JATIMTIMES - Meski banyak warung kopi dan banyak generasi saat ini suka nongkrong menikmati seduhan kopi, ternyata masih ada yang tidak tahu sejarah cethe. Padahal, mengoleskan endapan kopi ke permukaan rokok ini menjadi tradisi yang kental di Tulungagung.
"Kurang tahu. Yang saya pahami cethe adalah khas Tulungagung saja," kata Imam (25), penggemar kopi cethe, saat ditemui di wilayah Kecamatan Kauman, Sabtu (11/12/2021).
Baca Juga : Tempat Baru Pusaka Kyai Upas Dinilai Tak Pantas, Keluarga Besar Majan Minta Dikembalikan
Senada dengan Imam, pelajar SMU yang sudah gemar mengisap rokok, Yudha, juga ditanya apakah tahu sejarah adanya cethe. "Tidak tau," jawabnya singkat.
Beda dengan keduanya, Maryanto (46) meski tidak paham betul, mengaku bahwa cethe ada sekitar tahun 80-an.
"Dahulu kopinya deplokan, tidak selembut (halus) sekarang. Jadi jika rokok linting pecut diberi cethe, kelihatan mbrendol (kasar)," ungkapnya.
Bagimana sih sejarahnya? Menurut berbagai referensi yang mudah dicari, termasuk di Wikipedia, kata céthé diambil dari bahasa Jawa yang artinya ampas atau endapan kopi.
Endapan ini kemudian bisa dioles-oleskan dengan menggunakan lidi atau tusuk gigi pada batang rokok untuk menciptakan gambar atau hiasan serupa batik.
Melukis pada batang rokok dengan ampas kopi dipercaya juga dapat menambah kenikmatan kopi ketika diisap.
Baca Juga : Edarkan Sabu, Begini Kronologi Pria Asal Ngunut saat Diamankan Polisi
Kopi cethe muncul sekitar tahun 1980-an di antara para petani di Tulungagung. Saat itu, para petani membuat lukisan-lukisan pada batang rokoknya setelah menikmati kopinya. Cethe juga dikaitkan dengan tradisi ngrawit atau membuat hiasan batik yang rumit dan indah.
Versi sejarah lain mengatakan kopi cethe sudah ada sejak 1930-an di Rembang dengan nama kopi sedulit.
Pemerintah Kabupaten Tulungagung pernah memecahkan rekor Muri dengan kegiatan membuat cethe terbanyak, yakni dengan 2.710 peserta.