.